Sumber : Catatannya Ustadz Hakim
http://www.facebook.com/doni.cahyadi?cropsuccess#!/notes/surya-atmajaya/persiapan-menjelang-pernikahan/141197145892139
Seorang ibu rumah tangga suatu ketika bertanya kepada saya, “Pak ustadz, bagaimanakah doa ketika akan melakukan hubungan suami isteri?” Saya kaget mendengar pertanyaan itu, mengingat ibu tersebut bukanlah pengantin baru atau calon pengantin. “Ibu sudah punya putra?” tanya saya. “Punya ustadz, satu putra berumur delapan tahun”, jawabnya. “Kapan ibu menikah?” tanya saya lagi. “Sembilan tahun yang lalu”, jawabnya.
“Masyaallah! Pertanyaan ibu terlambat sembilan tahun. Seharusnya ibu bertanya hal ini sembilan tahun yang lalu sebelum melangsungkan pernikahan. Lalu bagaimana ibu melakukan hubungan suami isteri selama ini?” tanya saya penuh keheranan. “Ya langsung saja ustadz, tidak pakai doa”, jawabnya santai.
Dialog di atas memberikan gambaran betapa banyak orang yang melaksanakan pernikahan tanpa memiliki persiapan yang memadai. Menikah seakan-akan hanyalah karena dorongan instinktif semata, bahwa jika seorang laki-laki dan seorang wanita ingin menikah, maka menikahlah. Tidak terpikirkan bahwa mestinya mereka melakukan sejumlah persiapan agar pernikahannya membawa barakah.
Makna Nikah
Kata nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu an nikah. Secara bahasa, kata nikah bermakna himpunan atau kesatuan, yaitu berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya. Ada pendapat dari Al Azhari yang menyebutkan bahwa kata nikah dalam bahasa Arab berarti jimak (hubungan suami isteri). Orang yang bersuami atau beristeri dinamakan menikah karena apa yang dilakukannya menjadi jalan menujun praktek jimak.
Al Farisi berpendapat bahwa orang Arab membedakan secara tipis antara nikah dengan jimak. Jika dikatakan bahwa si Fulan menikah dengan Fulanah, yang dimaksud adalah akad nikah, namun jika dikatakan seseorang menikahi isterinya, maka yang dimaksud adalah jimak.
Al Qadhi Husain, misalnya, ia berpendapat bahwa makna asal dari kata nikah adalah jimak, sedangkan akad merupakan makna kiasan. Akan tetapi Al Qadhi Abu Thalib dan Mutawalli berpendapat sebaliknya. Mereka meyakini bahwa makna asal dari kata nikah adalah akad, sedangkan jimak adalah makna kiasan.
Islam meletakkan pernikahan sebagai bagian yang utuh dari keberagamaan seseorang, artinya dengan seseorang beragama Islam padanya dikenakan aturan pernikahan. Rasulullah saw telah bersabda :
“Apabila seseorang melaksanakan pernikahan, berarti telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah ia menjaga separuh yang lain dengan bertaqwa kepada Allah” (riwayat Baihaqi dari anas bin Malik).
Demikian juga pengarahan Nabi saw :
“Menikah adalah sunnahku, maka barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan membanggakan jumlahmu yang banyak di hari akhir nanti” (riwayat Ibnu Majah dari Aisyah ra).
Akan tetapi untuk menunaikan tuntunan Islam dalam hal pernikahan in i tidak bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan sejumlah persiapan yang memadai agar pelaksanaan pernikahan benar-benar menjadi jalan terlaksanakannya tuntunan agama. Persiapan melakukan apapun adalah awal dari keberhasilan. Apalagi untuk sebuah pernikahan, momen besar dalam kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Persiapan Diri Menjelang Pernikahan
Momen besar bagi mempelai laki-laki karena ia akan bertambah amanah dari tanggung jawab atas dirinya sendiri menjadi tanggung jawab terhadap sebuah keluarga. Bermula dari istri dan nantinya anak-anak. Ia akan menerima limpahan perwalian seorang perempuan dari ayah atau wali yang lain. Bagi seorang perempuan momen besar itu lebih luar biasa lagi. Ia akan mempersilahkan seorang laki-laki yang tadinya bukan apa-apanya, untuk memimpin dirinya. Kerelaan luar biasa.
Untuk sebuah peristiwa bersejarah itulah laki-laki dan perempuan muslim hendaknya memiliki kesiapan diri secara moral- spiritual, konsepsional, fisik, sosial dan material.
a. Persiapan Moral dan Spiritual
Kesiapan secara mental dan spiritual ditandai oleh mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau resiko yang akan dihadapi paska pernikahan.
Bagi seorang laki-laki, harus ada kesiapan dalam dirinya untuk bertindak sebagai qawwam dalam rumah tangga, untuk berfungsi sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir nantinya dari pernikahan. Ada kesiapan dalam diri untuk menanggung segala beban-beban yang disebabkan oleh karena posisi sebagai suami dan bapak.
Bagi seorang akhwat muslimah harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritasnya atas diri sendiri lantaran tunduk pada prinsip syura dan ketaatan pada suami nantinya.
Sebelum memutuskan untuk menikah, persiapkan diri dari segi moral amat signifikan. Ingatlah pernyataan Allah bahwa wanita-wanita yang beriman adalah untuk laki -laki yang beriman dan wanita-wanita yang pezina adalah untuk laki-laki yang pezina. Yang keji hanya akan layak mendapatkan yang keji.
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau permpuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin" (An Nur : 3).
Bagaimana mungkin ada di antara anda yang berani memutuskan untuk berzina, sedangkan pasangan bagi orang yang berzina hanyalah pezina pula ? Na'udzubillahi min dzalik. Perhatikan ungkapan ayat berikut :
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)" (An Nur : 26).
Jika anda ingin mendapat pasangan yang baik, jadikan diri baik. Jika seorang laki-laki ingin mendapatkan isteri yang shalihah, ia harus menjadikan dirinya shalih terlebih dahulu, dan sebaliknya. Bagaimana bisa seorang laki-laki menuntut isterinya sekualitas Fatimah, sedangkan ia sendiri tidak sekapasitas Ali ? Bagaimana mungkin berharap memiliki isteri setabah Sarah dan Hajar, sedangkan ia tidak sekokoh Ibrahim as ?
Bagi wanita muslimah, jika ingin memiliki suami sehebat Az Zubair, anda harus menyiapkan diri untuk memiliki kapasitas Asma’ binti Abu Bakar. Jika mengharapkan memiliki suami setegar Muhammad as anda harus menyiapkan diri untuk menjadi Khadijah ra.
Kadang dijumpai fenomena masyarakat kita yang tidak adil menilai diri sendiri. Ia berada dalam kondisi kebebasan pergaulan, entah sudah berapa banyak dia ganti-ganti pasangan atau pacar, atas nama mencari kecocokan untuk berkeluarga. Ia sudah melakukan kegiatan layaknya suami isteri dengan pasangan-pasangan yang berhasil dibujuk dan dirayu. Berapa banyak yang menjadi korban, entah dengan kesadaran dan kemauan sendiri, ataupun karena ketertipuan.
Sementara itu, ketika saatnya menikah ia menginginkan wanita perawan yang suci, yang belum pernah dijamah laki-laki, yang setia, tidak akan selingkuh dan senantiasa menjaga keutuhan rumah tangga. Bagaimana ia bisa memiliki harapan setinggi itu, menuntut utuhnya selaput dara, menuntut kesucian pasangan, sedangkan dirinya bergelimang dalam kemaksiyatan.
Sedemikian juga, bagaimana mungkin seorang wanita mengharapkan calon suaminya seorang laki-laki yang perjaka, suci tak pernah menjamah perempuan lain, jika dirinya sendiri sering menjadi jamahan sekian banyak laki-laki yang memacarinya? Jika dirinya berganti-ganti pasangan dalam rangka menikmati kesenangan nafsunya, dengan apa ia berharap memiliki suami yang setia kepada dirinya ? Inilah penilaian yang tidak adil terhadap diri sendiri.
Jika ingin memiliki suami yang setia, jadikan diri anda wanita yang setia. Jika ingin memiliki isteri yang suci, jadikan diri anda lakai-laki yang suci. Jika ingin mendapatkan pasangan hidup yang menjaga kehormatan diri, jadikan diri anda orang yang menjaga kehormatan diri. Mulailah dari diri anda sendiri, ibda’ binafsika.
Adapun cara mempersiapkan moralitas adalah dengan meningkatkan pengetahuan agama dan pembinaan diri secara kontinu melalui forum ta’lim, training, berguru secara khusus, membaca, silaturahim dan banyak wasilah lain. Bersamaan dengan itu jadilah diri cinta beramal shalih, dan ihsan. Tidak lupa senantiasa bergabung dengan lingkungan yang baik. Semoga Allah memudahkan langkah usaha itu dan membimbing kita menjadi pribadi taqwa, yang merupakan status tertinggi seorang hamba.
Persiapan spiritual ini bisa anda lakukan dengan berbagai tuntunan ibadah baik yang wajib maupun yang disunnahkan. Berdoa kepada Allah senantiasa agar mendapatkan kekuatan dan kemantapan hati dalam meniti hidup sehingga tidak melenceng dari keenaran. Istighfar, mohon ampunan kepada Allah, merupakan cara untuk melakukan evaluasi atas kelemahan diri.
Lebih penting lagi adalah upaya kolektif untuk senantiasa berada dalam kebaikan. Ada upaya secara bersama-sama dari komunitas kaum muslimin untuk mencapai kematangan diri sesuai dengan arahan Islam
b. Persiapan Konsepsional
Kesiapan konsepsional ditandai dengan dikuasainya berbagai hukum, etika, aturan dan pernik-pernik pernikahan serta kerumahtanggaan. Kadang dijumpai di kalangan masyarakat kita, mereka menikah tanpa mengetahui aturan Islam tentang pernikahan dan kerumahtanggaan. Wajar kalau kemudian dalam hidup berumah tangga terjadi berbagai bentuk kegiatan yang tidak berseusaian dengan sunnah kenabian disebabkan oleh ketidakmengertian.
Seseorang ibu rumah tangga bertanya kepada saya tentang doa hubungan suami isteri, padahal ia telah menikah sembilan tahun yang lalu, dan anaknya sekarang sudah berusia delapan tahun. Contoh kecil ini menunjukkan betapa msyarakat kita tidak begitu mempedulikan ajaran Islam tatkala mereka melaksanakan pernikahan. Jika ibu tersebut hanyalah merupakan salah satu sampel dari sekian banyak masyarakat kita, maka berpa banyak lagi yang sesungguhny memiliki masalah serupa, hanya tidak diungkapkan.
Ada juga pengantin baru yang bertanya kepada saya sebulan setelah pernikahannya, bagaimana caranya mandi besar. Saya tanyakan kepada dia, lalu apa yang anda lakukan selama ini ? Dia menjawab, yang penting mandi saja, apa adanya. Hanya dia masih beruntung bahwa pertanyaannya baru terlambat satu bulan, jika dibandungkan dengan ibu di atas yang terlambat sembilan tahun menanyakannya.
Masih sangat banyak kita menyaksikan masyarakat kita melakukan sesuatu tanpa landasan pengetahuan. Betapa pembagian peran dalam rumah tangga juga masih banyak yang semata-mata bercorak kultural, tanpa mengetauhuoi bagaimana sesungguhnya Islam telah memberikan aturan dan rambu-rambu bagi laki-laki dan perempuan. Kita melihat suami yang atas nama kepemimpinan melakukan penindasan dan kekerasan terhadap isterinya.
Kita menjumpai seorang isteri atas nama mengejar prestasi ia bekerja pagi sampai malam dan bersaing dengan suami. Kita menyaksikan betapa anak-anak dalam beberapa kelur\arga lebih banyak berinteraksi dengan pembantu rumah tangga dibandingkan dengan orang tua. Kita juga mendapatkan fenomena bahwa pendidikan anak lebih banyak dipercayakan kepada stasiun televisi swasta dan playstation, karena kesuibukan orang tua mereka.
Ada fenomena di beberapa kalangan masyarakat kita, mereka tidak memperhatikan faktor kesucian rumah tangga. Berbagai jenis najis tidak dibersihkan dengan tatacara yang sesuai dengan ketentuan fikih, sehingga dalam kebersihan rumah tersebut tidak terkandung kesub\cian. Di antara penyebab itu semuanya adalah minimnya ilmu mengenai hukum pernikahan dan kekeluargaan.
Mereka menikah karena dorongan instinktif, keinginan syahwat karena dorongan usia deqwasa. Sayangnya kemudian tidask ditindaklanjuti dwengan mempersiapkan diri secara konsep[sional, sehingga dalam melaksanakan pernikahan merekapun tamopak tidak memiliki pengetahuan. Ada kejadian, seorang laki-laki diminta mengucapkan kalimat syahadat oleh petugas KAU yang menikahkannya, ia minta dituntun karena sudah lupa.
Beberapa fenomena lain di zama kita sekarang banyak terjadoi pernikahan antaragama, atas nama kebebasan emnjalankan jkehdiupan beragama. Beberapa kalngan artis melakukannya secara bangga dan terbuka, dfan bahkan ketika salah seorang muslimah yang menjadi artis menikah dengan seorang laki-laki nonmuslim, ia mengatakan ketika dikonfirmasi, "Saya tidak mengetahui bahwa menikah antar agama itu tidak doibolehkan dalam Islam."
Sekanp-akan pernikahan hanyalah peristiwa hidup pada umumnya, seperti makan, tidur, mandi dan seterusnya. Seakan-akan begitu mudah mereka melaksanakan itu tanpa ada beban bahwa itu adalah sebuah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta'ala. Namun apabila pengakuan artis muslimah tadi benarm, maka ini semakin menguatkan kesimpuilan betapa minimnya kesiapan ksonsepsional ketika melajksnakan pernikahan.
Seorang laki-laki dan perempuan harus mengetahui dengan baik dan benar posisi dan peran masing-masing pihak dalam konteks rumah tangga. Apa hak dan kewajiban masing-masing pihak dan juga bersama. Bagaimana tata cara pergaulan suami isteri dalam rumah tangga. Berbagai pengetahuan yang menyebabkannya kebaikan sebuah keluarga perlu dimengerti sehingga belajar dan menyiapkan diri secara konsepsional merupakan suatu keharusan untuk dimiliki.
Hal ini agar kehidupan rumah tangganya nanti tidak berjalan menurut kebanyakan orang yang telkah melakukan. Biasanya begitulah masyarakat hidup berkeluarga, lalku akhirnya para pemuyda yang melajksanakan pernikahanpun jkuga memnbgikuti kebiasaan yang telah ada di masyarajkatnya. Dengan bekal ilmu atau konsepsi yang memadai, diharapkan mereka bisa berinteraksi secara Islami, sesuai aturan Islam, bukan semata-mata meneruskan tradisi.
Islam amat menghargai ilmu, karena keimanan seseorang pun dituntut diletakkan di atas landasan keilmuan. Allah Ta'ala telah berfirman :
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohon ampunlah bagi dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan" (Muhammad : 19).
Ungkapan ayat di atas diawali dengan kata kerja perintah fa'lam yaitu berupa al amru bil 'ilmi, perintah untuk mengilmui atau mengetahui, baru kemudian kata kerja perintah wastaghfir yaitu perintah untuk melakukan istighfar. Dalam susunan kalimat seperti ini terkandung sebuah pengertian, bahwa perintah untuk mengetahui lebih didahulukan dibandinglkan dengan perintah untuk beramal.
Islam mengharagi amal yang dibanun di atas landasan ilmu, sebagaimana Islam menghargai ilmu yang dilanjutkan dengan amal. Oleh karena itu, mmenjadi tuntutan dalam melaksanakan pernikahan adalah mengilmui terlebih dahulu berbagai macam aturan dan etika yang mengatur sejak sebelum, pada saat dan setelah terjhadinya akd nikah.
Cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan persiapan konsepsional adalah dengan banyak belajar, baik mengikuti kejian, ta'lim, pembekalan pernikahan, atau dengan membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah melalui media elektronik. Amat banyak cara yang bisa dilakukan untuk membekali, yang diperlukan hanaylah niat dan kemauan.
Apalagi ketika Umar bin Khathab memesankan kepada kaum laki-laki, "Ajari isterimu kandungan surat An Nur", maka semakin menguatkan alasan bagi kaum laki-laki untuk banyak membekali diri agar mampu mengajarkan isi surat An Nur kepada isterinya. Bukan hanya mengajarkan, namun ia adalah pihak yang menuntun dan mencontohkan pertama kali aplikasi dari isi surat An Nur.
Anda adalah pemimpin dalam rumah tangga, wahai kaum laki-laki. Persiapan anda harus memadai untuk bisa dihormati dan diletakkan sebagai seorang pemimpin. Anda tidak akan memiliki kewaibawaan sebagai pemimpin apabila anda tisdak berbekal ilmu secara cukup. Bangunlah kewaibawaan sebagai qawwam tidak dengan sikap sangar dan galak, tidak dengan arogan dan kasar. Akan tetapi bangunlah wibawa anda dengan ilmu, pengetahuan, kelembutan dan kebijakan.
c. Persiapan Fisik
Kesiapan fisik ditandai dengan adanya kesehatan yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami atau isteri dengan optimal. Apabila di antara indikator kemampuan yang dituntut dalam pelaksanaan pernikahan adalah kemampuan melakukan jimak, maka kesehatan yang dituntut pada laki-laki dan perempuan salah satunya menyangkut kemampuan berhubungan suami isteri secara wajar.
Hal lain yang amat penting dalam konteks kesehatan ini adalah pada sisi kesehatan reproduksi. Bahwa laki-laki dan perempuan ini akan mampu melakukan fungsi reproduksi dengan baik. Mereka berdua dipastikan tidak mandul, sehingga nantinya akan memiliki ketrunan, sebagai salh satu tujuan dari pernikahan. Rasulullah saw menganjurkan agar menikahi wanita yang penyayang lagi banyak anakbya.
Melakukan pemeriksaan kesehatan kepada ahlinya merupakan salah satu langkah yang bisa ditempuh menjelang pernikahan. Masing-masing pihak juga bisa mendeteksi dalam dirinya sendiri adanya penyakit tertentu yang dirasakan selama ini. Hendaknya masing-masing bisa terbuka menyampaikan riwayat kesehatan dirinya kepada calon pasangannya untuk menjadi bahan perttimbangan memutusakan terjadinya pernikahan atau tidak.
Laki-laki dan perempuan muslim hendaklah rajin melaksanakan olah raga sebagai bagian dari penjagaan kesehatan dan kebugaran dirinya. Untuk menggapai keharmonisan keluarga, dua kata inim, yaitui sehat dan bugar, amat diperlukan. Kita tidak hanya membutuhkan kesehatan, namun juga kebugaran. Orang yang tidak sakit adalah orang yang sehat. Akan tetapi orang yang sehat ini mungkin saja dia mengalami gejala mudah lelah, cepat mengantuk, tidak energik, lambat dalam berbuat dan lain sebagainya.
Oleh karena itu diperlukan kebugaran agar badan, bukan saja kesehatan, agar bisa energik, tidak malas-malasan, tidak mudah lelah, dan vitalitas tinggi. Hidup teratur, makan seimbang dan bergizi, culkup[ istirahat, olah raga teratur merpakan langkah-langkah untuk menuju kesehatan dan kebugaran fisik.
Kita bisa merasakan betapa mahal sebuah kesehatan apabila kita jatuh sakit. Berapa banyak uang dihabiskan di Rumah Sakit untuk menyembuhkan penyakit. Juytaan, puiluhan bahkan aratusan juta terbuang untuk mendapatkan status sehat setelah sakit. Oleh karena itu lebih murah biaya penjagaan daripada biaya pengobatan setelah terkena penyakit.
Maka, jagalah kesehatan dan kebugaran anda.
d. Persiapan Material
Islam tidak menghendaki kita berpikiran materialistis, bahwa orientasi dalam kehiduopan hanyalah materi. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa materi merupakan salah satu sarana ibadah kepada Allah. Masyarakat Indonesia tidak akan bisa menunaikan haji aopabila tidak memiliki cukup dana untuk berangkat ke tanah suci, serta biaya menetap maupun pulangnya.
Jangankan haji yang jaraknya jauh, sedangkan shalat tidak akan sah apabila tedak mengenakan pakaian yang menutup aurat, dan seseorang tidak memiliki pakaian kalau ia tidak memiliki harta untuk mendapatkannya. Lebih mendasar dari itu, kita tidak bisa melaksanakan ibadah, apabila tidak makan. Untuk bisa makan dengan cukup, sudah pasti diperlukan sejumlah materi.
Islam meletakkan, kewajoiban ekonomi akibat dari pernikahan adalah di tangan suami. Para suami berkeqwajiban menudeiakan kehidup[an bagi isteri, sejak dari kewbutuhan konsumsi, pakaian, tampat rtinggal, kesehatan dan juga pendidikan dan transportasi., Seluruh biaya kehidupan menjadi kewajiban suami untuk memikulnya.
Bukan berarti isteri tidak boleh bekerja produktif. Hanya saja opada pihak isteroi bukan merupakan sebuah kewajiban untuk produktif di bidang ekonomi. Dengan demikian letajk kewajiban suami dan isteri dalam konteks materi ini berbeda. Suami wajib bekerja mencari nafkah untuk menghidupi isteri dan anak-anaknya, sedangkan isteri berkewajoiban mengelolan keuangan daklam rumah tangga.
Adapun persiapan material sebelum pernikahan dimaksudkan lebih kepada kesiapan pihak laki-laki untuk menafkahi dan kesiapan perempuan untuk mengelola keuangan keluarga. Bukan berapa tersedianya dana untuk bisa melaksanakan pernikahan. Sebab apabila kita berhitung kelewat matematis, kita tidak akan bisa mencari jumlah minimal kebutuhan uang untuk hidup berkeluarga.
Seorang laki-laki harus memiliki kesiapan untuk menafkahi keluarganya, sehingga sebelum menikah ia sudah jharus mengetahui pintu-pintu rizqi yang akan mengantarkan dia kepada pemenuhan kewajiabn ini. Sebelum menikah ia sudah memiliki pandangan dan rencana untuk melakukan tindakan ekonomi tertentu, baik berusaha wiraswasta, menjadi pegawai swasta ataupun negeri, dan usaha-usaha lkainnya yang hgalal.
Mengenai berapa penghasilan yang didapatkan dari usaha tersebut, jangan dijadikan tolok ukur utama untuk menilai kesiapan menikah, sebab hal itu akan membuat ketertipuan. Seorang yang pada saat menjelang pernikahan gajinya sangat besar, biosa saja bulan depan sudah mengalami kebangkrutan karena di PHK dari poerusahaannya. Dan berapa banyaknya pengusaha yang kini sukses, dulunya ketika muda memulai usaha dari nol, sehingga melaksanakan pernikahan dalam keadaan tidak memiliki harta benda.
Setiap muslim hendaknya dia memiliki optimisme yang tinggi untuk bisa mendapatkan karunia dari Allah berupa rizqi. Selama mereka mau berusaha, melakukan sesuatu untuk kehidupan, jalan-jalan kemudahan itu akan datang. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu itu (sumber) penghidupan” (Al A’raf : 10).
Pernah suatu ketika Rasulullah saw ditanya seseorang, “Ya Rasulullah, pekerjaan apa yang terbaik ?” Maka beliau menjawab, “Pekerjaan yang terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penjual beli yang baik” (HR. Ahmad, Baihaqi dan lain-lain).
Adaslah sebuah perbuaytan yang tercela, bahwa seseorang berusia produktif tidak mau melakukan sesuatu untuk menghaisilkan nadfkah. Khalifah Umar bin Khathab ra pernah berkata, ”Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu hanya duduk-duduk saja dan tidak berusaha untuk mencari rizki dan hanya berdoa : ‘ Ya Allah berilah hamba rizki !’ Tahukah kamu, dan semua telah tahu bahwa langit itu tak akan menurunkan hujan berupa emas atau perak". Amat keras sindiran khalifah Umar terseburt mengenai orang-orang yang malas bekerja, dan hanya berdoa saja tanpa mau berusaha.
Demikian pula Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Saya benar-benar benci kalau melihat orang hanya menganggur saja, tak berusaha untuk kepentingan dan urusan keduniaannya dan tidak pula berusaha untuk akhirat.” Suatu ketika Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Bagaimana pendapat anda mengenai seseorang yang hanya duduk di rumah atau di masjid dan dia berkata : ‘Saya tidak mengerjakan sesuatu apapun, sehingga rizkiku akan datang nanti dengan sendirinya.’
Imam Ahmad menjawab, “Orang tersebut sangat bodoh dan tak mengerti ilmu agama sama sekali. Apakah orang yang demikian itu tak mendengar sabda nabi : ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku terletak di bawah tombakku.” Juga apakah orang tersebut tidak mendengar sabda Rasulullah saw ketika beliau menyebutkan perihal cara burung mencari kehidupannya, dan mengatakan: ‘Berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan pulang sore-sore dengan perut kenyang’ (riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Yang penting adalah etos kerja dari pihak laki-laki untuk berusaha mencari nafkah dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Islam sangat menghargai etrois kerja dan mengecam para pemalas yang tidak mau bekerja produktif. Kendatipun kaum perempuan tidak mendapatkan beban kewajiban material, akan tetapi bukan berarti tidak boleh bekerja produktif.
Dalam kehidupan sekarang, dimana kebutuhan hidup semakin banyak, maka banyak dijumpai suami dan isteri sama-sama bekerja, sejak mereka belum berumah tangga. Hal seperti ini tidaklah tercela selama mereka berdua saling meridhai dan memilih pekerjaan halal serta sesuai fitrah masing-masing pihak.
Bahlkan untuk kaum wanita, ada hal yang juga perlu dipertimbangkan untuk kehidupan saat ini, dimana pemerintahan tidak mengaplikasikan syariat Islam. Apabila suami meninggal terlebih dahulu, atau terjadi perceraian, dimana anak-anak mengikuti sang ibu, sementara anakj-anak ini memmerlukan biaya sekolah dan kuliah, siapakah yang akan membiayai mereka apabila suaminya mangkir tidak mau memberikan biaya bagi anak-anaknya?
Dalam pemerintahan Islam, mereka yang tidak mampu seperti inimendapatkan jaminan kehidupan dari baitul mal negara. Untuk konteks sekaranmg di Indonesia, penyelesaian masalah itu mungkin bisa dilakukan dengan ta'awun dari orang-orang kaya untuk membiayai hidup janda dengan anak-anaknya. Tetapi jika ta'awun tersebut belum bisa terwujud, sementara janda ini tidak memiliki kerabat atau saudara yang mempu mencukupi hidup[ mereka, maka jalan yang paling mungkin adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi janda tersebut.
e. Persiapan Sosial
Menikah menyebabkan pelakunya mendapatkan status sosial di tengah masyarakat. Jika sewaktu lajang dia masih menjadi bagian dari keluarga bapak ibunya, sehingga sering belum diperhitungkan dalam kegiatan kemasyarakatan, setelah menikah mereka mulai dihitung sebagai keluarga tersendiri.
Membiasakan diri terlibat dalam kegiatan kemsyarakat merupakan cara melakukan persiapan sosial. Apabila laki-laki dan perempuan muslim telah mencapai usia dewasa hendaknya mereka mengambil peran sosial di tengah masyarakat sebagai bagian utuh dari cara mereka belajar berinteraksi dalam kemajemukan masyarakat. Jika sebelum menikah tidak terbiasa melakukan interaksi sosial, biasanya muncul kekagetan ketika telah berumah tangga dengan sejumlah tuntutan sosial yang ada.
Islam adalah agama yang senantiasa menyuruh kita memeiliki kepedulian dan keterlibatan soisial. Allah telah berfirman :
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan Nya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguihnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (An Nisa : 36).
Perintah menyembah Allah, larangan berlalku syirik, dihubungkan kemudian dengan perintah berlaku sosial secara baik. Berbuat kebajikan dalam kehidupan masyarakat yang sempit dan luas, sejak dari kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan lain sebagainya. Tetangga yang dekat dan yang jauh bisa dimaknai dalam konteks jarak, atauopun dalam konteks kekerabatan.
Abu Dzar berkata, bahwa Rasulullah saw telah berpesan kepada dirinya, "Hai Abu Dzar, jika engkau memasak maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikan tetanggamu" (riwayat Muslim).
Demikian juga Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah saw memberikan nasihat kepada para wanita, "Hai para wanita muslimah, janganlah kalian merasa rendah diri jika akan memberi hadiah kepada tetangga, walaupun hanya dengan kikil (ujung kaki) kambing" (riwayat Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam amat mengharagai keserasian dan kerukunan hidup bertetangga. Memberikan perhatian, mengirimkan hadiah, adalah salah satu contoh bagaimana Islam mengajarkan interaksi positif bersama mereka. Oleh karena itu, belajar berinteraksi dengan realitas kehidupan masyarakat merupakan salah satu l;angkah yuang perlu diambil oleh laki-laki dan perempuan agar nantinya tidak canggung ketika telah hidup berumah tangga dan bermasyarakat.
Apalagi bagi mahasiswa dan mahasiswi yanbg terbiasa hidup di kos selama mereka kuliah. Selama tinggal di lingkungan kos, mereka adalah pihak yang terisolir dari masyarakat. Ketika ada acara-acara sosial kemasyarakatan mereka tidak pernah dilibatkan, karena dianggap sebagai tamu terhormat oleh masyarakat. Dalam batas tertentu, mahsiswa dengan menara gading kampusnya, telah diletakkan pada posisi untauchable oleh masyarakat.
Tatkala melaksanakan rapat RT para mahasiswa tidak diundang, demikian juga ketika ada jadual ronda, kerja bakti dan lain sebagainya, mereka cenderung tidak dilibatkan. Sebagaimana juga ketika ada arisan ibu-ibu, pertemuan dasawisma, pertemuan PKK dan lain sebagainya acara kaum wanita, para mahasiswi yang tinggal di lingkungan itu tidak pernah dilibatkan. Dampaknya selama empat atau l;ima tahun mereka kos, terisolir dari kehidupan masyarakat dis ekitarnya. Mereka hanya mengenal dunia kampus dengan segala macam aktivitas dan isealismenya.
Begita mereka menikah dan tinggal di sebuah lingkungan m masyarakat, mereka sudah dihitung sebagai keluarga mandiri yang,m mendapoatkan tuntutan peran yang utuh dalam masyarakat sebagaimanba keluarga yang lainnya. Kadang ada asemacca,m kejutan tertentu pada mereka karena selama ini tidak terbiasa dengan ronda, arisan atau rapat tingkat RT, bahkan acara sosial lainnya seperti melayat orang meninggal, menghadiri pesta pernikahan atau aqiqah tetangga dan lain sebagainya.
Sangat diperlukan pembelajaran dari awal dalam konteks sosial;, agar tidak terjadi kekagetan dalam mengarungi hidup berumah tangga. kadang-kadang dalam hidup bermasyarakat diperlukan "ilmu basa-basi", agar mampu mensosialisasikan diri di tengah komunitas masyarakat luas. Perlu wajah sosial, murah senyum, mudah mendahului menyapa oirang, dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari bumbu-bumbu hidup dengan baik bersama tetangga dan lingkungan terdekat.
Demikianlah beberapa persiapan yang diuperlukan oleh setiap pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Semuanya bertujuan agar kehidupan keluarga yang dilewati paska pernikahan akan membawa kebahagiaan, kebaikan dan diliputi oleh suasana sakinah mawadah wa rahmah.
1 komentar:
postingnya bagus dan menarik, semoga bermanfaat.^^
suplemen pelangsing badan
Posting Komentar
Silahkan Di Tanggapi