Minggu, 03 Januari 2010

REKAM JEJAK KEIMANAN



Menyusuri bentangan aliran sejarah para Sahabat Rasululloh saw, seakan membawa jasad ini turut hadir dalam setiap jejak langkah keemasan yang mereka torehkan. Tiba-tiba diri ini mengkerdil di hadapan mereka. Tak ada apa-apanya jika di sandingkan pada kejayaan yang mereka ciptakan. Apalah diri ini. Saat lelah mendera, diri ini menjadi lemah. Kala ikhlas mulai pudar, pengorbanan pun tak lagi bertahan.



Teringat tutur kata Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, bahwa ada dua sebab yang menjadikan para sahabat Rasulullah saw lebih utama dan lebih unggul dibanding kaum Muslimin yang lainnya. Pertama, karena kebersihan hati mereka dari ragam keraguan, yang menunjukkan mereka memiliki kekuatan iman yang tinggi. Kedua, karena pengorbanan mereka dalam jihad dan kesungguhan dalam merealisasikan nilai-nilai kebenaran Illahi.

Dua keadaan ini memang pantas mereka sandang sebagai sahabat yang mulia. Sebagaimana sabda Rasululloh saw tentang mereka, “ Sebaik-baik zaman adalah zamanku, kemudian zaman setelahnya, kemudian zaman setelahnya, dan seterusnya.” Sebuah siklus yang sangat indah, yang jikalau saat ini ada generasi terbaik, belum tentu sebaik generasi pada zaman Rasululloh masih hidup. Saat ini, saat dunia mulai menjadi raja, hatipun tak berdaya. Keimanan tergadaikan, dan nilai-nilai kebenaran terkubur dalam.

Mereka, memang bukan manusia yang tidak mempunyai keinginan dunia. Bukan pula manusia yang tidak mempunyai hawa nafsu. Mereka juga manusia yang mempunyai hasrat, ambisi dan keinginan. Sama seperti kita. Seperti halnya Umar bin Abdul Aziz ra, Khalifah bani Umayyah yang terkenal sebagai kalifah kelima (setelah Ali ra).

” Jiwaku, memiliki sifat yang tidak pernah puas. Jika aku memperoleh sesuatu maka aku ingin sesuatu yang lebih baik darinya. Ketika jiwaku mendapat Khilafah, jiwaku menginginkan Akhirat.”

Hidup di dunia memang sarat dengan ambisi dan keinginan keduniaan. Ingin hidup lebih baik, ingin memperoleh harta banyak, ingin mendapat kedudukan tinggi, ingin di hormati karena pangkat jabatan, ingin ada jaminan hidup yang pasti, bahkan setelah kehidupan bukan milik kita lagi. Terasa biasa, namun aneh bila direnungkan. Apa yang sebenarnya kita cari.

Mau tidak mau, itulah kenyataan ambisi keduniaan yang ada dalam benak banyak orang, mungkin juga termasuk kita. Hanya keimanan yang mampu mengekang dan mengontrol ambisi keduniaan itu agar tidak berlebihan dan merusak. Memang tidak ada larangan untuk merengkuh kenikmatan dunia, namun tetap ada batas-batasnya. Karena bagaimanapun juga segala yang berlebihan, pasti akan membawa keburukan. Sebagaimana ungkapan seorang ahli hikmah, ” Barang siapa yang meninggalkan berlebihan dalam bicara, ia akan memperoleh hikmah dalam lisannya. Barangsiapa yang meninggalkan berlebihan dalam pandangan, ia akan memperoleh kekhusyu’an dalam ibadahnya. Barangsiapa yang meninggalkan berlebihan dalam makanan, maka ia akan di beri kelezatan dalam ibadahnya. Barangsiapa yang berlebihan dalam tertawa, ia akan memperoleh kewibawaan. Barangsiapa yang menempatkan hatinya jauh dari cinta dunia, maka ia akan memperoleh cinta akhirat. Dan barangsiapa yang meninggalkan kesibukan terhadap aib orang lain, maka ia akan memperoleh kesibukan memperbaiki aibnya sendiri.”

Di sini, kita bukan hanya mnghadapi badai lautan, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, angin beliung. Namun, semakin kita melangkah dalam dunia yang kita diami sekarang ini, ancaman keimanan semakin terasa berat dan keras. Ancaman kemunafikkan yang bukan sekedar hidup atau mati sebagai taruhan, namun soal syurga dan neraka.

Kalaupun hari-hari kita telah banyak do’a-do’a yang terpanjatkan, renggangan tangan  yang terulur untuk menggapai hidayah Alloh, dan jejak-jejak pengorbanan dalam ibadah kepada-Nya. Mari kita perkuat kembali usaha kita. Syafiq bin Ibrahim pernah mengatakan, ”Pintu taufiq (bantuan Alloh) akan tertutup dari makhluk dalam enam keadaan. Kesibukan mereka dengan nikmat daripada mensyukurinya. Keinginan untuk menuntut ilmu dan meninggalkan mengamalkannya. Bersegera melakukan dosa dan menunda-nunda bertaubat. Bangga berteman dengan orang Sholeh tanpa mencontoh apa yang mereka lakukan. Dunia akan mereka tinggalkan, namun mereka tetap mengejar dunia. Akhirat akan mereka datangi, tapi mereka justru berpaling dari akhirat.”

Sekali lagi, seburuk-buruk penyesalan adalah penyesalan di hari kiamat...

Semoga kita bersegera merengkuh pintu-pintu taubat dan hidayah. Amiin ya Robb...

Wallahu’alam.. (dari berbagai sumber)