Rabu, 18 November 2009

SAAT NIKMAT ITU DATANG


Pagi ini, saat laron dengan riangnya mengepakkan sayap-sayap mungil mereka mencari rezeki Alloh, sementara tubuh lemah ini hanya bisa menatapnya dari balik jendela diatas pembaringan. Kuraih handphone, lalu ku buka dua pesan yang masuk. Dari seorang sahabat di ujung timur pulau ini.


“ Wahai jiwa yang terus mengayuhkan kaki,

tiadakah engkau lelah menempuh perjalanan ini ?

Mengapakah tiada waktu sejenak untuk berhenti, melunakkan hati yang semakin mengeras dalam menghadapi panas dinginnya tuntutan hidup

yang hanya mengajakmu terus memenuhi hasrat yang tiada pernah merasa cukup...


Wahai jiwa yang baik,

Tiadakah engkau memiliki waktu ?

Dimana engkau meminta sesuatu, pada Zat yag mampu memberi apa saja yang engkau minta ?

Pernahkah tangismu meruntuhkan kesombonganmu yang merasa kuat tanpa pertolongan Tuhan-mu ?


Wahai jiwa yang tengah merindukan kasih sayang,

Sesungguhnya kasih sayang yang engkau rindu telah lama menunggumu.

Menunggu kapan engkau memiliki waktu,

dalam keheningan yang menentramkan,

waktu dirimu meluluhlantakkan keegoanmu,

menumpahkan segala resah dengan airmatamu,

mengakui kelemahanmu,

bersujud dan menengadahkan kedua tanganmu,


jikalau telah engkau tepati waktu itu,

maka saat bahagia akan menghampirimu,

dengan seijin TuhanMu...”


Wahai sahabatku,

SMS antum memberiku segenggam energi. Dua hari sudah, rasa sakit itu bercokol dalam kepalaku, rasa ngilu itu menyelimuti di setiap persendian tulang-tulangku, rasa sesak itu menghimpit dadaku. Namun, dalam satu malam saja, semuanya itu seakan-akan hilang atas ijin Tuhan-ku. Setelah sebutir Ciprofloxacin, dexamethazon, dan sebutir asam mefenamat masuk di saluran pencernaanku. Hanya tersisa rasa lemah karena masih membutuhkan energi untuk bergerak.


Allah yang memberi nikmat sakit ini, agar aku bisa bersyukur telah diingatkan akan nikmat sehatku. Allah yang memberi waktu istirahatku ini agar aku bisa bersyukur atas nikmat waktu untuk menyibukkanku pada aktifitas-aktifitas kebaikan. Allah yang memberi lemahnya keadaan tubuh ini, agar aku bisa bersyukur akan saat-saat tubuh ini bugar. Allah Maha Adil.


Dan sebagai seorang manusia biasa, kita hanya mampu untuk berikhtiar saat Allah berikan nikmat sakit. Saat ini, kondisi cuaca begitu cepat berubah. Dari panas, mendung, dan hujan. Dan bisa jadi, kondisi cuaca inipun berpengaruh terhadap kondisi badan kita. Maka, mari sahabat, kita jaga kondisi badan kita agar tetap bugar dengan usaha kita, dan dengan mengharapkan Ridho dari-Nya agar kita senantiasa bisa melakukan aktivitas-aktivitas kebaikan sebagai tabungan di hari perhitungan kelak.

Minggu, 08 November 2009

Lagi-lagi : Jaga Hati...!!!

“ Sebenarnya, kriteria akhwat seperti apa sih yang antum dambakan sebagai calon istri ?”, sebuah pertanyaan ‘lancang’ yang ditujukan dari bibir seorang akhwat untuk seorang ikhwan berstatus lajang. Tapi harus aku maklumi, aku sedang di “sidang”…!!


Aku beristighfar dalam hati. Dengan perasaan yang tidak menentu dan harus menjawab apa. Sejenak aku menjawab dengan senyuman, dengan wajah yang masih tertunduk malu. Malu pada Allah, ketika harus memandang wajah yang tidak ada hak bagiku untuk memandangnya.


”Untuk apa anti bertanya demikian ?”, akhirnya pertanyaan yang aku jawab juga dengan sebuah pertanyaan. 1-1 pikirku. Sekarang, sepertinya gantian dari seberang yang salah tingkah harus menjawab apa.


” Bukan maksud apa-apa akhi, siapa tahu ane bisa mencarikan untuk antum. Atau jangan-jangan antum sudah punya pilihan di hati antum”, tendangan yang bagus, membobol segenap isi hati ini.


Beginilah pertanyaan dari seorang akhwat yang sudah menikah, tidak mungkin ia seberani ini mengalirkan pertanyaan ’lancang’ untuk seorang ikhwan lajang kalau saja sahabatku belum meminang dan menikahinya.


”Ukhti, asli. Jujur. Tidak sepantasnya bagi seorang aktivis dakwah seperti kita, penyeru kebajikan seperti kita, mendahului takdir dan keputusan Allah dalam masalah jodoh. Apalagi bagi ane yang sudah lama mempunyai prinsip, tidak akan pacaran sebelum menikah. Dalam hati ini, belum pernah ada satupun akhwat yang membuat diri ini tidak nyaman tidur, tidak enak makan, dan sebagainya. Karena apa, karena kita sadar, sepenuhnya hati ini milik Allah. Jadi, mana mungkin ane bisa memahat sebuah nama seorang wanita yang belum pasti akan menjadi sigaring nyowo bagi ane? sebuah prinsip yang sampai hari ini masih kuat ane pegang, bahwa hati ini akan bermuara pada akhirnya ketika memang waktu itu telah tiba. Waktu lisan ini mengucapkan Mitsaqon Gholidzo. Janji suci dalam ikatan pernikahan”. Suara diseberang terdiam sebentar, seakan-akan ingin melempar kembali umpan yang lebih empuk. Entah sebenarnya kemana sih arah pembicaraan kedua akhwat di seberang.


” Ane paham akhi, tapi afwan. Kalau boleh tahu, sejauh ini ane melihat antum dekat dengan beberapa orang akhwat. Apa tidak ada satupun di antara akhwat itu yang ada kecenderungan mengisi ruang hati antum ?, afwan” tuh khan, benar. Inilah konsekuensi seorang ikhwan lajang yang dapat amanah sebagai seorang pimpinan lembaga yang kebanyakan berisi akhwat. Hadzihil Fitnah...


Fiuh...harus ku jelaskan bagaimana ya. Orang melihat yang sebenarnya, secara fisik, aku memang dekat dengan beberapa orang akhwat dalam lembaga yang aku pimpin. Bukan apa-apa, ini karena sebuah tuntutan. Ya, tuntutanku sebagai seorang pimpinan dalam lembaga ini. Ketika ada permasalahan-permalasahan yang memang menyangkut lembaga, baik permasalahan tersendatnya program-program yang seharusnya segera bisa direalisasikan namun karena ada permasalahan internal di salah satu bidang, dan rupanya kordinator bidang tidak bisa dengan segera memberikan solusi itu, akhirnya aku yang harus turun tangan. Mencoba menyelesaikan permasalah itu dengan pendekatan personal. Dari hati ke hati. Namun tetap menjaga dalam koridor syariat. Baik via telepon, sms, email, chatting, atau bahkan saat bertemu langsung. Sekali lagi aku tegaskan, bahwa kedekataknu dengan beberapa orang akhwat di lembaga ini sebatas dalam koridor pimpinan dan bawahan. Tidak kurang tidak lebih. Semuanya aku tempatkan sama. Dengan niatan agar semua permasalahan yang memang menyangkut perasaan setiap personalia segera teratasi jika memang koordinator bidang tidak segera bisa menyelesaikannya. Tapi, beda orang, beda pula cara memandangnya. Ada yang melihat bahwa aku condong pada beberapa orang akhwat. Aku hanya bisa beristighfar. Bahkan ada yang lebih parah, melabeliku dengan julukan ”Don Perayu”. What everlah...


Ketika aku jelaskan hal ini, suara kedua diseberang ikut mengalir,


” Para akhwat melihat antum itu TPTP, akh. Tebar Pesona. Ane paham, antum mungkin secara tidak sadar melakukan itu, walaupun mungkin tidak ada satu kepingpun dalam hati antum itu niatan untuk tebar pesona”...Allohu Robbi, fitnah apa lagi ini...?


Mata ini berkaca, tapi mungkin pemilik dua suara diseberang sana tidak melihatnya karena aku tetap tertunduk. Suaraku tercekat, dalam hati aku istighfar berkali-kali. Aku teringat pesan Mbakku dulu, saat aku mulai datang ke Solo awal semester kuliah.


”Jaga Mata dan Hati...!!”, itulah pesan yang aku tanam dalam-dalam sampai sekarang.


” Ane bingung harus menjawab bagaimana, ukh. Dan ane juga sungguh tidak tahu kalau rupanya ane ini menjadi perbincangan di kalangan akhwat, sungguh ane benar-benar tidak menyadarinya. Bahkan untuk memikirkan hal itupun tidak pernah. Jadi, untuk urusan yang satu itu, ane serahkan kepada yang menggenggam jiwa ane. Namun yang jelas, ane sudah berusaha untuk benar-benar bersih dalam melakukan semua aktivitas ane, apalagi yang menyangkut dengan hubungan ikhwan-akhwat. Hati memang tidak bisa bicara ukh, namun matalah yang melihatnya. Ane mohon maaf apabila dalam pandangan teman-teman akhwat, ane di pandang sebagai ikhwan yang TPTP. Dan, ane pikir ini menjadi tugas masing-masing untuk kembali membersihkan hati, dan kembali mengalihkan hal-hal demikian pada proyek dakwah yang menggunung daripada hanya sekedar membicarakan yang memang belum waktunya bagi ane. Mungkin cukup ukh, untuk perbincangan kita kali ini, sudah hampir maghrib”.


” ya akhi, afwan jiddan jika pembicaraan ini menyakiti hati antum. Benar kata antum, kita memang harus menjaga hati dan membersihkannya bila ada kotoran yang melekat. Tapi akh, satu hal yang perlu antum ketahui, bahwa hati akhwat itu berbeda dengan hati seorang ikhwan, hati akhwat lebih sensitif. Sehingga ketika ada seorang ikhwan yang ’dekat’ dengannya, memberi perhatian yang sedikit lebih, hati akhwat bisa condong pada sang ikhwan walaupun si ikhwan tidak menyadarinya. Jadi, ane juga mohon kepada antum, untuk lebih belajar lagi memanajemen hubungan antara pimpinan dan bawahan. Demi kebaikan kita bersama. Begitu saja akhi, pertemuan kita sore ini, Assalamu’alaikum warohmatullohi...”, segera setelah aku menjawab salam mereka, kedua akhwat tadi pun melajukan sepeda motornya. Menembus jalanan dibawah naungan langit yang telah berubah warna senja.


Sepanjang perjalanan pulang ke kost, lintasan memori masa lalu kembali hadir. Kasus-kasus akhwat yang menempatkan aku sebagai obyek kesalahan, ikhwan yang ’bikin onar’ di setiap hati akhwat yang dekat denganku. Awal-awal kuliah dulu, saat aku di sidang Mbak Fatma, mbakku. Mbak Fatma mendapat laporan dari akhwat yang kebetulan satu kost dengan ukhti ’A’, satu program kuliah. Bahwa ukhti ’A’ sakit, dan sakitnya rupanya disebabkan olehku. Aku tidak sadar, rupanya setelah ukhti ’A’ di ’sidang’, beliau menceritakan semua isi hatinya, ia keluarkan semua catatan, isi diary, sobekan kertas yang berisi tulisan tanganku, semuanya tentang aku. Dan aku benar-benar tidak menyadarinya.


Kemudian, kembali aku disidang oleh Mbak Fatma, ketika aku mendapat amanah di sebuah departemen bidang pembinaan. Aku di ”gosip”kan dekat dengan kordinator akhwat. Katakanlah ukhti ’B’. Sering ke kost beliau, bahkan selepas isya (saat itu jam malam berkunjung ke kost akhwat adalah pukul 19.30 wib). Lalu aku jelaskan bahwa seringnya aku ke kost beliau karena semata-mata aku menyerahkan tugas-tugas amanah dakwah di departemen, bukan urusan pribadi. Dan kenapa malam hari ? karena memang sejak siang hingga maghrib aku di sibukkan dengan urusan praktikum, sehingga baru bisa menyelesaikan tugas-tugas dakwah saat maghrib, dan harus diserahkan segera. Tidak ada pembicaraan pribadi.


Kemudian, memori yang berhubungan dengan akhwat kembali hadir. Saat itu, seorang akhwat katakanlah ukhti ’C’, mencoba meminta bantuanku untuk bisa menjadi penyiar di sebuah radio swasta di kota solo. Saat itu amanahku sebagai Presiden BEM Fakultas, aku memanfaatkan penawaran itu sebagai kesempatan untuk menjadikannya sebagai program BEM, dan memang berhasil. Namun lagi-lagi orang melihatnya lain. Aku di ”gosip”kan dekat dengan ukhti ’C’.


Pernah aku kesal sama Mbakku,


” Kenapa sih akhwat suka banget nge-gosip???, bukankah mereka itu ngaji ? kok bisa-bisanya suka menggosip ?”, kesalku. Lalu Mbak Fatma mencoba membela para akhwat.


” Tidak semua akhwat, dan itupun bukan dalam rangka ghibbah, tapi untuk mencari kebenaran berita antum itu loh”, bela Mbakku.


” Kalau memang pingin dapat tabayyun, kenapa nggak langsung tanya ke aku, Mbak ? mereka gak berani ? ahh...pengecut tuh akhwat”, runtukku saat itu, benar-benar kesal.


” Khan mereka sudah benar, mereka melalui perantara orang yang dekat dengan antum. Mereka bertanya sama Mbak, makanya mbak tanya ke antum, baru Mbak jelaskan”.


Cerita-cerita semacam ini bukan sekali dua kali, tetapi sudah terlalu sering, hanya karena salah tangkap informasi, salah penafsiran, hanya melihat dari satu sudut pandang dan sebagainya, seseorang terjerat bisikkan syetan untuk ber su’udzon terhadap saudaranya lalu berlanjut pada berghibbah sesama ikhwah dan terjadilah fitnah.


Aku sadar, tidak ada manusia yang sempurna yang luput dari kesalahan. Sekalipun ia adalah seorang Da’i, yang menyerukan kebenaran. Tugas kita adalah tetap berusaha untuk berbuat sebaik mungkin, belomba-lomba dalam kebaikan.


Akhirnya, motor ini membawaku ke kost-kostan beriringan dengan panggilan Adzan Maghrib. Saatnya kembali mengadukan permasalahan hati ini kepada Zat Yang Menggenggam setiap Hati makhluk-Nya.

Perjuangan Belum Usai

“Apa yang sebenarnya kita perjuangkan selama ini, akhi?”, sebuah pertanyaan retoris meluncur begitu saja dari bibir seorang al akh ketika sedang termenung melihat kondisi generasi muda Indonesia saat ini.

Sejenak ku terdiam dalam kebisuan yang kami rasakan bersama. Di atas meja bundar tergeletak beberapa majalah, koran, buletin, jurnal dan lembar-lembar hasil searching internet yang berisi fakta tentang kondisi remaja kita yang kian membuat sempit rongga dada. Remaja yang menjadi korban pemerkosaan, penjualan anak perempuan, perbudakan manusia dibawah umur, bahkan yang dilakukan oleh remaja itu sendiri mulai dari narkoba, freesex yang kemudian disebarluaskan melalui HP dan internet, mabuk-mabukan, perkelahian antar pelajar, pelecehan seksual terhadap teman sebaya, pemerkosaan terhadap perempuan dibawah umur, dan lain sebagainya.


“ Bukah hal yang mudah, memang!?”, Pertanyaan retoris selanjutnya yang kujawab dengan diam dan tatapan yang lurus ke depan. Memandang kehijauan dedaunan yang sedang bertasbih menyapa kelam yang mulai membayang di ujung senja.

“ Untuk itu kita berusaha tampil kemuka, akhi. Bukan sekedar terenyuh dan menangisi kondisi ini begitu saja. Apa yang kita serukan adalah sebuah mimpi yang bernilai harapan untuk perbaikan moral generasi kita. Bukankah harapan itu masih ada ?”, sesungging senyum tulus yang lahir dari lubuk hati terpancar melalui segaris lukisan wajah yang cerah karena kebersihan jiwanya.

Aku membalas senyumnya.
“ Ya akh, yang berada didepan kita saat ini adalah sebuah tantangan. Bukan sebuah hambatan. Allah menurunkan kondisi ini agar nyata mana orang-orang yang masih bertahan dalam keimanan dan mana orang-orang yang masih teguh dalam menyampaikan Risalah-Nya. Dan sebuah harapan, kita termasuk dalam orang-orang yang tetap teguh untuk mempertahankan keimanan kita dan menyampaikan kabar iman ini kepada saudara-saudara kita diluar sana”. Jawabku dalam kebekuan kalimat yang menegaskan.

Senja mulai terusir oleh sang kelam. Namun rona-ronanya tetap saja menjadi raja bagi kerajaan langit yang tak lagi biru. Sebuah lukisan maha karya yang bahkan seorang Picaso ataupun Leonardo Da Vinci pun tak sanggup untuk menandinginya dalam balutan kuas yang menari diatas kanvas. Setiap garis-garis warnaya mempunyai makna yang dalam. Memberikan sebuah harapan, bahwa warna itu akan kembali berubah ketika kelam mulai terusir fajar. “Habis Gelap, Terbitlah Terang”.

Kami beranjak dari meja bundar ketika kelam benar-benar mulai meraja bertahtakan bebintang yang berkilauan ditemani sang ratu malam. Kami menuju mushola setelah membersihkan diri dengan wudhu. Dan saat takbir bergema, keagungan Sang Maha Kuasa mulai merajai hati-hati kami. Bibir-bibir kami lirih menyenandungkan sebuah irama kerinduan. Dengan nada pengharapan dan pengagungan. Mengalir rendah menuju muara hati yang bening karena hidayah.

Catatan Kost Seorang Ikhwan


Pagi itu, seperti halnya pagi-pagi di akhir musim kemarau. Cerah, tanpa awan. Mataharipun dengan leluasa menghamburkan cahayanya. Dan burung-burung yang hinggap di pohon sawo kecik belakang kost masih asyik bercengkerama. Namun, ada satu sosok yang justru terdiam khusyuk dalam dengkurannya.

“ Akhi, sudah jam delapan. Antum gak ngajar hari ini ?”, saat kubuka pintu kamarnya segera saja sinar matahari mendahuluiku untuk hinggap disetiap sudut ruang tertutup tiga kali dua setengah meter ini dan menyapa seonggok jasad yang mendengkur . Aku berdiri di depan pintu.
“ Argh…tutup pintunya, silau..!!” runtuknya kesal. Aku hanya memandangnya dengan sebongkah rasa kecewa. Untuk yang kesekian kali.

Bukan maksudku untuk mendzolimi dengan merebut mimpi indahnya selepas subuh. Hanya sekedar mengingatkan, bahwa ada banyak hal yang bisa dikerjakannya selepas subuh daripada sekedar berdiam diri didalam kamar dan berlanjut merajut mimpi yang terputus tadi malam (baik sengaja maupun tidak sengaja). Tilawatil Qur’an, Dzikir harian, membaca buku yang tergeletak begitu saja setelah ia beli di pameran 1 bulan yang lalu, berolah raga ringan, membereskan kamar yang berantakan, mencuci baju-baju kotor yang masih saja sering dipakainya, mencuci piring dan gelas yang semalam di pakai untuk makan, menyapu halaman kost yang penuh dengan daun-daun tua, menyiram tanaman yang kekeringan, menyemir sepatu untuk persiapan mengajar, menyeterika baju-baju lusuh yang entah pernah dicuci kapan, melap motornya yang di selimuti debu-debu musim kemarau, atau hal-hal lain yang bisa membuat hidup ini benar-benar menjadi hidup sampai ia berangkat beraktivitas rutin.

Ketika sebuah pertanyaan ku ajukan, ia jawab semaunya.
“ Kenapa sih Akh, antum tidur (atau mungkin tertidur) ba’da subuh ?”.
“ Ngantuk...capek...lemes...pusing...stress...” entah berapa lagi alasan yang di keluarkan.

Memang tak perlu aku jelaskan lagi apa manfaat sholat subuh berjamaah di masjid, beraktivitas selepas subuh, ia tak perlu itu,. Ia sudah paham betul bahwa rejeki Alloh di limpahkan di pagi hari. Bahkan mengerti betul pepatah jawa bahwa kalau tidak bersegera beraktivitas maka rejekinya akan di patok ayam.

Alasan logis coba ia sampaikan, semalam ia nglembur. Entah nglembur apa tadi malam. Yang jelas bukan nglembur mengerjakan tugas, belajar untuk persiapan mengajar, mengkoreksi ulangan, mempersiapkan soal-soal, atau yang sejenisnya. Yang aku tahu adalah ia berada serius di depan laptopnya, dengan memegang stick game dan sesekali berteriak “ Goool...!!!”

Dan parahnya, alasan itu tidak ia keluarkan hanya di pagi hari, hampir di setiap waktu ketika wajahnya kelihatan kusut masai. Bahkan selepas sholat. Capek...stress...pusing...mumet...

Ya sudahlah, ia juga manusia sebagaimana aku juga terkadang pernah mengalami yang namanya rasa malas. Aku juga pernah dan mungkin sering merasakan kondisi kurang bersemangat. Dan mungkin hampir semua diantara kita pernah merasakan hal ini. Sebuah hal yang tidak bisa disalahkan, bahwa yang namanya keimanan itu naik dan turun sesuai sabda Nabi saw bahwa keimanan naik ditandai dengan meningkatnya ibadah dan menurunnya iman dicirikan dengan kemaksiatan yang kita lakukan. Ya, kemaksiatan yang kadang menjadikan kita lemah, malas, suntuk, capek, de el el...

Tapi apa sebenarnya yang terjadi pada diri kita ketika setelah beribadahpun masih kering jiwa kita? Selepas sholatpun justru capek dan lelah yang kita dapatkan? Selepas tilawah justru rasa kantuk yang sangat amat menghinggap di pelupuk mata ?

Bisa jadi, kekeringan jiwa ini terjadi karena lunturnya kesadaran kita tentang hakikat hidup dan kehidupan itu sendiri. Bahkan Rasululloh saw pernah bersabda dalam salah satu hadistnya, tentang niat dan keikhlasan dalam beribadah. Ya, niat dan keikhlasan inilah yang seharusnya menjadi satu hal yang pokok dalam hidup dan kehidupan ini.

Bisa jadi, terkadang kita merasa aktivitas ibadah kita tidak lebih dari sekedar mengugurkan kewajiban saja. Sholat fardhu di masjid, shoum sunnah mingguan, Dzikir harian, tilawatil Quran, Qiyamul Lail dan amal yaumi yang lain, semua itu dilakukan hanya karena memenuhi tuntutan pemenuhan wajifah yaumiyah yang akan di mutabaah setiap pekan. (Astaghfirullah, jadi malu ^-^`)

Bisa juga, bukan karena beban harus melaporkan kegiatan ibadah kita dalam pengajian rutin atau liqoat. Bukan karena itu. Namun, tidak jarang diantara kita karena sudah menganggap aktivitas ibadah tersebut adalah rutinitas, sehingga membuat kita lalai dari hakikat ibadah kita yang (pernah) kita pahami, akhirnya semua menjadi kosong, sholat tidak membawa dampak positif dalam hidup, tilawah hanya sekedar membaca, puasa sekedar menahan lapar dan dahaga. Akhirnya semua aktivitas tidak lagi memberi dampak positif terhadap diri. Bahkan tidak jarang yang berakhir dengan kefuturan bahkan berhenti dari amal-amal ibadahnya.

Ada seorang teman yang pernah mengeluh, kadang merasa butuh yang namanya “refreshing”, penyegaran jiwa. Penyegaran jiwa ini adalah sesuatu yang penting untuk motivasi kita dalam ibadah, tapi menurutku istilah penyegaran adalah membuka kembali kitab kitab aqidah, tazkiyatun nafs dan fadhilah ibadah, mengkaji kembali alasan kita beribadah dan apa yang kita cari sesungguhnya.

Aku pernah dengar tentang seorang rekan kita yang aktifis dakwah yang dulu sangat heroik dalam perjuangan dakwahnya di kampus, namun ketika selepas kampus hampir sama sekali berubah. 180 derajat. Mengapa saudara kita bisa merasakan hal demikian? menurut beliau semua diakibatkan kurang ikhlasnya hati dalam mejalani dakwah dan ibadah walaupun dulu ia pernah paham hakikat ibadah dan dakwah. Sikap heroiknya semata-mata karena lingkungannya bersama dengan teman-teman ikhwah yang lain. Namun disaat ia sendirian, ibadah dan perjuangan dakwahnya mulai kehilangan ruh’nya, akhirnya jiwa menjadi kosong dan mudah di bisiki oleh syeitan. Hmm...domba yang sendirian akan lebih mudah di terkam serigala.

Sahabat sekalian, sekalian semoga Allah senantiasa menjaga hari kita, dan tentunya kita juga harus terus berupaya untuk menguatkan maknawiyah kita dengan menghadiri majelis dzikir dan ilmu. Dan jangan lupa mari kita lakukan muhasabah untuk memastikan kita senantiasa berada dalam jalur yang tepat (^-^).

Ketika tilawatil Qur’an, sempatkan juga kita membaca dan mentaddaburi terjemahannya, sehingga saat tilawah kita benar-benar merasa bahwa Alloh sedang berbicara dengan kita, entah tentang kabar gembira, syurga, cerita masa lalu, berita peringatan, neraka dan siksanya dan lain sebagainya. Ketika wudhu, kita rasakan benar-benar tengah membersihkan segala dosa dari kemaksiatan yang dilakukan oleh setiap jengkal tubuh kita. Saat sholat, yakinkan diri kita bahwa Alloh ada di hadapan kita, dan sedang memandangi ’persembahan’ ketaatan kita dan juga jangan malas membuka kitab-kitab sirah nabawi untuk memompa semangat dakwah dan perjuangan kita, mungkin cukuplah belajar dari perjuangan para nabi dan rosul ditambah keihlasan para sahabat, sebagai bekalan kita menjalani hidup. Untuk menghantarkan kita pada keridhoan Allah SWT. Amiin ya Robb. Wallahu alam...

NB : Untuk saudaraku di Kost, afwan jiddan jika merasa tersinggung.
Kewajibanku sebagai seorang sauadara selagi masih punya kesempatan dan semangat untuk saling mengingatkan.
Kapan ya bisa saling membangunkan untuk sholat malam ?
Kapan ya bisa saling mengingatkan untuk sahur setiap senin dan kamis ?
Kapan ya bisa kembali menghidupkan amal-amal islami dalam kost kita ?
hehehe... Piss...!!