Minggu, 08 November 2009

Perjuangan Belum Usai

“Apa yang sebenarnya kita perjuangkan selama ini, akhi?”, sebuah pertanyaan retoris meluncur begitu saja dari bibir seorang al akh ketika sedang termenung melihat kondisi generasi muda Indonesia saat ini.

Sejenak ku terdiam dalam kebisuan yang kami rasakan bersama. Di atas meja bundar tergeletak beberapa majalah, koran, buletin, jurnal dan lembar-lembar hasil searching internet yang berisi fakta tentang kondisi remaja kita yang kian membuat sempit rongga dada. Remaja yang menjadi korban pemerkosaan, penjualan anak perempuan, perbudakan manusia dibawah umur, bahkan yang dilakukan oleh remaja itu sendiri mulai dari narkoba, freesex yang kemudian disebarluaskan melalui HP dan internet, mabuk-mabukan, perkelahian antar pelajar, pelecehan seksual terhadap teman sebaya, pemerkosaan terhadap perempuan dibawah umur, dan lain sebagainya.


“ Bukah hal yang mudah, memang!?”, Pertanyaan retoris selanjutnya yang kujawab dengan diam dan tatapan yang lurus ke depan. Memandang kehijauan dedaunan yang sedang bertasbih menyapa kelam yang mulai membayang di ujung senja.

“ Untuk itu kita berusaha tampil kemuka, akhi. Bukan sekedar terenyuh dan menangisi kondisi ini begitu saja. Apa yang kita serukan adalah sebuah mimpi yang bernilai harapan untuk perbaikan moral generasi kita. Bukankah harapan itu masih ada ?”, sesungging senyum tulus yang lahir dari lubuk hati terpancar melalui segaris lukisan wajah yang cerah karena kebersihan jiwanya.

Aku membalas senyumnya.
“ Ya akh, yang berada didepan kita saat ini adalah sebuah tantangan. Bukan sebuah hambatan. Allah menurunkan kondisi ini agar nyata mana orang-orang yang masih bertahan dalam keimanan dan mana orang-orang yang masih teguh dalam menyampaikan Risalah-Nya. Dan sebuah harapan, kita termasuk dalam orang-orang yang tetap teguh untuk mempertahankan keimanan kita dan menyampaikan kabar iman ini kepada saudara-saudara kita diluar sana”. Jawabku dalam kebekuan kalimat yang menegaskan.

Senja mulai terusir oleh sang kelam. Namun rona-ronanya tetap saja menjadi raja bagi kerajaan langit yang tak lagi biru. Sebuah lukisan maha karya yang bahkan seorang Picaso ataupun Leonardo Da Vinci pun tak sanggup untuk menandinginya dalam balutan kuas yang menari diatas kanvas. Setiap garis-garis warnaya mempunyai makna yang dalam. Memberikan sebuah harapan, bahwa warna itu akan kembali berubah ketika kelam mulai terusir fajar. “Habis Gelap, Terbitlah Terang”.

Kami beranjak dari meja bundar ketika kelam benar-benar mulai meraja bertahtakan bebintang yang berkilauan ditemani sang ratu malam. Kami menuju mushola setelah membersihkan diri dengan wudhu. Dan saat takbir bergema, keagungan Sang Maha Kuasa mulai merajai hati-hati kami. Bibir-bibir kami lirih menyenandungkan sebuah irama kerinduan. Dengan nada pengharapan dan pengagungan. Mengalir rendah menuju muara hati yang bening karena hidayah.

1 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Di Tanggapi