Selasa, 30 Desember 2008

Karena Kita Ini Berarti...




Pernahkah engkau memperhatikan orang-orang di sekelilingmu saat berada di terminal? Di stasiun? Di mal? Di kereta? Di bis? Yang pasti aku sering melakukannya. Entah mengapa, aku tak tahu. Di tempat-tempat umum. Di mana banyak orang berlalu lalang dan berkumpul. Memandangi. Menatapi.

Seperti hari itu. Gerbong KRL Bogor-Jakarta suatu siang, saat akan pulang ke Solo. Sambil menunggu KRL Kelas AC. Tidak terlalu sesak, namun tidak juga bisa dibilang kosong. Aku iseng mengedarkan pandang ke sekeliling, memandangi para penumpang lainnya, memandangi para pedagang asongan yang mondar-mandir. Tak satu pun yang kukenal. Dan tentu saja, tak ada satu pun di antara mereka yang istimewa dalam pandangan mataku. Meskipun mungkin di antara mereka ada yang sangat saleh atau sangat zalim. Meskipun di antara mereka ada yang sedang bersedih atau malah berbahagia. Meskipun di antara mereka ada yang baik atau jahat. Tak ada yang menumbuhkan perasaan tertentu kecuali kesan sekilas: tindak-tanduk dan penampilan fisik mereka. Itu saja. Tak lebih. Tak kurang.

Pun demikian halnya denganku. Pastilah, bagi mereka aku bukan siapa-siapa. Bahwa misalnya aku seorang yang berprestasi, itu tak akan berarti apa-apa bagi mereka. Bahwa misalnya aku adalah seorang yang baik hati juga tak akan menumbuhkan salut pada mereka. Bahwa misalnya aku tengah bersedih atau bermasalah, mereka juga tak akan peduli. Memangnya siapa aku? Kehadiranku hanyalah selintas saja. Sesosok tubuh bernyawa yang dijuluki manusia yang kebetulan saja hadir di sana. Berada dalam satu tempat bersama mereka. Tak lebih. Tak kurang.

Saat-saat seperti itu sering membuatku berpikir tentang keberadaan diri. Diriku. Dan kemudian bertanya-tanya dalam hati: Siapakah aku bagi mereka? Dan siapakah mereka bagi saya? Dan jawabnya:

“ I'm nobody”

Aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Dan mereka juga bukan siapa-siapa bagiku. Aku, siapa pun aku dan apapun yang telah kulakukan, tidaklah memiliki arti apapun bagi mereka. Karena mereka tidak mengenalku.

Tapi tidak demikian halnya diriku bagi beberapa orang tertentu yang dihadirkan Allah menjadi orang-orang dekatku. Keluargaku, kerabatku, sahabat-sahabatku, teman kerjaku, tetanggaku. Orang-orang yang aku berinteraksi dengan mereka. Orang-orang yang bersama mereka aku menghabiskan waktu. Orang-orang yang memberikan sentuhan pada hidupku. Orang-orang yang telah melakukan sesuatu untukku. Bagi mereka, tentunya aku istimewa. Atau setidaknya, aku memiliki arti. Dan bagiku, mereka pun demikian adanya. Mereka memiliki arti, istimewa dan penting bagiku. Seperti apapun adanya mereka.

Demikian juga orang-orang yang lalu lalang di jalanan itu, meskipun mereka bukan siapa-siapa di mataku, pastilah mereka adalah sosok-sosok istimewa dalam kehidupan orang-orang dekat mereka: keluarga, saudara, dan sahabat.

Maka aku teringat sebuah kisah dalam buku cerita anak "LITTLE PRINCE" tentang persahabatan Sang Pangeran Kecil dengan bunga mawar yang dirawatnya sejak kecil. Suatu hari, ia pergi mengembara dan meninggalkan bunga mawarnya di rumah. Di suatu tempat, ia menemukan kebun mawar yang berisi ribuan tanaman mawar yang membuatnya bersedih karena ternyata mawarnya sama saja dengan ribuan mawar di kebun itu. Bahkan mawar-mawar baru yang ditemuinya tampak jauh lebih indah.

Tapi kemudian, sahabat barunya memberinya tahu, bahwa bagaimana pun, mawarnya adalah lebih indah dari mawar-mawar itu. "Bunga mawarmu mungkin hanya salah satu dari sekian juta bunga mawar yang lain di dunia ini. Tapi bungamu sangat istimewa, unik dan sangat berharga bagimu karena kau telah menghabiskan waktu bersamanya, engkau menjinakkannya, engkau melakukan banyak hal untuknya. Maka kemudian engkau mencintainya. Seperti halnya sahabatmu hanya satu dari jutaan manusia di dunia ini, tapi, seperti apapun dia, dia yang terpenting bagimu. Waktu yang telah kau habiskan untuk sahabatmu lah, hal-hal yang kau lakukan untuk mereka lah yang membuat mereka istimewa bagimu."

Maka demikianlah, kebersamaan menumbuhkan ikatan emosi yang memberi warna dalam hidup kita. Hingga karena itu, kita merasakan keberartian diri di dunia ini. Keberartian yang akan memberi kita makna dalam hidup kita, dalam rangka ibadah kita kepada Sang Pencipta dan dalam menjadi wakil-Nya mengelola bumi ini.

Maka sangat dapat dimengerti, jika keberartian diri ini mewujud dalam dien-Nya. Menjadi perintah agama dan sunnah rasul-Nya. Bahwa seorang muslim yang paling baik adalah muslim yang paling baik pada keluarga dan kerabatnya. Bahwa seorang muslim yang baik hendaknya bersikap baik terhadap tetangga-tetangganya. Bahwa Allah sangat menghargai orang-orang yang mementingkan sahabat-sahabatnya di atas kepentingan dirinya sendiri. Bahwa rasul menyebut seorang laki-laki yang bukan dari kalangan sahabat sebagai seorang calon penghuni surga hanya karena dia menyimpan ketulusan terhadap orang-orang terdekatnya.

Maka, mengapakah kita tak menjaga baik-baik 'bunga-bunga mawar istimewa' kita? Sedang hanya pada mereka kita mendapatkan keberartian diri yang hakiki sekaligus pada mereka kita mendulang pahala amal dari Ilahi?


ENERGI CINTA


“Orang yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan dapat memberi apa-apa.”


Pertama kali mendengar ungkapan di atas, yang terlintas di otak saya adalah bahwa ungkapan ini mencerminkan satu kesombongan seorang kaya. Mencoba merenung lebih jauh, ternyata saya telah terjebak dalam sebuah kedangkalan pemikiran. Memberi, terkadang memang menimbulkan konotasi yang berkaitan dengan materi. Padahal, tidak selamanya aktivitas memberi itu harus diidentikkan dengan harta benda. Semua hal yang membutuhkan interaksi antara 2 pihak atau lebih, selalu akan bersinggungan dengan kata ‘memberi’ dan ‘menerima’. Pertolongan, informasi, nasehat, perhatian, cinta adalah beberapa hal yang bisa kita ‘beri’ dan kita ‘terima’, tanpa harus berwujud suatu materi. Tetapi ada satu kesamaan di antara semua pemberian itu. Ketika kita ingin memberi, kita harus terlebih dahulu memiliki apa yang ingin kita berikan itu.


Kali ini, lagi-lagi, kita bicara tentang CINTA. Tema universal ini memang tidak akan pernah bosan dan usang untuk dibahas. Tapi di sini saya tidak ingin membicarakan tentang keromantisan cinta seorang laki-laki dan perempuan. Saya teringat lirik sebuah lagu ketika saya sekolah dulu:


Don't search in the stars for signs of love, just look around your live you'll find enough. (Se A Vida E – Pet Shop Boys)


Ya. Lihatlah ke sekitar kita. Sangat banyak cinta yang telah kita peroleh. Cinta dari kedua orang tua kita, kakak dan adik kita, sahabat-sahabat, guru, tetangga, bahkan dari orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, mereka senantiasa memberikan cintanya kepada kita. Sebagian mungkin tidak tercetus secara lisan, tapi getaran itu tetap tertangkap melalui tindakan mereka, dan mewarnai hari-hari kita. Bahkan dari makhluk selain manusia pun, kita senantiasa mendapatkan cinta itu.


Ingatkah bahwa matahari hari ini masih bersinar untuk membantu proses fotosintesis tumbuhan, yang kemudian menghasilkan O2 untuk kita hirup? Ingat juga ketika semalam kita memandangi bulan yang menebarkan cahaya dengan cantiknya untuk menemani kegelapan sang malam? Bahwa angin laut dan gelombang telah dan akan senantiasa membantu manusia dalam menepikan ikan untuk ditangkap? Atau perasaan senang kita saat tergelak memperhatikan seekor kucing yang terbelit benang rajutan? Atau kedamaian yang kita rasakan saat melihat sepasang angsa berenang dengan anggunnya di tengah danau? Subhanallah....


"Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Al-Jaatsiyah: 13)


Begitu banyak energi cinta yang telah ditransfer ke dalam kehidupan kita, bukankah akan sangat adil jika kita ingin membalas semua cinta itu dengan energi yang sama, atau bahkan lebih besar? Seorang sahabat pernah menyebutkan,


“Jangan pernah lupa bahwa di alam ini berlaku hukum kekekalan energi. Setiap energi yang kita keluarkan untuk sekitar kita, ia tidak akan pernah hilang menguap begitu saja. Energi itu pasti akan kembali kepada kita, terkadang setelah bertransformasi ke dalam bentuk yang lain.”



Saya termenung mendengar pernyataan itu. Bukan, bukan suatu pamrih yang terbaca darinya, tapi tersirat sebuah ketulusan yang luar biasa. Cukuplah kita mengharapkan ‘pengembalian’ energi itu dalam bentuk pahala dan catatan amal kebaikan di sisi Allah SWT.


“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS. Mukmin: 17)


Sampai titik ini, semoga secara diam-diam telah terbersit di hati kita sebuah keinginan untuk membagi energi cinta itu, lalu bersama-sama kita bertanya: Bagaimana caranya? Maha Besar Allah yang telah menyiapkan jawaban atas pertanyaan itu:


"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (QS. Maryam: 96)


Subhanallah... Lihatlah! Ternyata rasa kasih sayang itu akan Allah tanamkan ke dalam hati orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Tentu saja rasa kasih sayang yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan syariat Islam, kasih sayang yang bernilai ibadah, menjadikan orang-orang yang melaksanakannya mendapat naungan Allah pada hari dimana tiada naungan kecuali dari-Nya, kasih sayang yang membawa orang-orang yang melaksanakannya naik ke atas mimbar cahaya dan membuat iri para nabi dan syuhada.


Manusia adalah makhluk sosial. Setiap hari kita dituntut untuk berinteraksi dengan berbagai macam orang. Mulai dari membuka mata, hingga ketika kita akan menutupnya untuk menunaikan hak istirahat tubuh di waktu malam, kita senantiasa akan bertemu dengan berbagai macam orang. Berinteraksi, sesungguhnya adalah salah satu cara kita untuk memberi energi cinta kepada sekitar kita.


Pada alam kita memberi cinta, dengan menjaga keseimbangannya dan tidak membuat kerusakan. Pada hewan dan tumbuhan pun kita memberi cinta, dengan memberikan hak mereka ketika menjadi tanggungan kita, menampakkan akhlak yang terbaik. Dan pada manusia, transfer energi cinta itu dapat kita lakukan dalam berbagai cara, baik langsung maupun tidak.


Izinkan saya menganalogikan hati manusia seperti sebuah kolam penampungan. Di dasar kolam itu, terdapat banyak keran yang dapat dibuka/tutup untuk pengaturan keluarnya isi kolam. Tentu saja, keran itu akan mengalirkan apa yang ditampung dalam kolam hati kita. Dan sebuah keniscayaan akan berlaku, ketika keran tersebut dibuka terus-menerus tanpa ada aliran masuk kembali, kolam itu akan menjadi kering. Maka, berinteraksi adalah aktivitas kita dalam membuka ‘keran’ untuk mencurahkan energi cinta. Dan agar kasih sayang sebenarnya yang teralirkan, ‘kolam’ tersebut haruslah diisi dengan materi yang sama, yaitu cinta dan kasih sayang.


Kembalilah sejenak untuk membaca firman Allah di atas. Untuk menanamkan rasa kasih sayang di hati kita, kuncinya adalah beriman dan beramal soleh. Sahabat... mari me-recharge energi cinta kita hanya dari sumber cinta yang abadi, Dia Yang Memiliki cinta tak terperi, cinta yang sangat sempurna. Mari, kita isi kembali energi cinta di hati kita dengan shalat-shalat khusyu' kita, tilawah-tilawah tartil kita, shaum sunnah kita, sedekah dan infak kita hari ini, doa-doa panjang kita di waktu malam, serta dari semua pos ibadah dan amal soleh yang telah Allah sediakan bagi kita.


Karena, untuk membuka ‘keran’ pencurahan energi cinta dari ‘kolam’ penampungan yang ada pada hati ini, terlalu sombong rasanya jika kita tidak pernah mengisi kolam tersebut dengan energi cinta dari-Nya. Ya, jika kolam itu sudah kering, apa yang bisa kita bagi?


Wallahua'lam bi shawab

Akhiri Dengan Indah...


Kita tidak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi di akhir hari. Mengawali hari dengan hati riang dan semangat menjulang, kadang bisa diakhiri dengan bersungut-sungut atau marah oleh sebab berbagai macam hal. Semangat dan keriangan yang tadinya dirasakan penuh, seolah-olah terkikis habis oleh satu atau dua kejadian yang dialami. Rasanya, keseluruhan hari itu menjadi begitu buruk oleh sebab peristiwa yang dialami di ujung hari.

Permulaan yang baik, selayaknya mendapatkan ‘penutupan’ yang baik pula. Di sinilah pentingnya menyadari dan memahami bahwa setiap aktifitas tidak hanya dinilai oleh awalnya yang bagus atau bagaimana hasil akhirnya. Keseluruhan dari aktifitas tersebut memiliki nilai. Sebab proses bagaimana aktifitas itu dilakukan, diawali-dijalankan-dan diakhiri, semuanya merupakan ‘permata’ yang sangat penting bagi diri seorang muslim. Bagaimana tidak? Allah tidak menilai amalan seseorang dari hasil akhirnya saja, melainkan dari keseluruhannya. Bukankah bagaimana akhir hidup seseorang pun menentukan di mana ‘tempat’ kelak ia berada? Dan perjalanan hidup seseorang itu, bagaimana ia menjalaninya, akan menjadi penentu arah mana yang akan ia ambil, jalan kebaikan atau sebaliknya. Bagaimana seseorang melewati hari demi hari dalam kehidupannya, akan menjadi catatan penting sebagai timbangan di hari akhir kelak.

Tak jarang amalan seseorang itu rusak sebab keikhlasan dalam mengerjakannya ternodai. Penyebabnya bisa bermacam-macam, baik itu yang timbul dari dalam diri sendiri, maupun karena diri kita tak bisa menahan ‘godaan’ yang datang dari luar. Memang, setan selalu berperan untuk menggoyahkan keikhlasan yang akan menjadikan sebuah amalan itu diterima atau tidak. Dan musuh nyata bagi manusia itu tak kan mau kompromi dan berbelas kasihan kepada kita. Kuncinya adalah, bagaimana diri kita dapat menjadikan setiap amalan kita indah, dengan selalu menjaga keikhlasan dan meneguhkan keimanan, supaya tak mudah keikhlasan itu rusak oleh sebab-sebab yang memang selalu mengitari. Masalahnya adalah, menjaga agar amalan tersebut tetap terjaga ‘keindahannya’ sampai akhir ia selesai dikerjakan, adalah satu tantangan tersendiri yang selalu menuntut manusia untuk melakukan yang terbaik yang ia bisa, kalau tak mau dibilang sulit.

Kita tak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi pada akhir hidup kita nanti. Apakah kebahagiaan abadi yang akan kita reguk, ataukah siksa berkepanjangan yang menjadi teman bagi kita untuk selamanya? Berada bersama orang-orang pilihan di surga-Nya, ataukah tenggelam bersama kesengsaraan di neraka? Itu semua, diri kita sendiri lah yang dapat menjawabnya. Bukan teman atau sahabat, bukan orang tua kita, bukan pula orang-orang yang telah menyaksikan segala tingkah polah kita di dunia. Sebab pada waktu seluruh manusia berkumpul untuk mendapat perhitungan atas semua amalnya, seluruh anggota tubuh kita akan bersaksi, menceritakan keseluruhan perilaku kita di dunia. Kita tak kan pernah bisa mengira-ngira, bagaimanakah nasib kita pada hari itu.

Seorang Thalhah yang sederhana dan rendah hati pernah menjadi bahan perbincangan serta menjadi pertanyaan besar oleh Abdullah bin Umar, ketika Rasulullah selama tiga kali berturut-turut menyebutnya sebagai ‘seorang ahli surga’ pada kesempatan berkumpul dengan para sahabat. Kemudian Ibnu Umar menemukan rahasia itu setelah menginap tiga malam di rumahnya. Thalhah, si ahli surga tersebut, rupanya tak pernah absen membersihkan hatinya dari segala dengki dan dendam terhadap sesama, setiap kali hendak tidur malam. Ia tak pernah sedikitpun memendam amarah terhadap orang-orang yang hari itu mungkin melukai dan menzaliminya. Begitu mulia, begitu sederhana. Namun rupanya, sebuah amalan penutup malam yang ia lakukan secara kontinu, mampu mengangkatnya ke sebuah tempat yang dinantikan oleh seluruh manusia.

Kisah di atas adalah sebuah contoh kecil, tapi selalu dapat menggetarkan hati saya setiap kali mengingatnya. Ia telah menjadi kisah populer yang diulang-ulang di banyak literatur. Betapa tidak, sungguh telah terbuktikan, bagaimana seseorang ‘mengakhiri’ harinya tersebut dengan baik, akan membawa keberuntungan besar baginya kelak. Menjaga keindahan amalan yang telah ia perbuat seharian penuh, dengan sebuah keikhlasan untuk dapat melapangkan hati yang telah sempit oleh maksiat dan dosa sepanjang hari.

Bagaimanakah amalan hari ini kita akhiri? Yakinlah, bahwa ganjaran Allah sungguh tak terkirakan bagi mereka yang senantiasa berbuat yang terbaik. Sebab Allah Maha Tahu niat yang tersembunyi di setiap hati hamba-Nya. Dan berusahalah, untuk mengakhirinya dengan indah…

Jejak Yang Tertinggal

Saat masih aktif mendaki gunung, saya senang meninggalkan jejak berupa tulisan, "Aku Pernah Nongkrong Disini", menancapkan bendera atau apa pun untuk memberitahu kepada pendaki sesudah saya bahwa saya pernah singgah di tempat itu sebelumnya. Atau sekiranya saya kembali ke gunung itu ingin sekali saya mencari jejak yang dulu saya tinggalkan, senanglah saya mengetahui tanda itu masih ada. Pun jika sudah hilang saya pun bergegas membuat tanda atau jejak baru.

Tidak hanya di puncak atau perjalanan mendaki, bahkan dinding kereta, bis dan kapal laut yang saya tumpangi pun saya sempatkan untuk sekadar mencoretkan nama saya, bahwa saya pernah menumpang angkutan itu. Saya pun pernah berniat untuk menulis nama saya di dinding pesawat kalau saja tak sempat dipelototi seorang pramugari. Bukannya saya mempunyai kebiasaan corat-coret di sembarang tempat, niatnya cuma ingin meninggalkan bekas bahwa saya pernah hadir di tempat itu. Kadang saya sering berangan-angan suatu saat anak cucu saya pergi ke suatu tempat mendapatkan nama saya masih terukir jelas di atas batu atau dinding angkutan umum.

Beberapa tahun lalu, adik saya yang paling bungsu masuk SMA tempat saya dulu menghabiskan tiga tahun berputih abu-abu. "Tolong sekali-kali lihat ke dinding sebelah utara toilet pria ya dik, masih ada nama abang nggak disituh?" pesan saya di hari pertama ia sekolah. Si cantik bungsu cuma nyengir, "Lihat saja sendiri". Memang tidaklah mungkin nama saya masih ada di dinding toilet, toh jarak antara saya lulus dengan adik saya masuk ke sekolah itu lumayan jauh, hampir sepuluh tahun. Entah sudah dicat ulang, atau ada yang mencoretnya dan menggantinya dengan namanya.

Anda juga pernah melakukannya bukan? Tapi sadarkah kita bahwa tanpa harus menuliskan nama, atau menandai suatu tempat dengan bendera, setiap kita memang telah dan sedang terus menerus meninggalkan bekas di setiap waktu dan tempat yang kita lalui. Di mana pun saya singgah, sesungguhnya saya akan meninggalkan bekas dengan kata, tingkah dan perbuatan saya. Yang semestinya saya lakukan adalah meyakinkan bahwa bekas dan jejak yang saya tinggalkan adalah bekas kebaikan, jejak kearifan. Bukan sebaliknya.

Saya ingat, dulu pernah berkata-kata keras di suatu kesempatan, tentu saya akan teramat malu untuk kembali ke tempat itu karena bekas yang saya tinggalkan adalah keburukan. Saya juga pernah berbuat memalukan di satu tempat, saya pasti akan selalu menangis mengingatnya, dan bekas itu masih sangat jelas membayang di pelupuk mata ini. Seketika bibir ini pun tersenyum, hati berbunga mengingat prestasi yang pernah saya lukiskan di sekolah menengah pertama. Atau dimana pun saya pernah meninggalkan jejak kebaikan. Hanya sebagai pengingat, bahwa di tempat itu saya bisa berbuat baik, semestinya di lain tempat dan waktu pun saya bisa melakukannya lebih baik, dan lebih banyak kebaikan.

Masalahnya kemudian, sadarkah kita bahwa setiap langkah kita, kapan pun dan dimana pun senantiasa meninggalkan jejak dan bekas yang teramat jelas? Lalu kenapa kita masih senang meninggalkan bekas yang kemudian orang akan mengenal dan mengenang kita bukan dari kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan?

Saya terus mengingat satu kejadian di kelas satu sekolah menengah pertama ketika tak sengaja saya mematahkan salah satu alat olahraga milik sekolah. Dua tahun lalu ketika bertemu kembali dengan guru tersebut, "O ya bapak ingat, kamu yang dulu mematahkan tongkat lembing sekolah kan?" Ooh...

Di Bumi Pamijahan

Langit baru saja menumpahkan tangisannya. Menyisakan air mata yang bergelayut manja dipucuk dedaunan yang tersegarkan setelah terik yang membakar. Sore itu meninggalkan jejak rona berwarna-warni membentuk sebuah siluet pelangi yang berkilau mengagumkan.

Kesempatan langka seperti ini tak mungkin aku lewatkan begitu saja. Kesempatan seperti ini tak mungkin dapat dibeli dipasar manapun. Sore yang sejuk ini, telah mengukir kisahku selama 2 hari di Pamijahan, Kabupaten Bogor. Orang mungkin kurang mengenal pamijahan, namun ketika dijelaskan mengenai Gunung Salak dan Kawah Ratu yang dulu pernah menewaskan banyak pengunjuk karena pengaruh belerang yang kuat ini mungkin segera membentuk kedua belah bibirnya menjadi sebuah kata dengan kompak “ Ooo...”.

Sejak awal datang kesini dua hari yang lalu, aku juga kurang mengenal mengenai Pamijahan. Kalau saja Kasmanto tidak mengajakku membelah jalanan pedesaan Pamijahan memutari pegunungan yang sangat eksotik ini. Bahkan ketika awal aku datang, aku telah tertegun dengan deretan pegunungan yang saling berjajar membentuk dinding alam yang kokoh berlapis-lapis.

“Akh, antum sudah sampai mana, ane sudah diperempatan. Nanti antum setelah turun angutan, langsung kekanan saja”, sebuah sms yang mengawali perjalananku ke Pamijahan.

Sudah hampir setengah jam kususuri jalanan antara Parung-Bogor. Angkutan bercat hijau terus membelah jalanan yang tidak lagi mulus dan padat. Langit sore nampak mendung dan bisa jadi segera menumpahkan bebannya ke bumi. Nokia 3530ku bergetar dari balik jaket. Segera kuklihat layar yang tak lagi cerah.

“Baru nyampe komplek angkatan udara akh. Ya, nanti setelah turun angkut tak langsung kesitu”. Begitu balasanku pada Kasmanto. Seoragan sahabat ketika kuliah dulu.

Tak berapa lama, angkutan sudah mulai memasuki kawasan Cibubulak. Sampai diperempatan, aku memilih turun ketika terjadi kemacetan akibat lampu traficklight yang menyala merah.
Ketika kulihat Kasmanto yang sedang ngobrol santai dengan seseorang paruh baya, kuhampiri. Kusampaikan salam dan memeluknya.

“Dah lama?”

“Ndak, tadi pas SMS antum, gimana perjalanannya?nyaman?”

“Hehe...Cuma bentar aja kok. Motor baru antum?”, kuterima helm yang disodorkannya. Dan kulihat ia memakai sebuah motor yang masih kelihatan baru.

“Ndak, baru 3 bulan”

“Ya, baru dong! Eh, jauh nggak pondok antum?”

“ Tuh, dibalik bukit”. Aku mengikuti arah telunjuk yang dilayangkan kasmanto. Kulihat deretan pegunungan menghijau yang mulai tertutup awan gelap tanda segera turun hujan.

“Masya Allah, siap-siap nih naik gunung. Hehe...berapa jam ?”

“Kalau lancar sekitar 45 menit”

Sepanjang perjalanan aku lebih memilih melemparkan pandanganku ke seluruh penjuru yang masih bisa kugapai. Sesekali ku buka pertanyaan yang hanya dijawab singkat oleh kasmanto yang sedang menyetir didepan. Kami melewati daerah Darmaga, kemudian Kampus IPB, jalanan sudah mulai macet. Kata kasmanto hal ini sudah biasa, setiap pagi dan sore menjelang berangkat dan pulang. Kulihat kasmanto menyetir dengan luwes ketika melewati mobil-mobil yang terjebak macet. Hanya beberapa titik yang terjadi macet. Kebanyakan di daerah perempatan atau pertigaan.

Setelah hampir setengah jam, kami berbelok ke kiri menuju arah Pamijahan Gunung Salak. Aku tak begitu tahu daerah itu. Tapi ketika motor Beat yang kami tumpangi melaju dijalanan pedesaan, ada rasa yang muncul dan aku rindukan. Kampung halamanku.

“Kas, ini kok mirip sekali dengan desaku”

“Ya, makanya dulu pas main kerumah antum, ane juga merasakannya”

“Wahh...serasa pulang kampung nih”

Tak berapa lama kami sudah sampai di kontrakan kasmanto. Ku mengira dia masih tinggal di asrama pondok, rupanya sudah tinggal di tengah masyarakat dan membaur disana.

“ Mas Syahid mana?”, tanyaku sambil menarih tas rangsel yang sudah pegal kurasakan.

“Masih rapat di atas, paling nanti sampe rumah habis isya. Ane tak beli makan dulu buat buka”. Atas? Aku berpikir-pikir. Bener bener mirip sekali didesaku. Daerah pegunungan.

Setelah sholat Maghrib, berbuka puasa Arofah dan sholat Isya, aku tiduran sebentar. Rencana kasmanto mau mengajak jalan-jalan ke Pondok Pesenatrennya. Namun begitu kubangun, yang ada justru Mas Sahid.

“Lho, baru datang ?Kasmanto mana mas?”

“oh, tadi ke pondok untuk ngetik kupon persiapan Qurban besok pagi. Tadi mau mbangunkan antum, tapi antum kelihatan capek sekali jadi nggak tega mbengunkan. Istirahat dulu saja “. Malam itu akhirnya kuhabiskan untuk beristirahat dikamar kasmanto. Diiringi gema takbir anak-anak yang begitu ceria menyambut datangnya Hari Raya Idhul Adha besok pagi dengan bertabuhkan bedhuk yang bertalu-talu. Semoga mimpiku malam ini membawaku pada keindahan keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Amin.

Fajar belum nampak benar, gema takbir kini berganti gema adzan yang saling bersahutan.

“Asholaatu khoirum minnanauum....”

Segera ku bangkit dari tidur panjangku. Mengambil pencuci muka, sikat dan pasta gigi. Setelah disegarkan dengan wudhu, kami bersiap-siap ke masjid yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari rumah kontrakan.
Selesai subuhan, kami kembali ke kontrakan dan kembali terpekur dalam kekhusyukan tilawatil qur’an. Setelah selesai, kasmanto memanaskan air untuk minum pagi ini. Setelah itu tergeletak lagi karena mungkin akibat nglembur tadi malam. Pukul 05.30 kamiu kembali bangkit untuk bersiap sholat Ied.

“Sholatnya di Pondok saja sekalian tak kenalkan dengan beberapa teman ustad”. Aku Hanya menggangguk tanda menyetujuinya.
Setelah rapi dengan sarung dan baju batik, kami segera melaju ke arah Pondok yang terletak di Gunung Menyan itu. Mendengar kata menyan jadi penasaran juga. Kok bisa, apa dulu ada pohon menyan atau dipakai untuk acara-acara kesyirikan. Wallahu ‘alam.

Sampai digerbang Pondok, aku belum melihat adanya gedung-gedung. Baru setelah melewati perkebunan yang ditanami pohon pepaya, pohon singkong, dan sawah-sawah baru terlihat gedung-gedung asrama santri yang cukup megah juga. Kemudian motor melaju menaiki bukit dan menuruninya menuju masjid yang berada di tengah-tengah gedung madrasahnya. Sungguh sebuah tata letak pondok yang unik dan alami. Sebuah kemegahan yang berada ditengah-tengah kealamian alam.

Sampai disana, panitia baru merapikan tikar-tikar dihalaman masjid yang mungil yang hanya bisa menampung 100 jamaah saja. Kemudian kasmanto mengajak ke perpustakan, untuk melanjutkan mengetikkupon yang harus diserahkan pagi ini untuk pembagian daging kurban di daerah atas.

Sambil membaca-baca buku, kulihat kasmanto masih serius dengan komputer didepannya. Setelah selesai mengedit, dinyalakannya printer. Kemudian kami tinggal ketika jamaah sholat Ied sudah mulai membludak.

Ketika menunggu waktu sholat, kami mengobrol dengan beberapa ustad. Samapi sebuah mobil mewah datang dengan dikerumuni para pengelola yayasan, baru aku sadar bahwa dialah pemilik yayasan ini. Seorang yang telah berusia, namun tetap segar. Beliaulah yang mempunyai Hotel Sahid di Solo, Universitas Sahid, SMK Sahid, dan mungkin hampir semua yang berbau SAHID. Hehe....

Setelah selesai sholat, kami mendengarkan kutbah yang dibawakan oleh santri. Subhanallah...

Kemudian dilanjut ke lapangan untuk menyaksikan kambin-kambin dan sapi yang akan dipotong. Baru setelah itu kami pulang ke kontrakan untuk bersiap diri membantu penyembelihan di DPC.

Sampai dimasjid dekat DPC, aku diperkenalkan dengan ketua DPC Pamijahan. Pak Iwan Setiawan. Sosok pemuda pamijahan yang kental logat sundanya. Mau tidak mau aku pun harus bias menyesuaikan diri dengan daerah sini.

bersambung.....

Bila Orang Lain Berbuat Salah

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.


Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga kita akan berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita akan berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.

Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tekniknya adalah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!

Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin kualitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.

Oleh karena itu, andaikata ada orang melakukan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ? Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan. Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu panjang pula yang kita lalui.

Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sehabis diopname beberapa hari di rumah sakit karena diuji dengan sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan, "Kenapa ini santri bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!".

Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan, "Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini, sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum mampu untuk jaga toko".

Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari mana saja. Oleh karena itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya, "De', ini salah, harusnya begini".

Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.

Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, karena ada orang yang tahi itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suata masalah di kamar paling pojok yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun, "Wah, ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi".

Dia tahu ini masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu, tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah, tapi membantu dia supaya bisa menyelesaikan masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang langsung menyelesaikan masalah, namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.

Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, karena apa?

Karena anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.

Nah, Sahabat. Selalulah yang kita lakukan adalah berusaha membantu agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.

Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan mengingatkan dia tentang pentingnnya shalat, membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci kepada siapapun.

Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan. QS. ALI 'IMRAN :26 Katakanlah:"Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

sumber : manajemenqolbu.com

Lidah Adalah Amanah

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Kualitas diri seseorang bisa diukur dari kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya. "Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang benar." (QS Al-Ahzab:70). Sementara itu, Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam". (HR Bukhari-Muslim).

Rasulullah adalah figur teladan yang sangat menjaga kata-katanya. Beliau berbicara, beruap, berdialog, juga berkhutbah di hadapan jamaah dengan akhlak. Demikian tinggi akhlak beliau hingga disebutkan bahwa kualitas akhlak beliau adalah Al-Quran. Mulut manusia itu seperti moncong teko. Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin tahu isi teko, cukup lihat dari apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin mengetahui kualitas diri seseorang, lihat saja dari apa yang sering dikeluarkan oleh mulutnya.

Nabi Muhammad saw termasuk orang yang sangat jarang berbicara. Namun, sekalinya berbicara, isi pembicaraannya bisa dipastikan kebenarannya. Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap kata yang terucap adalah butir-butir mutiara yang cemerlang. Indah, berharga, bermutu, dan monumental. Ucapan Rasulullah saw menembus hati, menggugah kesadaran, menghujam dalam jiwa, dan mengubah perilaku orang (atas izin Allah). Bukan saja karena lisan Rasulullah dibimbing Allah dan posisinya sebagai penyampai wahyu, di mana ucapan-ucapan darinya menjadi dasar hukum. Lebih dari itu, Rasulullah sejak kecil sudah dikenal sebagai Al-Amin, tidak pernah berkata dusta walau sekali saja. Investasi moral ini tentu sangat mempengaruhi kualitas ucapannya.

Dalam sebuah kitab ada keterangan menarik. Disebutkan ada empat jenis manusia diukur dari kualitas pembicaraannya.

Pertama, orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara, isinya sarat dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu, dzikir, dan sebagainya. Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara sekalipun ngobrol, ujungnya adalah manfaat.

Ketika disodorkan padanya keluhan tentang krisis, dengan tangkas dia menjawab, "Krisis adalah peluang bagi kita untuk mengevaluasi kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan lebih kreatif? Kita bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa, semangat terus!" Siapa saja yang biasa berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah, dan hal-hal serupa itu, insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.

Kedua, orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini adalah selalu sibuk menceritakan peristiwa. Melihat ada kereta api terguling, dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang kelindes kereta. Ketika bertemu seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya ada apa saja dikomentari. Dia seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada peristiwa. Tidak peduli peristiwa layak dia komentari atau tidak.

Ini tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia pegang: "Pokoknya bunyi!" Tidak ada masalah dengan peristiwa. Jika melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya, insya Allah peristiwa bermanfaat. Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju kecuali menunggu sampai mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.

Ketiga, orang rendahan. Cirinya kalau berbicara isinya hanya mengeluh, mencela, atau menghina. Apa saja bisa jadi bahan keluhan. "Aduuuh ini pinggang, kenapa jadi sakit begini. Hari ini kayak-nya banyak masalah, nih!" Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera berhamburan. "Makanan kok dingin begini? Coba kalau ada sambel, tentu lebih nikmat. Aduuuh, kerupuk ini, kenapa kecil-kecil begini?" Terus saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua akhirnya habis juga.

Mengeluh dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Ketika turun hujan, hujan segera dicaci. "Ohh, hujan melulu, di mana-mana becek. Jemuran nggak kering-kering." Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah, mengeluh. Ketika ada polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang dipenjara oleh keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana musibah. Seluruh lembar hidupnya dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak dikeluhkan.

Keempat, orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak keluar dari menyebut-nyebut kehebatan dirinya, jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah pengabdian untuk Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita?

Ada orang pakai cincin segera berkomentar, "Oh, itu sih mirip cincin saya." Ada orang beli mobil baru, "Nah, ini seperti yang di garasi saya itu." Ada kucing berbulu tebal melompat, "Kucing ini gondrong. Oh yaa, kucing gondrong itu mirip singa. Hai, tau nggak? Saya sudah pernah ke Singapura, lho. Hebat sekali kota Singapura. Hanya orang yang hebat saja bisa pergi ke sana." Orang-orang dangkal ini akan terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan kata-kata kesombongan dan membanggakan diri.

Orang-orang dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan prestasinya. Dia selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi. Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih baik, hatinya teriris-iris, tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka. Inilah ilmu gelas kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri, inginnya minta dihargai terus. Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh etika-etika. Hendaklah kita ada di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa yang Allah larang.

Dalam berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). Bergunjing adalah perbuatan yang ringan, bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja, apalagi dengan kesadaran penuh dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa besar.

"Dan janganlah kalian ber-ghibah (bergunjing) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Apakah suka salah-seorang dari kalian makan daging bangkai saudaranya? Maka, kalian tentu akan sangat jijik kepadanya. Dan takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat." (QS Al-Hujurat:12).

Kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk, yang buruk adalah banyak berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi harus proporsional. Jika kita berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu kita lakukan hal itu. Pembicaraan seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak proporsional.

Semua orang harus menjaga lidahnya. Tidak peduli apakah itu orang-orang yang dianggap ahli agama. Orang-orang yang pandai membaca Al-Quran atau hadis, tidak otomatis pembicaraannya telah terjaga. Di sini tetap dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu kata-kata kita semakin meningkat.

Alangkah ironi jika orang-orang yang ahli agama, namun tidak menjaga lisan. Dia banyak menasihati umat dengan perilaku-perilaku yang baik, tapi saat yang sama dia tidak melakukan hal itu. Jika orang-orang preman berkata kasar, jorok, dan tak mengenai tata krama, orang masih maklum. Namun, jika orang-orang alim yang melakukannya, tentu ini adalah bencana serius.

Satu langkah konkret untuk memulai upaya menjaga lisan adalah dengan mulai mengurangi jumlah kata-kata. Makin sedikit bicara, makin tipis peluang kesalahan. Sebaliknya makin banyak bicara, peluang tergelincir lidah semakin lebar. Jika lidah kita telah meluncur tanpa kendali, kehormatan kita seketika akan runtuh. Berbahagialah bagi siapa yang bisa berkata dengan akhlak tinggi. Selalu berkata baik. Jika tidak, cukup diam saja!

Saudaraku, sadarilah bahwa lidah ini adalah amanah. Tiap-tiap kata yang terucap darinya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadikan ucapan-ucapan kita adalah modal untuk mengundang keridhaan Allah. Jangan jadikan kata-kata itu sebagai sebab datangnya murka dan kebencian-Nya.

Semoga Allah SWT membimbing lisan kita untuk berucap mengikuti keteladanan Rasulullah saw. Ucapan itu keluar dari lisan bagai untaian mutiara yang sarat dengan kebenaran, berharga, bermutu, dan membawa maslahat bagi siapa pun yang mendengarkannya. Amin.

Wallahu a'lam bishshawab.

Insya Allah...


Rasulullah SAW bersabda :

'Berkata Sulaiman bin Daud as : "Malam ini aku akan berkeliling mengunjungi 70 perempuan, tiap perempuan kelak akan melahirkan seorang anak yang kelak akan berperang di jalan Allah.''

Sulaiman ditegur oleh malaikat, ''Katakanlah Insya Allah.''

Sulaiman tanpa mengucapkan insya Allah mengunjungi 70 perempuan itu dan ternyata tidak seorang pun di antara wanita-wanita itu yang melahirkan anak, kecuali seorang wanita yang melahirkan seorang setengah manusia. Demi Allah yang nyawaku ada di Tangan-Nya, seandainya Sulaiman mengucapkan kata insya Allah niscaya ia tidak gagal dan akan tercapai hajatnya. (HR Bukhari dan Muslim).



Ada satu kata kunci dalam hadis ini, yaitu kata insya Allah yang bermakna jika Allah berkenan atau jika Allah mengizinkan. Masa depan sepenuhnya ada dalam kekuasaan Allah. Manusia tidak berkuasa menentukan apa yang akan terjadi pada masa tersebut. Karena alasan itu setiap kita dianjurkan untuk mengucapkan insya Allah ketika akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan, termasuk dalam berjanji.

Janji termasuk hal gaib karena berdimensi waktu yang akan datang. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hal gaib hanya diketahui oleh Allah saja. Kita tidak tahu rencana Allah terhadap diri kita dan terhadap janji yang kita ucapkan. Jadi, ungkapan insya Allah dimaksudkan agar keinginan kita dengan kehendak Allah menyatu.

Ungkapan insya Allah mengandung azam atau kekuatan niat untuk melakukan suatu pekerjaan. Sebagai contoh, ''Insya Allah nanti malam saya akan datang.'' Kalimat di atas adalah janji yang harus ditepati oleh si pengucap. Disertakannya ungkapan insya Allah menunjuk adanya sikap tawakal kepada Allah sebagai bentuk kesadaran bahwa Allah-lah yang berhak menentukan terjadinya sesuatu. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari, apakah baik atau buruk. Rasulullah SAW dalam hadis di atas menunjukkan kekhilafan Nabi Sulaiman yang terlalu percaya diri dalam bertindak tanpa lebih dulu menyandarkannya kepada Allah SWT dengan ucapan insya Allah.

Kita dianjurkan untuk menyertakan ungkapan insya Allah ketika mengucapkan sebuah janji. Allah SWT berfirman,

''Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu. Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut) insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhan-mu jika kamu lupa dan katakanlah mudah-mudahan Tuhan-ku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada itu.'' (QS Al-Kahfi: 23-24).

Ayat ini turun sebagai sebuah teguran kepada Rasulullah SAW ketika beliau berjanji (tanpa disertai ucapan insya Allah) kepada orang Quraisy yang menanyakan masalah ruh, kisah Ashabul Kahfi dan Dzulkarnain.

Sekarang, ungkapan insya Allah tengah mengalami pengkorupsian makna. Ia tidak lagi dijadikan sarana untuk menyempurnakan janji dan penyerahan diri kepada Allah. Ucapan insya Allah kerap dijadikan alasan untuk tidak menepati janji. Semua ini terjadi karena kurang pahamnya sebagian orang terhadap makna dan hakikat kata insya Allah.

Karena itu kita harus berusaha mengembalikan makna insya Allah kepada hakikat sebenarnya yaitu penyerahan diri kepada Allah dan menyempurnakan janji agar kita terhindar dari sifat munafik. Sebagaimana dikatakan Nabi Ismail kepada ayahandanya,

''Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'' (QS. Ash-Shaffat: 102).

Wallahu a'lam bish-shawab



sumber : republika Online

Senin, 29 Desember 2008

MUROQOBAH DAN MUHASABAH

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)

Ayat Allah SWT tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Ia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.


Memang hanya satu insan kamil yang ma’shum, yakni Rasulullah SAW. Beliau menjalani proses pembedahan dada dan pembersihan jiwa oleh malaikat Jibril karena beliau dipersiapkan untuk mengemban tugas mulia. Namun beliau juga pernah mengatakan bahwa kalau bukan karena rahmat Allah niscaya tak akan ada yang selamat dari siksa Allah dan neraka-Nya. “Tidak juga engkau ya Rasulullah?”. “Ya, tidak juga aku”.

Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang gencar dari segala penjuru.

Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin). Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”.

Qarin alias syaithan yang selalu mendampingi kita, akan sukses menggoda kita, jika kita berpaling dari-Nya dan ajaran-Nya (Al-Qur’an). Sampai akhirnya kita terhalang dari jalan yang lurus dan benar. Namun ironisnya, kita tetap menyangka berada di jalan yang benar dan memperoleh petunjuk-Nya. Padahal kita sudah jauh tersesat.

Hanya Rasulullah SAW saja yang tak dapat digoda oleh Qarin. Bahkan Qarinpun tak akan mampu menyerupai Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hidup maupun setelah meninggal dunia.

Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah adalah satu kemestian.


Pengertian Muraqabah dan Muhasabah

Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.

Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.


Urgensi Muraqabah dan Muhasabah

Bila setiap Muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan menghadirkan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam dirinya maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan karena ia selalu merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan pengawasan Allah.

Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena takut pada perhitungan hari akhirat, maka bisa dipastikan akan terwujud masyarakat yang aman karena semua orang sudah memiliki pengawasan melekat. Orientasi Ukhrawi membuat seseorang senantiasa memperhitungkan segala tindak-tanduknya dalam perspektif Ukhrawi. Ia juga akan terhindar dari penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati), keserakahan, kezhaliman, penindasan dan kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan menyengsarakannya di akhirat kelak.

Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS. 22:77) agar dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengibaratkan bahwa dunia adalah ladang tempat menanam, bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat kita memetik atau menuai hasilnya, kelak.

Bila demikian keadaannya, Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” (negeri yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan sekedar slogan. Selain tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup negeri, Insya Allah akan tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia internasioanal bila para Muslimnya dengan kualitas seperti itu mampu menjadi “Ustadziatul ‘alam” (soko guru dunia). Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul ‘alam yang sekaligus khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari bencana, kerusakan dan kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).

Namun bila para Muslim tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-Qur’an (QS. 47:25-26) maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan mata dan tetap saja yahudi la’natullah alaihim yang memegang supremasi dan mengendalikan dunia serta terus menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah.


Tahapan-tahapannya

Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.

1. Mu’ahadah.

Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)

Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.

Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)

2. Muraqabah.

Setelah bermu’ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.

Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.

3. Muhasabah.

Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.

4. Mu’aqabah.

Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.

5. Mujahadah

Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.

Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.

Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran?”.

6. Mutaba’ah.

Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.


Muraqabah

Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:

“...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 57:4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16), “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)

(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(QS. 31:16)

Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.

Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.

Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal ’afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin dengan izin dan kehendak-Nya.


Muhasabah

Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak.

Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 59:18). Persiapan diri yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan taqwa kepada karena di sisi Allah bekal manusia yang paling baik dan berharga adalah taqwa.

Umar r.a pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).

Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan syurga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS 3:133)

Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah sejak dini secara berkala karena segala perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.( QS. 50:17-18). Setiap kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya.(QS. 99:7-8)

Bila kita mengingat betapa dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, maka wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan sebaik mungkin.

Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Kemana tempat lari?. Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”.(QS. 75:7-12)

Ummul Mu’minin Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah SAW apakah manusia tidak malu dalam keadaan telanjang bulat di padang mahsyar. Rasulullah SAW menjawab bahwa hari itu begitu dahsyat sampai-sampai tidak ada yang sempat melihat aurat orang lain.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa ada 7 golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain naungan/perlindungan Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu adalah Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah SWT, pemuda yang lekat hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi) dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan airmata karena takut kepada Allah.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang pertama dihisab adalah mereka yang berjihad, berinfaq dan beramal shaleh (QS. 22:77, 2:177). Kemudian sabda Rasulullah SAW di hadits lainnya: “Ada 70.000 orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do’akan aku termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, Engkau kudo’akan termasuk di antaranya”, sahut Nabi SAW. Ketika sahabat-sahabat yang lain meminta yang serupa, jawab Nabi SAW singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?”, tanya sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat”. Subhanallah.

Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antri dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.

Dan memang ada 3 harta yang tak akan kena hisab yakni: 1 rumah yang hanya berupa 1 kamar untuk bernaung, pakaian 1 lembar untuk dipakai dan 1 porsi makanan setiap hari yang sekedar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.

Betapa beruntungnya mereka semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya sampai banyak yang ingin langsung ke neraka saja karena merasa tak sanggup segala aibnya diungkapkan di depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas perintah Allah, malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan mereka semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.

Yaumul Hisab itu bahkan juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya apakah ia sudah menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh umatnya menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja demikian keadaannya, bagaimana pula kita ?.

Mudah-mudahan saja kita tidak termasuk orang yang bangkrut/pailit di hari penghisaban, hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan pertanggungjawabannya. Mengapa disebut bangkrut? Karena ternyata amal shaleh yang dilakukan terlalu sedikit untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak sehingga kita harus menebusnya di neraka. Na’udzubillah min dzalik.


Hasil Muraqabah dan Muhasabah

Seseorang yang rajin me’muraqabah’i dan me’muhasabah’i dirinya akan mau dan mudah melakukan perbaikan diri. Ia juga akan mau meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisis dirinya. Hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan. Kemudian hal-hal apa saja yang menjadi faktor kelemahan dirinya yang harus diatasi, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Jika dirinci, paling tidak, ada 3 hasil yang akan diraih orang yang rajin melakukan muraqabah dan muhasabah :

1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.
2. Istiqamah di atas syari’at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi-konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti misalnya tokoh Bilal dan Masyitah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah SAW sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).
3. Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat nanti (QS. 3:30)

Sumber : Materi Kaderisasi