Sabtu, 29 November 2008

AKU INGIN MENIKAH

Lagi suntuk, akhirnya aku ngBlog. tapi bingung mau nulis apa. lalu aku buka-buka saja Blog tentang CERPEN. eh, ada CERPEN yang menarik. akhirnya aku postingkan saja. siapa mau NIKAH ???


By Yeni.

Aku ingin menikah bang!!! Itu awal dari suratnya…membuat jantungku berdekap kencang, lalu ku baca surat itu perlahan.

Aku ingin menikah bang!!!

Bukan karena aku ingin melakukan hal yang selama ini dilarang oleh agama, tapi aku ingin menikmati pernikahan itu sendiri.
Aku tau tak mudah untuk menjalani sebuah pernikahan, suatu ikatan erat yang tak bisa dimainkan layaknya orang yang berpacaran. Tapi aku inginkan itu, aku ingin menikmati susahnya menjadi seorang istri, mempunyai anak dan mengurus mereka..aku suka akan hal itu dan aku akan menganggapnya sebagai suatu ibadah karena ada tantangan yang harus aku lalui, disamping menjalankan roda rumah tangga juga berkarir untuk diriku sendiri.

Bukankah kau tau, dari dulu aku ingin sekali menikah muda. Kau mau tau alasannya? Karena aku suka melakukan hal itu, aku merasa bangga menjadi seorang istri sekaligus menyandang status ibu bagi anak-anakku, melihat perkembangan mereka dari kecil hingga dewasa menaklukkan rasa penatku setelah sehari bekerja. Mengurus suami yang sangat aku hormati juga aku cintai, memberikannya limpahan cinta dan ingin selalu tampil cantik didepannya. Itulah yang ingin aku lakukakan.

Aku tau ini gak gampang untukmu, aku tau banyak hal yang engkau fikirkan. Tapi terkadang hal itu hanya sebuah keinginan, dimana manusia tak bisa lepas dari rasa puas. Saat keinginan engkau telah tercapai, engkau pasti menginginkan hal yang lain lagi.

Kau tau sayang??menikah itu ibadah, dengan menikah kau telah menyempurnakan ibadahmu juga agamamu. Menikah bukanlah hal yang paling manakutkan, setidaknya menurut versiku, karena semua tak akan berbeda, kecuali hidup bersama dengan kewajiban masing-masing.
Kau masih bisa beraktivitas seperti biasa, yang berbeda hanyalah kurangnya waktu luangmu
diluar rumah karena ada seorang istri yang menantimu dirumah, menyediakanmu segala hal yang engkau perlukan.
Aku bisa membayangkan betapa bahagianya dengan keluarga seperti itu. Tak ada paksaan juga tekanan, karena semua didasari dengan rasa sayang juga kebersamaan.

Keinginan ini sudah kupendam sejak lama, hanya saja aku juga gak bisa sembarangan memilih calon suami yang akan mendampingiku seumur hidupku.
Satu hal yang perlu kau tau, selama ini aku juga terjebak dalam dua keadaan yang sangat mengganggu fikiranku, menikah atau berkarir.

Karena jika aku memilih untuk menikah, maka karirku tak seperti yang aku inginkan, sementara aku juga ingin sukses dalam berkarir, kebanyakan perusahaan menginginkan karyawan yang belum menikah.
Tapi hasrat ku ini sangat kuat, banyak pro dan kontra akan keinginanku ini, ada yang memberiku nasehat untuk menyegerakan pernikahan, ada juga yang menyuruh kami untuk berkarir karena usia kami yang terbilang muda, hanya saja menurutku usiaku bukan muda lagi, walaupun masih banyak yang lebih tua usianya dan belum menikah, tapi aku mengkhawatirkan usia ini. Aku juga mengkhawatirkan kesalahan yang akan kulakukan dalam menjalin sebuah hubungan yang biasa disebut pacaran.
Menurutku 1 tahun cukup untuk mengenal karakter masing-masing, dan aku rasa aku telah cukup mengenalmu. Apa fikiranku ini salah?

Mungkin engkau tlah banyak menyusun rencana untuk masa depan kita, aku dukung semua itu, tapi aku tak mau terlalu berencana bang, karena terlalu sakit klo semua itu tak seperti yang kita harapkan, bukankah kita lebih mantap menyusun rencana saat kita sudah menikah? Menyatukan untuk satu tujuan, apa apa saja yang ingin kita raih dan kita miliki.
mungkin banyak hal yang terfikir dikepalamu, seperti memiliki sebuah rumah, kendaraan juga yang lainnya, tapi tidakkah kau tau itu pasti bisa kita dapatkan dan aku yakin kita bisa mewujudkannya bersama-sama.
Mungkin engkau adalah penganut faham yang mengatakan belum siap menikah apabila belum mapan dari segi materil, engkau ingin segalanya perfect saat engkau ingin melanjutkan sebuah hubungan ke jenjang pernikahan. Itu wajar, aku tau engkau melakukan semua itu karena kau ingin membahagiakan aku. Semua itu memang sangat kita butuhkan, apalagi di era globalisasi seperti ini, dimana persaingan semakin ketat, juga mahalnya biaya hidup baik primer maupun sekunder.
Tapi sampai kapan kau ingim mewujudkan semua itu?semakin lama waktu berjalan, semakin banyak yang akan difikirkan, dan semakin mahal pula biaya hidup yang harus dikeluarkan..tidakkah kau mengerti akan hal itu.

Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, tapi jika kita mempunyai niat yang baik untuk suatu urusan, aku yakin Allah pasti memberikan kemudahan, apalagi kita mempunyai niat untuk menyempurnakan.

Tidakkah kau sadari, selama ini engkau telah memiliki niat yang tulus dalam hatimu, walau engkau sempat merasa putus asa, namun perlahan tapi pasti, engkau mendapatkannya satu demi satu, tawaran itu mengalir walau belum seperti yang engkau inginkan, hanya saja itu adalah proses akan niat baikmu.
Aku tak bisa menjelaskan dengan detail akanhal itu, aku takut engkau akan merasa seolah aku mengguruimu atau mungkin memaksamu, bukan-bukan itu yang aku mau, aku hanya ingin meluruskan maksudmu, aku akan tetap menunggumu. Sampai engkau merasa siap. Tapi aku tak mau engkau terus berfikir akan semua materil, karena aku yakin seiring berjalannya waktu kita pasti bisa mewujudkannya bersama-sama.
Banyak orang sukses pada awal ia menikah biasa-biasa saja, tapi karena mereka mau berusaha, bahu membahu dan didampingi oleh istri tercinta, akhirnya mereka bisa mewujudkan cita-citanya.
Untuk itu jangan memaksakan diri untuk segera mewujudkannya, aku tak mau dirimu sakit, hanya kerena bekerja dan tak mengenal waktu beristirahat.

Engkau mengatakan agar aku tak perlu memikirkan dan mengkhawatikanmu, tapi aku tak bisa, karena aku tau sikapmu yang selalu merasa bisa dan menganggap semua mudah, itu yang aku khawatirkan. Istirahat yang kurang dan tidak beraturan bisa membuatmu sakit, bagaimana bisa aku tidak memikirkanmu? Kau tau..engkau adalah semangatku, separuh dari hidupku, ada yang kurang jika sehari saja aku tidak memikirkan dan mendengar kabarmu, bagaimana bisa aku melupakanmu jika engkau sudah terpatri dalam hatiku.

Mungkin kau tak pernah tau akan hal itu, seberapa besar aku mencintaimu, mengharapkanmu tuk menjadi pendampingku. Menjadi imam untukku juga anak-anakku kelak.

Kadang aku juga merasa heran, mengapa aku begitu menyanjungmu, tak perduli akan yang lain. Engkau yang terbaik, segalanya untukku.

Sayang aku terus berdoa untuk kita, semoga Allah memberikan kemudahan dan melimpahkan rahmatnya pada kita. Amien….

medan, 14 sep 2007


tak kuasa aku membaca semua itu, fikiranku berputar, mungkin semua yang dikatakan rini pada surat itu benar adanya, surat yang ia kirimkan padaku karena mungkin tak sanggup untuk dia ucapkan..
hatiku terus berkata, apa yang harus aku lakukan?
Tuhan tuntunlah hambaMu ini….

Minggu, 23 November 2008

Pandanglah Saudaraku!

Seorang saudara pernah berkunjung ke kontrakkanku yang sempit. lalu ia memberikan sebuah pelajaran berharga tentang hakikat silaturahim... kemudian aku menemukan artikel ini, jadi mudah-mudahan bermanfaat.




Saudaraku, Perjalanan ini memang panjang dan melelahkan. Terkadang, mungkin kita terengah-engah kehabisan nafas untuk terus menapakkan kaki hingga sampai ke tujuan. Terkadang, mungkin kita terseok-seok merasa tak kuat dan hampir tertinggal oleh derap serta gerak para kafilah da\'wah itu. Terkadang, mungkin kita tersandung dan terjatuh oleh aral dan kesulitan perjalanan. Saudaraku yang dirahmati Allah, Tak satupun di antara kita yang tak pernah mengalami suasana perasaan seperti itu. Hampir semua kita, sekokoh apapun kepribadiannya, pasti akan mengalami situasi lemah dan merasa kekurangan tenaga. Memang demikianlah jiwa manusia, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW dalam salah satu hadits shahih, bahwa keimanan itu ada kalanya bertambah dan berkurang. Ia bertambah karena amal shalih, dan berkurang karena kemaksiatan.

Tapi ingat saudaraku, Selama kita berusaha berada dalam kafilah ini, insya Allah kelemahan dan kekurangan kita tidak akan mampu menjatuhkan kita. Selama kita tetap komitmen bergerak dalam orbit komunitas jama'ah da'wah, insya Allah kita menerima banyak keistimewaan dan barakah. Selama kita tetap memelihara hubungan baik dengan kafilah da'wah, insya Allah semua kelalaian dan penyimpangan kita kemungkinan besar akan dapat diluruskan dan kembali kepada jalan yang benar. Kesimpulannya, kita baru akan jatuh terpuruk, tenggelam, dan terseret oleh arus yang lain, tatkala kita berada di luar arus atau orbit jama'ah da'wah. Salah satu barakah hidup bersama orang-orang sholih adalah, mereka selalu mampu memberi nasihat dan pencerahan hati bagi orang yang duduk bersamanya. "Sebaik-baik sahabat adalah, orang yang bila engkau melihatnya, menjadi kamu mengingat Allah", Begitulah sabda Rasulullah SAW.

Renungkanlah perkataan Rasulullah tersebut. Sekedar melihat seorang teman yang shalih akan memberi cahaya keshalihan yang berbeda dalam diri orang yang melihatnya.
Saudaraku para kafilah da'wah, Melihat orang lain yang lebih tinggi kadar ibadah, zhuhud, jihad, dan ilmunya, pasti akan memberi pengaruh yang besar dalam diri kita. Merekalah yang akan mempengaruhi zhuhud kita, ibadah dan jihad kita. Karenanya, para sahabat generasi pertama disebut sebagai generasi istimewa, antara lain lantaran mereka senantiasa hidup bersama Rasululluh SAW.

Ada orang salaf mengatakan, "Jika aku merasakan kekesatan hati, maka aku segera pergi dan melihat wajah Muhammad bin Wasi'" (Nuzhatul Fudhola, 1/526). Ibnul Mubarak juga mengatakan, "Jika aku melihat wajah Fudhail bin Iyadh, aku biasanya menangis".
Itulah salah satu prinsip yang dipegang oleh orang-orang shalih terdahulu. Bagi mereka, bertemu dengan saudaranya adalah bekal spirit yang dapat membekali kebangkitan ruhani mereka. Dan memang demikianlah yang terjadi. Simaklah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qosim, salah satu ulama fiqih di Mesir yang wafat tahun 191 H. "Aku pernah mendatangi Imam Malik sebelum waktu fajar. Aku tanyakan dia tentang dua masalah, tiga masalah, empat masalah, dan saya benar-benar melihatnya dalam suasana lapang. Kemudian aku mendatanginya hampir setiap waktu sahur. Terkadang karena lelah, mataku terkatuk dan aku tertidur. Ketika Imam Malik keluar Mesjid aku tidak mengetahuinya. Kemudian aku dibangunkan oleh pembantunya sambil mengatakan, "Gurumu tidak tertidur seperti kamu. Padahal saat ini usianya telah mencapai 49 tahun. Setahuku ia nyaris tidak shalat subuh dengan wudhu yang dipakai untuk shalat Isya'.". (Tartibul Madarik, 3/250)." Saudaraku, Apa yang terlintas dan terbetik dalam jiwa kita tatkala mendengar kisah di atas? Subhanallah.

Riwayat-riwayat seperti itu banyak disampaikan dalam atsar, sehingga sulit bagi kita untuk tidak menerimanya sebagai suatu kebenaran. Disebutkan di sana, wudhu' Imam Malik tidak batal sepanjang malam, dalam rentang waktu hampir separuh abad. Kondisi seperti ini biasa dilakukan pada malam-malam musim panas. Artinya, Imam Malik rela untuk menyedikitkan makan dan minum sepanjang hari sehingga ia mampu memelihara wudhunya.
Salah satu salafus shalih bercerita,"Aku pernah bangun pada waktu sahur untuk mempelajari Al Qur'an kepada Ibnu Akhram, seorang ulama Damaskus. Tapi ternyata kehadiranku telah didahului oleh sekitar 30 orang. Dan aku belum memperoleh giliran sampai datang waktu ashar" (Nuzhatul Fudhola, 2/1145). Kebiasaan waktu itu, satu orang diberi giliran untuk mempelajari Al Qur'an sekitar 2 halaman. Lihatlah terhadap kesabarannya yang luar biasa untuk menanti giliran membaca 2 halaman Al Qur'an dari sebelum fajar hingga waktu ashar. Yang lebih mengherankan lagi, kedatangannya sebelum fajar telah didahului oleh kurang lebih 30 orang. Saudaraku, Membaca dan menelaah peri hidup orang-orang shalih juga mempu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Bisa dikatakan, membaca dan menelaah peri hidup mereka, hampir sama dengan kita menziarahi dan berhadapan dengan mereka sehingga kitapun menerima barokah dari Allah karenanya. Karenanya Imam Abdul Jauzi Ra mengatakan, "Aku berlindung kepada Allah dari peri hidup orang yang tidak punya cita-cita tinggi hingga bisa diteladani oleh orang lain yang tidak punya sikap wara' yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud. Demi Allah, hendaklah kalian mencermati peri laku suatu kaum, mendalami sifat dan berita tentang mereka. Karena dengan memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami 20.000 jilid buku, berarti engkau telah melihat mereka melalui kajian engkau terhadap tingkat semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu yang tidak pernah diketahui oleh orang yang membacanya........" (Qimatuz zaman ‘indal ‘ulama: 31).

Saudaraku,
Seringlah mengunjungi saudaramu dalam jalan ini. Jangan jauhkan mereka dari hati. Sering-seringlah berkunjung, bertatap muka, dan memandang wajah mereka. Di sanalah engkau akan menemui berkah hidup berjama'ah yang dapat memberi bekal bagi jiwa agar kita dapat melanjutkan perjalanan ini sampai tujuan terakhir ............ Ridho Allah dan Syurga-Nya. ( Dikutip dari : Muhammad Nursani - Tarbawi Edisi 10 Th. II )

Merajut Benang Ukhuwwah


Di tengah semangat pecah-belah yang dihembuskan orang-orang yang memusuhi
Islam, ukhuwah menjadi menjadi sangat penting. Bagaimana bentuk ukhuwah dan
apa saratnya?


DR. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya" Merajut Benang Ukhuwah Islamiyah"
merinci satu persatu permasalahan itu, sebagai berikut:

Ta'aruf

Kata ta'aruf berarti saling mengenal. Misalnya ada kalimat ta'araftu ila
Fulan artinya: saya memperkenalkan diri kepada si Fulan. Di sini
dimaksudkan, hendaknya seorang Muslim mengenal saudaranya yang seiman,
menyangkut nama, nasabnya dan status sosialnya. Di samping itu, kenalilah
juga apa yang disukai dan yang tidak disukainya. Mengenal secara baik
karakteristik saudara kita, akan menjadi kunci pembuka hati persaudaraan.

Ta'aluf

Kandungan makna Ta'aluf adalah: menyatunya seorang Muslim dengan saudaranya
sesama Muslim. Bahwa semangat bersatu kepada saudara seiman dan seakidah
hendaknya menjadi jiwa Muslim. Rasulullah bersabda,"Orang mukmin itu mudah
disatukan. Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menyatu dan tidak
bisa mempersatukan." (HR.Imam Ahmad

Tafahum

Syarat ukhuwah selanjutnya adalah tafahum, yakni sikap saling memahami
antara seorang Muslim dengan saudaranya sesama Muslim, dengan menciptakan
kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran Islam (ushuluddin), lalu
hal-hal yang berkaitan dengan masalah cabang (furu'iyyah). Kita
diperingatkan oleh Allah SWT agat tidak saling berbantah-bantahan. "Tatalah
kepada Allah dan Rasul-Nya serta janganlah berbantah-bantahan yang akan
mengakiibatkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian."
(QS.Al-Anfal:46)

Ri'ayah dan Tafaqud

Ia adalah sikap respek seorang Muslim dengan yang lainnya. Bila saudaranya
membutuhkan bantuan, maka tanpa dimintanya segera bergegas memberikan
bantuannyasesuai dengan kemampuannya.

Termasuk dalam pengertian ri'ayah dan tafaqud adalah menutupi aibnya, serta
berusaha menghilangkan rasa cemasnya.

Ta'awun

Ta'awun berarti saling membantu. Maksudnya, Allah SWT memerintahkan kita
untuk saling membantu melaksanakan kebaikan (al-birr), dan meninggalkan
kemunkaran(at-taqwa). Dengan ber-ta'awun yakni memberi petunjuk kepada
saorang Muslim untuk mendapatkan ridha Allah, serta melakukan amal sholeh
lebih berharga dari pada memperoleh suatu yang sangat istimewa. Rasulullah
Saw bersabda, "Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seseorang
karena dakwah yang kau sampaikan kepadanya, sungguh hal itu lebih baik
bagimu daripada unta merah.." (HR.Abu Dawud)

Tanashur

Langkah ukhuwah yang terakhir ini adalah sejenis dengan ta'awun.Hanya
pengertian tanashur lebih mendalam dan lebih luas lagi, bahkan di sana
menggambarkan semangat cinta dan loyalitas.

Tanashur memiliki makna:

-Tidak menjerumuskan saudaranya kepada sesuatu yang buruk

-Mencegah sudaranya agar tidak tergelincir dalam tindak dosa dan kejahatan

-Menolongnya menghadapi setiap orang yang menghalanginya dari jalan
kebenaran, hidayah dan dakwah

-Membrikan pertolongan kepada orang yang dizhalimi maupun yang
menzhalimi(mencegah perbuatan zhalim) tersebut.

(Diambil dari rubrik "Fiqih Ukhuwah" majalah Hidayatullah, edisi Mei 2004)

www.hidayatullah.com

Dibalik KEHARUMAN

Oleh Ustadz M. Anis Matta, Lc*)



Nama para pahlawan mukmin sejati senantiasa harum sepanjang sejarah. Tapi hanya sedikit orang yang mengetahui betapa besar pajak yang telah mereka bayar untuk keharuman itu.

Masyarakat manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu, bahkan terkadang sampai pada tingkat pendewaan. Kedua, mereka akan merasa kasihan kepada para pahlawan tersebut karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Yang kedua ini biasanya datang dari keluarga dekat sang pahlawan.

Apa yang dirasakan orang luar berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sang pahlawan itu sendiri. Kekaguman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Tapi yang membayar harga keharuman yang dikagumi itu adalah para pahlawan. Dan harga itu tidah diketahui orang banyak. Maka seorang penyair arab terbesar, Al-Mutanabbi mengatakan: “Orang luar mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin dicipatakan oleh kedermawanan, orang luar mengagumi keberanian sang pahlawan tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarnya menuju kematian.

Tapi ada kenyataan lain yang sama sekali terbalik. Keluarga para pahlawan seringkali tidak merasakan gaung kebesaran atau semerbak harum nama sang pahlawan. Karena ia hidup ditengah tengah mereka, setiap hari bahkan setiap saat. Bagi mereka, sang pahlawan adalah juga manusia biasa, yang mempunyai keinginan-keinginan dan kegemaran-kegemaran tertentu seperti mereka. Dan mereka harus menikmatinya. Maka merekalah yang sering menggoda pahlawan untuk tidak melulu “mendaki” langit, tapi juga sekali-kali “turun” kebumi.

Dan kedua sikap tersebut adalah jebakan. Kekaguman dan pendewaan sering menjebak para pahlawan, karena itu akan mempercepat munculnya rasa uas dalam dirinya. Sehingga karya yang sebenarnya belum sampai ke puncak, akhirnya terhenti di pertengahan jalan akibat rasa puas. Itulah sebabnya Imam Ghozali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah berilmu, maka sesungguhnya orang itulah yang paling bodoh.”

Panggilan turun kebumi adalah jebakan lain. Menjadi pahlawan memang akan menyebabkan kita meninggalkan sangat banyak kegemaran dan kenikmatan hidup. Bahkan privasi kita akan sangat terganggu. Tapi itulah pajaknya. Namun banyak orang gagal melanjutkan perjalanan menuju puncak kepahlawanan karena tergoda untuk “kembali” kehabitat manusia biasa. Seperti angin sepoi yang mengirim kantuk kepada orang yang sedang membaca , seperti itulah panggilan turum kebumi penggoda sang pahlawan untuk berhenti mendaki. Itulah sebabnya Allah menegur para mujahidin yang mencintai keluarga mereka melebihi cinta mereka terhadap Allah, rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya.

Maka para pahlawan mukmin sejati berdiri tegak di sana; diantara tipuan pendewaan dan godaan kenikmatan bumi. Mereka terus berjalan dengan mantap menuju puncak kepahlawanan : tidak ada kepuasan sampai karya jadi tuntas, dan tidak ada kenikmatan melebihi apa yang mungkin diciptakan oleh kelelahan.

Sebuah DOSA




"Maka masing-masing ( mereka itu ) kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang di timpa suara keras yang mengguntur , dan diantara mereka kami benamkan kedalam bumi dan diantara mereka ada yang kami tenggelamkan dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri ". (QS.Al Ankabut:40)

Penjelasan

Sumber dosa berasal dari dua hal yaitu ;
1. Meninggalkan perintah Allah SWT
2. Melanggar larangan Allah SWT

Manusia seakan menjadi tabiatnya untuk berbuat dosa sejak manusia pertama Adam a.s yang melanggar larangan Allah SWT karena bisikan iblis, maka manusia cenderung berbuat dosa, kecuali para Rasul yang maksumu yapeni terjaga dari dosa. Meskipun manusia cenderung berbuat dosa, kita tidak mengenal dosa turunan. Karena setiap anak Adam lahir dalam keadaan fitrah dan suci. Dan konsep Islam mengajarkan agar manusia selalu bertaqwa dengan melaksanakan perintah Allah SWT dan meningglkan larangan Allah SWT. Tetapi kemudian dia masih berbuat dosa karena kelemahannya, maka Allah SWT memberikan jalan-jalan penghapus dosa dari mulai istighfar sampai kepada taubat nasuha. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik pembuat dosa adalah mereka yang bertaubat". (HR.Tirmidzi,Hasan).


Bedanya iblis yang melanggar perintah Allah SWT tidak bertaubat sedangkan Adam melanggar larangan Allah SWT dia menyadari dan bertaubat. Bahkan Rasulullah SAW bersabda: "Kalau kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah SWT akan mengganti kalian dengan kaum yang lain pembuat dosa, tetapi mereka beristighfar dan Allah SWT mengampuni mereka".( HR.Muslim).
Demikian nilai dosa itu kalau disadari akan menghantarkan manusia kepada ketaatan, karena pendosa itu jiwanya selalu gelisah dan kegelisahan itu yang menghantarkan dia kembali kepada Allah SWT dengan bertaubat.


Berbeda dengan ahli bid`ah, karena mereka merasa benar sehingga tidak terasa kalau dia berbuat dosa. Oleh karena itu Imam Sofyan Atstsani berkata, "Seorang tukang bid`ah itu lebih disukai oleh syetan dari seribu pendosa ".


Suatu bangsa yang berlumuran dosa bisa menjerumuskannya ke jurang malapetaka sebagaimana terjadi dengan malapetaka yang menimpa bangsa-bangsa terdahulu seperti tertera pada ayat diatas. Apabila bangsa kita ingin terhindari dari malapetaka maka segala bentuk dosa harus diupayakan untuk dijauhkan dari kehidupan berbangsa. Kenapa manusia cenderung berbuat dosa dan apa bahayanya perbuatan dosa itu ??

Selasa, 18 November 2008

Penyakit Lisan Terburuk dan Tercela: Ghibah dan Namimah



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:

Tiada yang berhak memiliki pujian di alam semesta ini selain Allah Robb, Penguasa dan Pemilik otoritas di alam semesta ini. Kita haturkan shalawat dan salam kepada Rasul Pembawa rahmat, yang telah menunaikan tugas risalah, melaksanakan amanat kerasulan membawa umat manusia ke gerbang kebahagiaan.

Ikhwah yang dicintai dan disayang Allah…
Relakah kalau Antum jadi sasaran celaan orang lain? Maukah Antum kalau kakak atau adik kandung Antum menjadi buah bibir masyarakat terhadap kekeliruan yang dilakukannya? Ridhakah Antum kalau ada orang membuka aib (cela) diri Antum di depan orang banyak? Kalau Antum tidak suka itu semua, semua orang pun tidak menyukainya, iya bukan???
Karena itulah, Allah swt Yang Maha Sayang kepada hamba-hamba-Nya yang setia beriman, memperingatkan sejak awal akan bahaya ghibah (menggunjing), membuka aib seseorang. Peringatan Allah diungkapkan dengan bahasa komunikasi yang sangat efektif, dengan cara memberikan perumpamaan orang yang menggunjing saudaranya seperti menyantap daging segar saudaranya yang sudah menjadi mayit itu. Artinya kalau memakan daging mayit tidak disukai, maka mengapa orang suka membicarakan keburukan dan aib saudaranya yang jauh dari pengetahuannya.

Akhi fillah …….

Apa maksud Allah swt memulai ayat larangan ghibah dengan seruan kepada orang beriman? Apa artinya Allah mengaitkan perbuatan tercela itu dengan keimanan? Yaa ayyulladziina aamanuu (wahai orang-orang beriman…). Demikian Allah sangat sayang dan penih mahabbah menyeru, mengingatkan dan mentaujih kita orang beriman. Karena Iman dan sifat tercela itu tidak akan mungkin bersatu, ibarat air dengan minyak, tidak logis muslim apalagi dai mendekati sesuatu yang dicela Allah swt dan rasul-Nya.
كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه (رواه مسلم)
Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram, darahnya, hartanya dan kehormatan dirinya (H.R. Muslim).

Ikhwatul Ahibbah ……-semoga Allah mempererat ukhuwah kita-.
Karena ghibah merupakan larangan Allah, rambu-rambu pergaulan dengan sesama, lebih jauh lagi ia merupakan arahan Ilahi bagi orang beriman agar menjauhi sifat tercela itu, maka pelanggaran terhadap larangan dan peringatan itupun berakibat kepada kenistaan pelakunya. Dengarkan kisah perjalanan Isra Mi’raj Rasulullah saw yang sempat diperlihatkan beberapa pemandangan yang mengerikan, untuk lebih meyakinkan diri dan umatnya terhadap kejadian yang menimpa itu, “Pada malam perjalanan Isra Mi’raj, aku diperlihatkan orang-orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kuku-kuku tajam mereka, aku bertanya: Wahai Jibril siapa mereka itu? Jibril a.s menjawab: Mereka adalah orang-orang yang menggunjing orang lain dan membuka aib (kehormatan) dirinya”. (H.R. Abu Daud dengan sanad yang sangat shahih). Semoga Allah melindungi kita dari azab dan siksa-Nya.
Meskipun ghibah bukan merupakan kaba’ir (dosa besar) tetapi ternyata melakukannya menjadi factor penyebab menimpanya azab kubur kepada pelakunya. Sahabat Jabir berkisah: Ketika kami bersama dengan Rasulullah saw, kami melewati 2 buah makam, seraya Rasulullah saw bersabda: Mereka berdua sedang disiksa di kubur mereka, bukan karena dosa besar yang dilakukannya, tetapi yang satu karena menggunjing orang lain, sedangkan yang lain tidak bersuci dari kencingnya”.
Karenanya pula Rasulullah saw memberikan peringatan yang keras, sampai-sampai ia menyampaikannya dalam sebuah khutbah dengan suara yang menggelegar terdengar wanita-wanita di rumah mereka, “Wahai orang-orang yang percaya kepada lisannya, tapi tidak mempercayai hati nuraninya, jangan kalian menggunjing saudaramu sesama muslim, jangan pula membuka auratnya, karena siapa yang membuka aurat saudaranya niscaya Allah akan membuka aib dirinya, barang siapa yang Allah buka aib dirinya, Dia akan mencela dirinya walau di dalam rumahnya” (H.R. Ibnu Abid-Dunya, Abu Daud dari hadits Abu Burzah dengan sanad yang jayyid).
Ingatlah Akhi Fillah, bahwa saat Antum melakukan taqwim tarbawi, dan Antum menyentuh kekurangan-kekurangan akh yang Antum taqwim tersebut, jarak antara proses itu dengan ghibah sangatlah tipis. Karenanya, sebelum Antum melangkah kepada proses taqwim, hendaknya membersihkan hati Antum, ikhlaskan niat dan motivasi, tingkatkan dzikir dan amalan-amalan shalih Antum. Sebab kita harus merasa khawatir akan terjerumus kepada perbuatan ghibah, sebagaimana sering dikhawatirkan para Salafus-Shalih.
Ibnu Abbas menyerukan, “Siapa yang berkeinginan menyebut aib temannya, maka sebutkanlah terlebih dahulu menyebut aib dirinya”. Abu Hurairah pun berkata, “Sungguh mengherankan, ada orang dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi tidak dapat melihat kotoran besar di matanya sendiri. Sebagaimana al-Hasan menegaskan, “Ikhwah fillah, Antum tidak akan memperoleh lezat dan esensi iman, sampai Antum mampu tidak membuka aib temanmu dengan sebuah aib yang ada pada diri Antum, sampai Antum juga mampu memperbaiki aib itu dimulai dari dirimu. Jika itu dapat Antum lakukan, niscaya Antum akan terbiasa menyibukkan diri dengan perbaikan diri Antum, dan hal itu yang disukai Allah”.
Ikhwani –hafizhakumullah fi tha’atih- (semoga Allah memelihara Antum dalam ketaatan kepada-Nya).
Adalah bukti kasih saying Rasul qudwah kita, ketika memberikan arahan tentang bahaya lisan, bahwa kesempurnaan Islam seseorang dilihat dari kebersihan lisan dan tangannya dari bentuk-bentuk gangguan terhadap saudaranya:


المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (رواه مسلم)

Orang muslim adalah yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya (H.R. Muslim).


Di antara bentuk gangguan lisan itu adalah “namimah” (‘mengadu domba’), seseorang berkata kepada kawannya, bahwa si Fulan telah mengatakan sesuatu tentang dirimu. Sehingga hal tersebut membuat kawannya marah dan tidak suka kepada si Fulan itu.
Namun bentuk namimah tidak sebatas provokasi, tetapi menyebarkan rahasia seseorang juga termasuk namimah, atau memberitahukan orang sesuatu yang tidak disukainya. Kondisi seperti ini hendaknya disikapi dengan sikap yang bijak, yakni tidak menambah penyebaran berita itu, tetapi sebaiknya ia mendiamkan, kecuali pemberitaan sesuatu yang ada manfaat dan maslahatnya bagi muslim atau untuk mencegah bahayanya.

Ikhwah fillah yang menyayangi dan disayangi Allah.

Ketahuilah, bahwa setiap yang dilarang dalam Islam, memberikan manfaat besar bagi muslim, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat. Ternyata bahaya namimah tidak hanya untuk pribadi pelakunya, tetapi dapat memberikan dampak yang sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Karenanya Allah swt dan Rasul-Nya memberikan ancaman-ancaman berat bagi para pelaku namimah:


1. “Jangan kamu taati orang-orang yang mendustakan agama….(yaitu) yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah” (Q.S. Al-Qalam: 11).
2. “Neraka wail bagi pengumpat atau penyebar fitnah dan pencela” (Q.S. Al-Humazah: 1).
3. “…akan masuk neraka…….pembawa kayu bakar” (Q.S. Al-Masad: 2-4), si pembawa kayu bakar itu dahulunya orang yang menyebarkan fitnah. Sebagaimana 2 wanita yang berkhianat kepada suaminya yang Nabi itu, mereka adalah wanita-wanita yang menyebarkan fitnah dan aib suaminya yang salih-salih itu (baca surat at-Tahrim).
4. “Tidak akan masuk surga orang yang melakukan namimah” (H.R. Imam Bukhari Muslim).
5. “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang-orang yang berupaya melakukan ta’lif (menjadi golongan perekat), sedangkan yang paling dibenci Allah adalah orang-orang yang menyebar fitnah, yang memecah persatuan saudaranya, mencari-cari kesalahan orang shalih” (H.R. Imam Thabrani).
6. “Maukah kalian aku beritahu orang yang paling buruk di antara kalian? Dia adalah orang yang berjalan berkeliling melakukan namimah, merusak persaudaraan orang-orang yang saling bercinta dan yang mencari kesalahan orang” (H.R. Ahmad).

Ikhwan fillah…

Setiap kita pasti tidak suka difitnah, sebagaimana kita juga tidak suka ayah atau ibu atau saudara kita mendapat fitnah; karena itulah orang lain juga tidak senang difitnah dan dibicarakan aib diri mereka.
Untuk itu setiap ada berita kita dengar atau lihat, hendaknya diklarifikasi di-tabayyun, jika tidak, maka akan berakibat fatal. Tadabburi pesan Allah swt:

Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq dengan membawa sebuah berita, hendaknya diklarifikasi (tabayyun), karena khawatir menimpa suatu kaum dengan cara yang ‘bodoh’ yang akan mengakibatkan kalian menyesal. (Q.S. Al-Hujurat: 6)
Yakinlah, bahwa bimbingan dan arahan Allah dan Rasul-Nya pasti memberikan pencerahan dan kesejahteraan hidup, pada kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan hidup bernegara serta kebaikan bagi peradaban manusia. Wallahu A’lam.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Kewajiban Lebih Banyak Dari Waktu Yang Dimiliki


href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CCLIENT%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml">


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:



Memahami Kewajiban

Kebanyakan orang memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan di hadapan pemberi kewajiban itu. Sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat yang ada di pundak. Dan semakin banyak kewajiban yang ada maka semakin terasa berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban, selalu merasa dalam penderitaan dan tekanan.

Berbeda dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai :

1. Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya,

2. Peluang untuk meningkatkan kualitas diri, dan

3. Tangga untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan terjaga dirinya,

4. Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan menfokuskan diri pada sikap rabbani.

Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi.

Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya. Dan tidak ada amal ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku cintai dari pada kewajiban yang telah Aku tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka ketika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dipergunakan untuk melihat, tangan yang dipergunakan untuk memegang, kaki yang dipergunakan untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku pasti akan Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti akan Aku lindungi. HR Bukhari


Kadar kewajiban

Allah swt telah mendistribusikan kewajiban bagi manusia ini sesuai dengan kapasitas dan kemampuan setiap orang, Firman Allah:


Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang dimampui. QS. 2/Al Baqarah: 286

Kewajiban guru berbeda dengan kewajiban murid, kewajiban imam berbeda dengan kewajiban makmum, kewajiban orang miskin berbeda dengan kewajiban orang kaya dst masing-masing telah mendapatkan porsi kewajiban yang sebanding dengan kebutuhan kebaikan yang hendak dicapai.

1. Kewajiban dzatiyah (pada diri sendiri) menjadi kebutuhan orang untuk mendapatkan kualitas pribadi yang unggul, sehingga ia menjadi shalih bagi dirinya secara fisik, intelektual, dan spiritual.

2. Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqushshilah (menguatkan hubungan dengan Allah), sehingga setiap saat pertolongan Allah dapat diraih untuk mendapatkan sukses hidup dunia dan akhirat.

3. Kewajiban kepada sesama manusia berfungsi untuk menata harmoni kehidupan dalam ikatan nilai dan kebaikan. Kewajiban itu mencakup:

a. Kewajiban kepada kedua orang tua.

b. Kewajiban suami isteri

c. Kewajiban kepada anak

d. Kewajiban kepada kerabat

e. Kewajiban kepada tetangga

f. Kewajiban kepada saudara

g. Kewajiban kepada manusia pada umumnya.

Dimana posisi kita dari semua kewajiban itu?

1. Jika kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah maka, kita baru dapat menshalihkan diri sendiri, secara fisik, intelektual, dan spiritual. Dan jika kita tidak mampu menshalihkan diri dalam apek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita akan mampu meshlihkan orang lain.

2. Jika kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah ada kedekatan jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah, akankah pertolongan Allah dapat diterima.

3. Jika kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, akankah mereka bersimpati dan berbaik sikap dengan kita? Rasulullah saw yang senantiasa bersikap baik, menunaikan kewajiban kemanusiaan kepada siapapun masih saja mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.

a. Bagaimana mungkin orang tua akan bersimpati dan mau mendengar ucapan anaknya, jika sang anak tidak menunaikan kewajibannya kepada kedua orang tuanya?

b. Bagaimana mungkin pasangan hidup akan mau menerima dengan utuh pasangannya jika ia tidak menunaikan kewajibannya dengan baik?

c. Akankah anak menghargai dan menghormati kedua orang tuanya dengan ikhlas, jika kedua orang itu tidak menunaikan kewajibannya dengan baik?

d. Akankah kerabat akan bersimpati jika kewajiban kepada mereka tidak terpenuhi?

e. Akankah tetangga akan menjadi saksi dan pembela yang ikhlas kepada kita, jika kewajiban kepada mereka tidak ditunaikan?

f. Akankah sanak saudara mau menjadi penolong kesulitan kita, jika kewajiban kepada mereka tidak dilaksanakan?

g. Akankah publik mau memilih kita menyisihkan yang lainnya, jika kewajiban kepada mereka tidak kita berikan?

Dan kita membutuhkan mereka semuanya, untuk kepentingan dakwah dan penataan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia. Tidak akan berarti apa-apa keshalihan pribadi yang kita bangun tinggi jika tidak memberi dampak bagi keshalihan lingkungan.

Semakin banyak peran yang ingin kita mainkan, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran dengan sedikit kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban tanpa peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki kader yang berperan aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban di semua tingkatan harus terpenuhi. Wallahu a’lam.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Kamis, 13 November 2008

Syur'atul Istijabah



Kesetiaan seorang pekerja kepada atasannya diukur dengan kecepatannya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan atasan tersebut. Demikian juga dalam hubungan interaksi seorang manusia dengan Allah Azza Wa Jalla. Dalam hubungannya dengan Allah seorang muslim bagaikan seorang pekerja terhadap Tuannya. Bahkan Allah melebihi Tuan mana pun di permukaan bumi ini, Dia memberikan fasilitas kepada hamba-Nya dengan berbagai kenikmatan hidup yang tidak dapat dibalas dengan harga semahal apapun. Karena itu, sebagai hamba, manusia yang beriman kepada Allah wajib sesegera mungkin merespon apa saja yang Allah perintahkan sekuat kemampuannya. Manakala ia dilarang atau diharamkan terhadap sesuatu maka dengan cepat dia harus .menghentikannya. Sikap demikian itu disebut “Syur’atul Istijabah” (Respon yang cepat).


Respon yang tinggi dan cepat dari seorang muslim terhadap perintah dan laranganNya ini merupakan buah keimanannya kepada Allah, Malaikat, Kitab, dan Rasul-rasul-Nya. Keimanan yang benar dan mendalam merupakan modal utama dari “istijabah”, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur-anul Karim,
Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS. 2:Al Baqarah: 285)


Sikap “sam’an wa thoatan” (mendengar dan taat) merupakan tuntutan iman. Dengan kata lain, iman seseorang tidak dapat dianggap benar dan lurus sebelum melahirkan sikap ini dalam kehidupan sehari-hari. Iman sejati membawa orang beriman pada perjanjian yang mengikat dengan Allah untuk melaksanakan syariat-Nya dimuka bumi. Sebagai contoh, ayat dalam Surat Al Baqarah di atas, sebelumnya didahului dengan firman Allah ayat 284 yang membuat para sahabat Nabi menangis ketika ayat tersebut diturunkan. Pasalnya, dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa Dia akan menghisab amal manusia baik yang tampak maupun tersembunyi dan Dia akan mengampuni atau mengazab manusia sesuai dengan kehendak-Nya,


Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2.Al Baqarah :284


Para sahabat Nabi menangis membaca ayat ini karena merasa betapa jiwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk senantiasa bersih dari noda dan dosa. Namun di sisi lain mereka siap menerima ketentuan Allah dalam ayat ini. Lantaran itu mereka bertanya kepada Nabi Muhammad dan mendapat jawaban dengan turunnya ayat 285-286. Allah memuji kesiapan mereka untuk mendengar dan taat karena keimanan mereka kepada Allah yang memiliki langit dan bumi.


Ketika seorang muslim bersyahadat, sebagai perwujudan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya dia melakukan jual beli dengan Allah. Dia sebagai pihak penjual dan Allah sebagai Pembeli. Syahadat kita adalah bai’ah yang wajib direalisasikan dalam hidup keseharian. Seorang pedagang yang baik tidak akan memberikan barang dagangan yang buruk, palsu atau pun rendah kualitasnya. Apalagi pembelinya adalah Allah Azza Wa Jalla yang memberikan harga yang mahal yaitu syurga. Firman Allah,


Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:111)


Karena harga tinggi (surga) yang diberikan Allah inilah maka orang-orang beriman bersegera memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Dalam hal ini kualitas tertinggi dari pencapaian iman seseorang adalah kesediaan memberikan nyawa di jalan Allah. Karena itu dinyatakan bahwa mereka siap berperang membunuh atau terbunuh. Atas janji yang demikian Allah menuntut orang-orang beriman untuk senantiasa memiliki komitmen terhadap perjanjian ini.


Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan :"Kami dengar dan kami ta'ati". Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati(mu). (QS. 5. Al Maaidah:7)
Pelajaran Dari Al Qur-an dan Sunnah


Al Quranul Karim dipenuhi ibroh dari kehidupan orang-orang beriman di masa lalu. Kisah-kisah dalam Kitabullah bukan hanya sekedar cerita tetapi merupakan contoh teladan dan pelajaran yang penting bagi setiap insan beriman untuk meningkatkan kualitas imannya kepada Allah. Salah satu kisah yang populer dalam menunjukkan syuratul istijabah suatu kaum di masa lalu adalah kisah para hawariy yang merupakan sahabat dekat Nabi Isa Alaihis Salam. Mereka memiliki kepekaan yang tinggi dalam memberikan reaksi terhadap peristiwa yang terjadi pada masyarakatnya. Manakala Bani Israil mengingkari Kerasulannya, Nabi Isa segera bertanya kepada para hawariy. Mereka segera pula memberikan jawaban yang menunjukkan kesiapan bekerjasama dengan pemimpinnya.


Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia:"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab:"Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (QS. 3:52)


Nyata sekali bahwa iman kepada Allah dan penyerahan diri kepada syariat-Nya menjadikan para hawariy mempunyai kepekaan yang tinggi untuk segera merespon seruan dari pemimpin mereka. Selain itu syuratul istijabah menunjukkan pemahaman yang mendalam kepada wahyu yang diturunkan, mengikuti petunjuk Rasul, dan mempunyai semangat serta cita-cita yang tinggi. Perhatikan kelanjutan ayat berikut ini


Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". (QS. 3. Ali Imraan:53)


Dalam kisah hidup Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam kita juga menemukan kecepatan reaksi para sahabat Rasulullah ketika mereka menerima seruan Nabi. Hal ini karena mereka ingin mengikuti keteladanan para hawariy Isa dalam menolong agama Allah,
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia:"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?". Pengikut-pengikut yang setia itu berkata:"Kamilah penolong penolong agama Allah!", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. 61. As Shof:14)


Kecepatan merespon perintah pemimpin sangat penting dalam gerakan dakwah Islam. Ini dicontohkan sahabat, Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a katanya: Ketika ayat ini diturunkan:
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suara kamu melebihi suara Nabi). Hingga ke akhir ayat 2 surat al-Hujurat. Tsabit bin Qais sedang duduk di rumahnya dan berkata: "Aku ini termasuk ahli Neraka!" Beliau bersembunyi dari Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam sehingga beliau bertanya kepada Saad bin Muaz, “Wahai Abu Amru, bagaimanakah keadaan Tsabit ? Adakah dia sakit ? “ Sa’ad menjawab, “Keadaannya seperti biasa dan aku tidak mendengar berita yang menyatakan dia sakit”. Lalu Saad pun menziarahinya dan memberitahu kepadanya tentang percakapan beliau dengan Rasulullah. Tsabit berkata, “Ayat ini diturunkan, sedangkan kamu semua mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling nyaring suaranya, melebihi suara Rasulullah. Kalau begitu aku ini termasuk ahli Neraka. Maka Sa’ad menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam. Maka Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam pun bersabda,”Bahkan dia termasuk dari kalangan ahli Surga *


Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS. 8:24)


Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu):"Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. (QS. 3:193)

GENERASI AL-MUZAMMIL




Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Ummul Mukmin Aisyah ra bahwa Allah telah mewajibkan qiyamullail kepada Rasulullah Saw. di awal surat ini. Beliau dan para sahabat telah menegakkannya di sebagian malam sehingga kaki-kaki mereka bengkak. Setelah genap dua belas bulan, Allah memberikan keringanan dengan diturunkannya ayat kedua puluh dari surat ini pula. Maka berubahlah hukum qiyamu lail yang tadinya wajib menjadi satu ibadah yang sunnah.



Surat Al Muzammil turun pada marhalah bina’. Marhalah penggemblengan ruh. Para sahabat merupakan calon dai dan mujahid digembleng dengan gemblengan yang berat. Selama satu tahun mereka harus bangun di tiap tengah malam untuk berdiri shalat berjam-jam. Mereka dituntut untuk taat, tunduk, patuh dan berpegang teguh pada perintah Allah dan Rasul-Nya.Kewajiban qiyamullail bukanlah sekadar berdiri sholat berjam-jam. Tetapi ia merupakan tarbiyah imaniyah. Tarbiyah untuk selalu berhubungan dengan Yang Maha Pencipta, untuk bermunajat ke pada-Nya. Ia merupakan wasilah untuk mendekatkan diri, berdzikir dan bertawakkal kepada-Nya.“Sebutlah nama Rabb-mu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketaatan, (Dialah) Rabb masyriq dan maghrib, tiada Illah melainkan Dia. Maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al Muzammil: 8-9)




Sungguh!! Berdzikir kepada Allah taat, tunduk dan patuh kepada-Nya, bertawakkal dan beribadah hanya kepada-Nya, merupakan senjata yang ampuh di medan dakwah yang penuh dengan rintangan dan cobaan. Semuanya akan menjadikan para calon du’at dan mujahid terbiasa untuk bersabar atas cobaan yang datang secara beruntun. Mereka akan terbiasa menanggung derita dan konsisten dalam mempertahankan haq. Ini semua merupakan satu satunya senjata pada marhalah bina’. Marhalah yang belum diizinkan untuk menghadapi kaum kafir secara langsung.“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik:. (QS. Al Muzammil : 10).




Sungguh seorang da’i atau mujahid yang diatas pundaknya terbebankan panji-panji dakwah, pasti akan mendapati cobaan, siksaan dan intimidasi, dan tentu sangat membutuhkan senjata untuk mengukuhkan mereka. Senjata yang meneguhkan hati dan jiwa mereka. Mereka hanya akan mendapatkannya jika dalam marhalah bina’ mereka telah digembleng dengan gemblengan Al Muzammil. Dan harokah islamiyah jika tidak menggembleng generasinya dengan gemblengan Al Muzammil, mereka akan berjatuhan di tengah jalan ketika mereka dihadapkan pada cobaan dan intimidasi.




Generasi Al Muzammil harus dibina dibawah konsep Qur’ani. Dan tidaklah cukup jikalau Al Qur’an hanya dijadikan sebagai pusat dan sumber intelektualitas belaka. Tetapi Al Qur’an harus dihafal. Khusus bagi mereka yang masih berumur muda.Perlu diingat makna qiyamul lail tidak akan pernah terealisir selama calon da’I atau mujahid tidak hafal ayat-ayat Al Qur’an kecuali beberapa ayat saja. Bagaimana ia akan merasakan nikmatnya bermunajat, sedangkan ia hanya hafal beberapa ayat dari Al Qur’an dan diulangnya tiap rokaat sholatnya? Bagaimana ia akan merasa khusyu’?


Sungguh !! betapa nikmat, tatkala kaki berdiri tegak untuk memulai munajat, hati tergerak disinari ayat-ayat Ilahi, yang kemudian dibiaskan ke dalam penglihatan, pendengaran, jiwa dan kehidupan.Untuk menghasilkan generasi Al Muzammil yang tangguh, harokah islamiyah harus mengonsep, pada umur 20 tahun seorang anggota harus sudah hafal sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an. Inilah yang akan menjadi bekal mereka. Dengan bekal ini, mereka akan bisa mereguk nikmatnya bermunajat, qiyamul lail dan bertaqorrub kepada-Nya.Potret generasi Al Muzammil adalah seorang pemuda yang telah melewati pubertas nya dengan kecintaan pada ibadah, ketaatan , dan taqorrub kepada-Nyaa.


Pemuda yang selalu bertilawah dengan tartil, yang setiap malam air mata mengucur deras dari pelupuk matanya. Mentadabburi ayat-ayat-Nya. Pemuda yang Al Qur’an terukir di hati dan pikirannya.

BIRRUL WALIDAIN




Alkisah, ketika Umar sampai di rumah, sepulang mengurusi jenazah Sulaiman, datanglah Abdul Malik menghampirinya. Ia bertanya, “Wahai amirul mukminin, gerangan apakah yang membaringkan Anda di siang bolong ini?” Umar bin Abdul Aziz sempat kaget, tatkala putranya memanggilnya dengan Amirul Mukminin, bukan dengan panggilan ayah. Ini mengisyaratkan putranya ingin mempertanyakan tanggung jawab ayahnya sebagai pemimpin negara, bukan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.



“Aku letih dan butuh istirahat”, jawab sang ayah.

“Pantaskah Anda beristirahat padahal banyak rakyat yang tertindas?”

“Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti, setelah shalat Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya”.

“Wahai amirul mukminin, siapakah yang menjamin Anda hidup sampai Zhuhur, jika Allah mentaqdirkanmu mati sekarang?” Mendengar ucapan sang anak, Umar tambah terperanjat.

Beliau memerintahkan anaknya mendekat, maka diciumlah pemuda itu sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku seorang anak yang telah membantuku menegakkan agama”. Selanjutnya beliau perintah juru bicaranya mengumumkan kepada seluruh rakyat. “Barang siapa yang merasa dianiaya, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah”.

Itulah salah satu cuplikan kehidupan Abdul Malik, seorang pemuda yang shaleh dan bertanggung jawab. Meskipun Allah memberinya usia relatif singkat, kurang dari dua puluh tahun, namun hidupnya diwarnai oleh ketaqwaan, ibadah dan amar ma'ruf nahi mungkar. Dia tidak segan menegur ayahnya saat dilihatnya lalai dalam menjalankan amanah. Dia tidak sungkan menasihati ayahnya agar selalu teguh pada hukum Allah dalam setiap gerak serta langkahnya. Dia tahu semua itu adalah kewajiban yang harus disampaikan dan bentuk implementasi birul walidain (bakti kepada ibu bapak).

Birul walidain adalah hak setiap orang tua. “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya” (QS 29:8). Ia tidak hanya berupa taat, patuh atau turut kepada kehendak orang tua, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Namun ia lebih dari itu.
Birul walidain adalah nasihat anak kepada orang tua manakala mereka sedang meniti jalan dosa. Allah bercerita tentang nabi-Nya Ibrahim AS yang menasihati ayahnya ketika sang ayah menyembah berhala, ”Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syetan. Sesungguhnya syetan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Allah,maka kamu menjadi kawan bagi syetan” (QS. 19:144-145)

Mungkin masih banyak diantara kita yang orang tuanya masih terperangkap dalam dosa. Sayangnya banyak pula diantara orang-orang muda yang bergelut dalam da'wah membiarkan orang tuanya tersesat. Padahal mereka lebih berhak dida'wahkan ketimbang orang lain.
Birul walidain juga menuntut mu'asyarah bil ma'ruf (bergaul dengan baik) kepada orang tua. Allah berpesan, “Dan bergaullah kepada kedua nya di dunia dengan baik” (QS 31:15). Dalam sejarah dakwah, banyak sekali kita temukan tokoh-tokoh simpatik yang melegendakan karena baktinya kepada kedua orang tua. Saad bin Abi Waqqas, sebagai contoh, meskipun ibunya musyrik dan mengancam mogok makan jika anaknya tidak mau kembali ke agama semula, beliau tetap menghormati ibunya dan memperlakukannya dengan baik. Bukan sesuatu yang terpuji, jika seseorang muslim, apalagi da'iyah, yang tidak menghormati dan menghargai orang tuanya. Hanya karena beda visi dalam memandang Islam, orang tua divonis kafir atau musyrik.

Banyak sekali contoh kesenjangan yang sebetulnya tidak akan terjadi jika anak mampu menempatkan permasalahan secara wajar. Sebagai contoh kasus pernikahan atau walimah. Banyak orang tua tidak setuju pemisahan antara undangan pria dan wanita. Itu terjadi karena selama ini tradisi yang ada membenarkan dicampurnya undangan laki-laki dan wanita pada satu ruangan. Apatah lagi tradisi tersebut dilegalisir oleh sebagian orang yang dianggap berilmu dan shalih. Kalau saja hubungan sang anak dengan orang tuanya baik, tentunya dia akan mendapatkan kemudahan dalam menghidupkan salah satu sunah Rasulullah SAW, tanpa harus timbul konflik berkepanjangan.

Kita yakin semua orang tua menginginkan anak yang shalih dan bakti seperti Abdul Malik bin Umar. Kita semua tidak pernah mendambakan anak durhaka. Namun yang menjadi pertanyaan, “Apakah kita sudah berbakti kepada orang tua sehingga mengharap keturunan yang baik?” Bukankah ada pepatah, “Bagaimana mungkin bayangan akan lurus jika tongkatnya bengkok?” Dan bagaimana mungkin pula anak akan berbakti jika orang tuanya durhaka. Ingat pesan Rasulullah saw, “Berbaktilah kepada kedua orang tua kalian, niscaya akan berbakti pula anak-anak kalian” (HR. Thabrani).

Sebagai orang yang sedang meniti jalan dakwah, kita dituntut berlaku bijaksana dalam menghadapi berbagai keganjilan yang ada pada orang tua. Jika mereka belum mau shalat, menutup aurat, dan belum siap menghidupkan sunah Rasulullah saw, kewajiban kita hanya mengingatkan mereka dan tidak ada hak untuk memaksakan kehendak. Kalau saja Sa'ad bin Abi Waqqas, Asma binti Abu Bakar diperintahkan untuk berbuat baik kepada ibu mereka yang musyrik, apalagi kita yang mempunyai orang tua yang muslim, tentu mereka lebih berhak untuk dihormati dan dihargai.

Kemungkaran dan kebatilan yang dilegalisir sekarang ini, adalah hasil dari upaya musuh-musuh Islam yang prosesnya sudah berjalan lama. Dan untuk mengembalikannya kepada Al-Haq tentunya butuh waktu lama. Itulah yang disampaikan Umar bin Abdul Aziz kepada anaknya ketika sang anak bertanya kenapa kemungkaran yang ada tidak dicegah secepatnya. Kata Umar, “Hai anakku, umat telah melepaskan ikatan Islam sedikit demi sedikit. Jika aku hapuskan dalam sehari saja, aku khawatir umat akan memberontak dan darah tertumpah. Demi Allah hancurnya dunia lebih ringan bagiku dari pada tertumpahnya setitik darah karena diriku ………………”.

BERPARTISIPASI DALAM AMAL JAMA'I



Pada awalnya, Allah Ta’ala menciptakan seorang manusia di muka bumi ini, yaitu Adam AS. Setelah Iblis diusir Allah Ta’ala dari surga karena kesombongannya, tinggallah Nabi Adam AS sendirian di surga.
Dia berjalan-jalan sendirian di surga dalam kesepian. Saat dia tertidur, kemudian bangun, terlihat seorang wanita tengah duduk di dekat kepalanya. Adam kemudian menyapa:”Siapakah anda?” Jawab wanita tersebut:”Wanita”. Adam bertanya kembali:”Untuk apa anda diciptakan?” Jawab wanita tersebut:”Supaya anda jinak kepadaku”.
Lalu, para Malaikat mendatangi Nabi Adam AS untuk mengetahui sejauh mana ilmunya. Mereka bertanya:”Siapakah namanya, Adam?” Jawab Adam:”Hawwa!” Malaikat bertanya:”Mengapa namanya Hawwa?” Jawab Adam:”Karena dia dijadikan dari benda hidup” (Tafsir Ibnu Katsir).
Itulah interaksi sosial pertama yang terjadi antara dua manusia. Interaksi sosial merupakan fithrah basyariyah (naluri manusia) yang menjadikan hidup menjadi indah dan lebih bermakna. Keadaan Nabi Adam AS sebelum kedatangan Hawwa digambarkan dalam Tafsir Ibnu Katsir “berjalan-jalan sendirian dan kesepian”.
Setelah itu, lahirlah keturunan dari Adam dan Hawwa, baik keturunan laki-laki atau perempuan, sehingga jumlahnya menjadi milyaran ummat manusia seperti sekarang ini. Allah Ta’ala berfirman:“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan wanita yang banyak …” (An Nisaa’ [4]: 1).
Firman-Nya yang lain:”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku …” (Al Hujuraat [49]: 13).
Dengan semakin berkembang biaknya laki-laki dan wanita dalam jumlah yang banyak, menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa; maka mau tidak mau, suka tidak suka, manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya. Baik dalam lingkungan yang padat, atau dalam ligkungan yang jarang penduduknya. Keharusan berinteraksi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluq sosial seperti kakeknya terdahulu, Nabi Adam dengan Ibu Hawwa.
Allah Ta’ala berfirman:”… Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (An Nisaa’ [4]: 1).
Dalam firman-Nya yang lain:”… menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” (Al Hujuraat [49]: 13).
Demikianlah, Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada kita rahasia penciptaan manusia yang beragam kulit, bahasa, tradisi dan alamnya. Semuanya tidak dalam rangka manusia saling bermusuhan dan menumpahkan darah. Tetapi untuk saling mengenal, saling membutuhkan dan saling mengunjungi. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah berupaya merubah nama suku shahabatnya; seperti suku Auz dengan Kazraj, meskipun kedua suku tersebut pernah terlibat peperangan yang lama. Rasulullah SAW tidak merubah kedua nama suku itu, yang dihilangkan bukan namanya, tetapi sikap permusuhan di antara keduanya dan diganti dengan sikap persaudaraan. Demikian pula antara shahabat Muhajirin dan Anshar serta shahabat lainnya. Dan dengan begitu, kehidupan menjadi indah dan menggairahkan.
ISLAM TIDAK ANTI SOSIAL
Rasulullah SAW mengajak ummatnya untuk bergaul dengan masyarakatnya dan bershabar terhadap berbagai macam perilaku mereka. Sabdanya:”Seorang Mu’min yang berinteraksi dengan masyarakat dan bershabar terhadap segala macam cobaan dari mereka lebih agung pahalanya daripada seorang Mu’min yang tidak berinteraksi dan tidak bershabar terhadap cobaan manusia” (HR. Muslim).
Kata “lebih agung pahalanya” merupakan dorongan Rasulullah SAW kepada ummatnya untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lainnya. Sedangkan hijrah untuk meninggalkan manusia ramai kemudian menyendiri dalam kehidupan merupakan perkara yang tidak diajarkan dalam Islam, karena Rasulullah SAW telah bersabda:”Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Makkah” (Riyadhush Shalihin). Sebagai gantinya, Islam mengajarkan ummatnya untuk melakukan hijrah ma’nawi atau isolasi mental. Rasulullah SAW bersabda:”Muhajir (orang yang hijrah) adalah mereka yang meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala” (HR. Muslim).
Dari sabda Rasulullah SAW ini, dapat kita fahami bahwa yang dimaksud hijrah adalah meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah Ta’ala, tanpa harus berpindah secara fisik. Inilah yang dimaksud dengan hijrah ma’nawiyah atau isolasi mental. Secara fisik bergaul dengan masyarakat ramai, tetapi secara mental meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Tentu saja, yang dimaknai bergaul dengan masyarakat bukan berarti bergaul secara akrab dengan para pelaku maksiat; sampai memberikan solidaritas dan loyalitas kepada mereka. Karena Rasulullah SAW memberikan peringatan:”Seseorang itu bersama agama temannya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan dengan siapa dia berteman” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Berarti yang dimaknai bergaul adalah berinteraksi dalam perkara-perkara mu’amalah seperti jual-beli, bertetangga, berteman, berorganisasi atau yang lain; sembari berda’wah untuk mengarahkan mereka terbiasa dengan akhlaq-akhlaq Islami.
Beberapa orang Muslim yang ingin menyendiri dalam kehidupan dan tidak mau bergaul dengan masyarakat ramai mempunyai alasan yang kurang tepat. Beberapa sikap dan pemikiran yang kurang tepat adalah:
1. Belum berda’wah tetapi sudah memvonis
Islam tidak mangajarkan kepada ummatnya untuk menjadi tukang vonis, tetapi Islam mengajak ummatnya untuk menjadi seorang da’i. Allah Ta’ala berfirman:”Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Al Ghaasyiyah [88]: 21-22).
Seringkali kita memvonis masyarakat dengan vonis yang menyakitkan, seperti: sesat, kafir, murtad, ahli neraka dan lain-lain. Sementara kita sama sekali belum berd’awah kepada mereka dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah SAW. Sikap seperti ini meneybabkan terjadi rentangan jarak yang jauh antara kita dengan masyarakat. Atau, menyebabkan kita lebih suka menyendiri daripada bergaul untuk berda’wah.
Tentu saja sikap seperti ini tidak tepat, karena berda’wah itu adalah langkah pertama yang harus dilakukan dalam berhubungan dengan manusia. Dan dengan da’wah pulalah kita bergaul dengan masyarakat ramai. Sedangkan sikap suka menjatuhkan vonis kepada msyarakat bukanlah ajaran Islam, karena Rasulullah SAW bersabda:”Saya tidak diutus untuk menjadi tukang cela, tetapi untuk menjadi pemberi rahmat” (Tafsir Ibnu Katsir).
2. Semua jama’ah dan organisasi Islam sesat dan firqah
Allah Ta’ala berfirman:”Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (Ar Ruum [30]: 32).
Rasulullah SAW bersabda:”Ummatku terpecah menjadi tujuhpuluhtiga firqah, tujuhpuluh dua masuk nerakadan satu yang masuk surga; itulah jama’ah” (HR. Ahmad).
Dalil-dalil di atas atau yang serupa dengannya, seringkali disikapi keliru oleh beberapa gelintir Kaum Muslimin. Sikap yang keliru tersebut adalah:
a. Menganggap seluruh jama’ah Kaum Muslimin adalah sesat dan firqah
b. Menganggap hanya jama’ahnya yang memenuhi kriteria di atas, sehingga hanya jama’ahnya yang berhak masuk surga. Sedangkan jama’ah lain akan masuk neraka.
Kedua sikap ekstrem tersebut tentu saja sikap yang tidak tepat. Karena ayat beserta hadits di atas, atau yang sejenis dengannya, hanya menunjukkan sifat-sifat golongan yang benar atau kelompok yang sesat. Dalil-dalil seperti itu sama sekali tidak menunjukkan suatu nama tertentu. Sehingga setiap kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kebenaran seperti itu masuk dalam golongan yang selamat; apapun namanya. Demikian pula sebaliknya, jika ada kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kesesatan, maka dia akan masuk dalam golongan yang celaka; apapun namanya.
Sehingga, tidak ada organisasi yang benar sendiri tidak pula seluruh organisasi sesat. Kita lihat dulu sifat-sifat organisasi tersebut secara obyektif. Sudut pandang inilah yang Islami dan menghindarkan diri kita dari keengganan untuk bergaul dengan mesyarakat ramai yang mengikuti berbagai macam organisasi.
3. Berinteraksi dengan pelaku maksiat dilarang dalam Islam
Rasulullah SAW pernah bersabda:”Seseorang itu bersama agama temannya. Maka perhatikanlah dengan siapa seseorang itu berteman” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Dengan sabda Rasulullah Saw ini ada beberapa Kaum Muslimin yang beranggapan bahwa berinteraksi dengan pelaku maksiat itu dilarang.
Tentu saja pemahaman ini tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah. Yang diingatkan Rasulullah SAW adalah pertemanan bukan interaksi. Yang diamksud dengan pertemanan adalah tempat seseorang meletakkan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan dan tempat memberikan loyalitas. Pertemana seperti inilah yang harus dijaga tetap dengan orang-orang yang shalih, bukan dengan para pelaku maksiat.
Sedangkan interaksi itu dapat bermakna sangat luas. Karena da’wah itu sendiri adalah sebuah bentuk interaksi terus-menerus antara seorang juru da’wah dengan obyek da’wahnya. Di antara obyek da’wah adalah para pelaku maksiat. Tentu saja, interaksi da’wah dengan para pelaku maksiat bukan dalam rangka pertemanan, yaitu bukan dalam rangka memberikan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan serta tempet memberikan loyalitas. Tetapi dalam rangka mengarahkan, meluruskan serta mengurangi intensitas kemaksiatannya.
Seseorang yang menganggap interaksi dengan pelaku maksiat dilarang menyebabkan dia mengambil sikap menyendiri dan menyepi serta mengindarkan diri dari bergaul dengan sesama manusia. Sikap inilah yang tidak tepat.
4. Sekarang ini adalah masa kerusakan
Rasulullah SAW bersabda:”Akan datang suatu masa yang menimpa manusia; tidak ada Islam kecuali tinggal namanya saja, tidak ada Al Qur’an kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mewah tetapi kosong dari petunjuk serta ulama’nya adalah orang yang paling jahat yang berada di bawah langit …” (HR. Al Baihaqi).
Hadits di atas serta hadits-hadits yang sejenis dijadikan sebagai alasan oleh beberapa Kaum Muslimin untuk menggambarkan kondisi zaman sekarang ini. Sebagian berpendapat sangat ekstrem , yaitu sekarang adalah zaman paling rusak dan sudah tidak mungkin lagi untuk diperbaiki kembali. Sehingga mereka memilih mundur dan menyepi dari keramaian manusia; dengan anggapan supaya selamat dunia akhirat.
Anggapan seperti ini tentu saja tidak dapat dikatakan benar seratus persen. Karena masih banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa akhir zaman ditandai dengan kehadiran Dajjal, Nabi Isa, Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj dan lain-lain. Semuanya itu belum terjadi. Belum lagi Rasulullah SAW pernah bersabda:”… Kemudian akan datang lagi masa kekhilafahan yang ditegakkan atas dasar-dasar kenabian ketika Allah berkehendak untuk mendatangkannya …” (HR. Ahmad). Dan masa kekhilafahan kedua ini juga belum terwujud. Bagaimana bisa bahwa zaman sekarang ini adalah rusak-rusaknya zaman, sementara ciri-ciri akhir zaman belum terwujud?
Anggapan yang keliru seperti ini menyebabkan manusia mengambil sikap yang tidak tepat pula; di antaranya adalah dengan mengasingkan diri dari masyarakat ramai dan hanya asyik dengan dirinya-sendiri.
SIKAP DIRI
Sebenarnya, ada potensi dasar pada diri seseorang yang menyebabkan masyarakat mudah menerima kehadirannya. Beberapa karakteristik dasar tersebut antara lain:
Penduduk asli lebih diterima daripada pendatang
Orang tua lebih diterima daripada anak muda
Keturunan tokoh lebih diterima daripada keturunan orang biasa
Orang kaya lebih diterima daripada orang miskin
Orang yang suka memberi lebih diterima daripada orang yang pelit
Orang yang suka menolong lebih diterima daripada orang yang berat untuk menolong
Orang yang pandai bergaul lebih diterima daripada tidak suka bergaul
Potensi dasar ini harus senantiasa diupayakan supaya da’wah kepada masyarakat mengalami percepatan yang signifikan. Proses percepatan dapat melalui pernikahan, pelatihan, pendistribusian dana dan lain-lain.
Selain potensi dasar pada diri seseorang, terdapat pula sikap diri yang harus dimunculkan dalam diri seseorang ketika bergaul dengan masyarakat. Sikap diri inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah menerima kehadiran kita, tidak mempunyai alasan untuk memusuhi serta menyambut da’wah kita atas ijin Allah Ta’ala.
1. Empati sebagai sikap dasar pergaulan
Sikap dasar pergaulan yang ideal adalah empati. Yang dimaksud dengan empati adalah:
a. Memandang manusia dengan kacamata kasih-sayang
Allah Ta’ala mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmah (kasih-sayang) bagi seluruh penghuni bumi. Firman-Nya:”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al Abiyaa’ [21]: 107). Tentua saja kacamata rahmah (kasih-sayang) bersifat universal, yaitu ditujukan kepada seluruh ummat di dunia. Baik yang Muslim atau Non Muslim, bahkan untuk manusia atau binatang, tumbuhan dan benda-benda lain di dunia. Tetapi dalam pembahasan kita kali ini, rahmat itu ditujukan kepada seluruh ummat manusia.
Inilah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman Bin ‘Auf ketika dia meminta kepada Rasulullah SAW untuk membalas celaan orang-orang kafir Quraisy. Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya aku ini diutus bukan untuk menjadi tukang laknat (tukang cela), tetapi untuk memberikan rahmah (kasih-sayang)” (Tafsir Inu Katsir).
Demikian pula, ketika Rasulullah SAW dilempari batu oleh penduduk Thaif yang membawa kesedihan sangat mendalam di hati beliau. Maka beliau berdo’a:”Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui” (HR. Bukhary dan Muslim).
Begitulah ketika kita berinteraksi dengan masyarakat, kita harus memandang mereka dengan kacamata kasih-sayang, bukan kebencian dan kemarahan. Rasulullah Saw mengingatkan:”Jauhkan dirimu dari sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita. Dan jangan meraba-raba dan jangan menyelidiki kesalahan orang …” (HR. Muslim).
Segala bentuk perilaku masyarakat, baik yang menyenangkan atau menjengkelkan hati kita, kita sikapi dengan tatapan kasih-sayang. Bukan balas-dendam, kemarahan dan kebencian. Sambil kita berdo’a di hadapan Allah Ta’ala:” Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui”
b. Ikut merasakan alunan perasaan orang lain
Rasulullah SAW mengajarkan kepada seorang Muslim untuk menghargai perasaan orang lain. Perasaan senang, sedih, gembira, kecewa, susah dan lain-lain. Bentuk penghargaan perasaan kepada orang lain adalah dengan ikut serta merasakan perasaan orang lain. Jika orang lain sedih, kita ikut menampakkan ekspresi kesedihan. Jika orang lain bergembira, maka kita juga semestinya menampakkan ekspresi kegembiraan. Begitu pula dengan perasaan-perasaan yang lain.
Rasulullah SAW bersabda:”Jangan menunjukkan kegembiraanmu dalam kesusahan saudaramu, maka Allah akan menyembuhkan (menyelamatkannya) dan membalas ujian padamu” (HR. At Tirmidzi; Riyadhush Shalihin II, 450).
Tentu saja, sikap ini bukan bertujuan untuk memperparah keadaan. Misalkan seseorang yang bersedih menjadi sedih berkepanjangan, atau seseorang yang bahagia melampiaskannya dengan hura-hura berlebihan. Tetapi sikap ini bertujuan untuk melegakan perasaan seseorang, terutama yang tengah dirundung derita. Karena dalam kesedihannya, masih ada orang lain yang menanggapi dan memberi perhatian kepadanya. Dalam suasana seperti itulah, nasihat yang baik akan lebih menghujam di dalam qalbu.
c. Perhatian
Perhatian adalah sebuah bentuk pencurahan pikiran dan perasaan seseorang untuk kebaikan orang lain. Lawan perhatian adalah cuek dan tidak mau tahu persoalan orang lain. Orang seperti ini, cuek dan tak mau tahu, biasanya cenderung egois atau hanya asyik dengan dirinya sendiri. Terserah saja apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tidak menimpa diri saya.
Bentuk perhatian ini tentu saja bukan bertujuan untuk mengorak aib orang lain. Tetapi perhatian adalah lebih bertumpu kepada komitmen seseorang untuk ikut membantu orang lain bergembira dan berbahagia.
d. Basa-basi
Basa-basi yang dimaksud di sini bukan berarti basa-basi tanpa arti. Tetapi basa-basi yang dapat melunturkan rasa dengki dan kemarahan seseorang kepada kita. Selain itu, basa-basi ini memang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sabdanya:”Janganlah kalian meremehkan sedikitpun kebaikan, meskipun hanya dengan wajah manis ketika bertemu dengan saudaramu” (HR. Muslim).
Di antara bentuk basa-basi itu adalah:
i. Salam
Ucapan salam kelihatannya terkesan hanya sebuah basa-basi. Tetapi sebenarnya, setiap manusia sangat suka menerima salam dari orang lain; karena merasa mendapat perhatian. Rasulullah SAW bersabda:“Demi Dia yang nyawaku berada di tangan-Nya. Kalian tidak akan masuk surga, sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman, sampai kalian saling berkasih-sayang. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perbuatan jika kalian lakukan akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkanlah salam di antara kalian” (HR. Muslim).
ii. Wajah Manis
Wajah ceria dengan senyum yang tulus merupakan bantuan moril kepada orang lain untuk turut berbahagia menghadapi hari ini. Karena dengan keceriaan wajah dan senyuman kita, seseorang akan terhipnotis ikut bergembira. Untuk itulah Rasulullah SAW berpesan:“Janganlah kalian meremehkan sedikitpun perbuatan yang ma’ruf meskipun hanya dengan berwajah manis ketika bertemu dengan saudaramu” (HR. Muslim).
iii. Jabat-tangan
Jabat-tangan yang ikhlas akan melebur rasa dendam dalam hati dan menggantikannya dengan rasa sayang serta saling memaafkan. Jabat-tangan juga mampu menumbuhkan rasa akrab serta mencairkan ketegangan suasana. Rasulullah SAW bersabda:“Tidaklah dua orang Muslim yang bertemu kemudian berjabat-tangan, kecuali Allah mengampuni dosa di antara keduanya sampai keduanya berpisah” (HR. Abu Dawud).
iv. Memanggil dengan nama yang disukai
Jika kita kenal nama seseorang, kemudian memanggil dengan namanya, maka keakraban akan dengan cepat mudah terjalin. Terlebih lagi, bila kita tahu nama kesukaan seseorang atau nama kebanggaannya, dan kita panggil orang tersebut dengan nama-nama itu; maka perasaan in group akan cepat tumbuh. Yaitu perasaan tidak terpisahkan antara kita dengan dirinya.
Allah Ta’ala berfirman:“… dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk …” (Al hujuraat [49]: 11).
v. Memberi hadiah
Hadiah dapat memupus rasa permusuhan dan menggantinya dengan cinta. Rasulullah Saw bersabda:”Saling bertukar hadiahlah sehingga kalian saling berkasih-sayang” (HR. Muslim).
2. Teladan sebagai contoh praktis kehidupan
Masyarakat sangat tidak menyukai teori dan konsep yang muluk-muluk dan melangit; terutama sekali masyarakat awam. Tetapi masyarakat lebih membutuhkan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang praktis dan aplikatif. Karena itu, teladan merupakan bahasa yang tepat untuk berbicara kepada masyarakat. Pepatah Arab mengatakan:”Bahasa teladan lebih fasih daripada bahasa lisan”.
Misalnya, dalam masalah ibadah; sebelum kita mengajak masyarakat menegakkan shalat, maka harus dimulai dari diri kita untuk senantiasa menegakkan shalat. Kita mencontohkan rapi dan bersih dalam penampilan, pakaian dan rumah tinggal serta kendaraan. Kita mencontohkan senantiasa memulai berbuat baik kepada tetangga dengan menyapa, silaturahmi, memberi hadiah dan yang sejenisnya.
Allah Ta’ala mengecam manusia yang hanya mau berbicara, tetapi tidak berupaya untuk menerapkan ucapannya sendiri dalam praktek amal keseharian. Firman-Nya:”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakn apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Ash Shaff [61]: 2-3).
Rasulullah Saw berpesan:”Mulailah dari dirimu sendiri!” (HR. An Nasaa’i).
3. Memberi manfaat
Hendaklah kita tidak sekedar mencari keuntungan material dalam berhubungan dengan masyarakat. Segala sesuatu hanya diukur untung-rugi secara ekonomi.
Bila kita berperilaku seperti itu, maka masyarakat akan sulit meraba keikhlasan hati kita dalam bekerja atau dalam berhubungan dengan mereka. Sehingga mereka berhati-hati dalam berhubungan dengan kita, atau bahkan menghindari. Mereka takut menjadi korban materi dalam berhubungan dengan kita.
Sudah semestinya, apabila kita justru berusaha banyak memberi manfaat kepada masyarakat, tanpa terbesit dalam diri kita untuk mendapat ganti; kecuali hanya keridhaan Allah semata. Demikian itulah yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hidup bermasyarakat.
Sebelum Muhammad menjadi Nabi, Khadijah RA menceritakan pribadi beliau:”
4. Teguh pendirian
Banyak sekali perilaku masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan seringkali perilaku itu telah mengakar dan membudaya dalam sebuah masyarakat. Misalnya sesaji ke kuburan, sesaji setelah bersih desa, minuman keras saat ada hajatan dan lain-lain.
Tentu saja, kita dilarang untuk ikut-ikutan acara haram tersebut dengan alasan untuk bermasyarakat. Bila kita mempunyai kekuasaan di masyarakat, menjadi perangkat desa misalnya; maka kita dapat mengurangi sedikit demi sedkit tradisi tersebut melalui jalur-jalur kekuasaan. Bika kita berani mengingatkan secara lisan kepada mereka, maka dapat menegurnya. Tetapi, apabila kita tidak mampu melakukan keduanya, cukuplah kita memiliki pendirian yang kuat untuk tidak mengikutinya.
Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah kalian menjadi orang yang imma’ah (tidak punya pendirian) yang hanya berkata:”Saya bersama masyarakat. Bila masyarakat baik, maka saya juga baik. Demikian pula, jika masyarakat buruk, saya juga buruk”. Akan tetapi teguhkan pendirianmu, jika masyarakat berbuat baik, maka berbuat baiklah. Dan jika masyarakat melakukan keburukan, maka tinggalkanlah keburukan mereka” (HR. Muslim).
5. Memaklumi jangan minta dimaklumi
Rasulullah SAW telah menunjuk seluruh Kaum Muslimin sebagai pemimpin dengan sabdanya:” Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhary).
Dengan hadits itu, berarti seluruh Kaum Muslimin adalah pemimpin baik dalam skala yang luas, yaitu memimpin masyarakatnya; dalam skala sedang, memimpin rumah-tangganya; atau dalam skala kecil, yaitu memimpin dirinya sendiri.
Mental khusus seorang pemimpin adalah responsible (tanggung-jawab) dan sense of belonging (rasa memiliki). Dengan dua setting mental inilah seorang Muslim harus bekerja menghadapi masyarakatnya, karena dari sini tumbuh sikap berusaha memaklumi orang lain dan tidak malah meminta untuk dimaklumi.
Tingkah-polah masyarakat yang berada di sekiling kita, kita respon dengan sikap maklum. Sehingga kita mampu menghadapi mereka dengan tenang, tidak emosi serta menghilangkan dendam kesumat dalam jiwa. Jika mereka mencela kita, menghina kita, mencibir atau yang sejenisnya; cukuplah kita berdo’a sebagaimana Rasulullah SAW berdo’a untuk penduduk Tha’if:”Ya Allah ampunilah mereka, karena mereka orang yang tidak mengetahui” (HR. Bukhary dan
INTERAKSI
1. Heterogenitas adalah anugerah Allah
Heterogentitas merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, karena Allah telah berfirman:” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” …” (Al Hujuraat [49]: 13).
Sehingga heterogenitas bukanlah sebuah perkara yang harus kita sesali, tetapi justru merupakan hal yang harus kita syukuri. Setiap suku memiliki tradisi dan cara masing-masing; bahkan setiap orang memiliki perilaku masing-masing meskipun mereka adalah suadara kembar. Tidak mungkin semua orang itu baik akhlaqnya serta sehat aqalnya, tetapi ada juga yang rusak moralnya serta kacau aqalnya. Tidak semua orang mudah menerima kebenaran, tidak semua orang berani berjuang di jalan Allah, tidak semua orang terhindar dari kriminalitas dan lain-lainnya.
Semua itu merupakan heterogenitas yang ada di muka bumi,yang harus kita sadari sepenuhnya sebagai anugerah Allah Ta’ala. Sehingga kita tidak mudah sempit dada melihat perbedaan-perbedaan yang tumbuh di antara manusia, atau juga kita tidak cepat merasa putus-asa dengan menjalarnya kemaksiatan dalam tubuh masyarakat kita. Semua itu sudah menjadi hukum alam (sunnatullah) yang memang demikianlah keadaannya.
2. Mengenali obyek da’wah dengan terperinci
Kita harus senantiasa berupaya mengenali obyek da’wah kita dengan teliti. Semakin teliti kita menegnali obyek da’wahkita, semakin tepat kita memberikan therapi kepada mereka, serta semakin kecil tingkat kesalahan kita dalam berhadapan dengan mereka.
Setiap masyarakat memiliki potensi beragam serta tingkat sensitifitas yang berbeda. Permasalahan ini harus kita teliti secara mendalam, sehingga kita dapat menumbuhkan potensi mereka, seiring dengan upaya kita untuk mereduksi perilaku mereka yang negatif.
3. Berbicara sesuai budaya setempat
Setiap kaum memiliki karakter dan tradisi yang berbeda-beda. Dari sisi bahasa, misalnya, setiap kaum memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Sesama Bahasa Jawa saja memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Antara Bahasa Jawa Timur, Tengah atau Barat terjadi berbagai macam perbedaan. Bahkan antara Bahasa Jawa di Jawa Timur sendiri terdapat berbagai ragam perbedaan. Belum lagi antara Bahasa Jawa dengan bahasa daerah lainnya. Tentu saja terjadi banyak perbedaan. Apalagi antara bahasa nasional dengan bahasa asing.
Seorang da’i akan sangat mudah diterima masyarakat apabila mengenali bahasa mereka dan adat komunikasi antar mereka. Penerimaan secara pribadi ini akan berdampak terhadap penerimaan nilai-nilai yang kita tawarkan kepada mereka, yaitu nilai-nilai Islam. Maka berbicaralah dengan bahasa masyarakat setempat.
Allah Ta’ala telah berfirman:“Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka …” (Ibrahiim [14]: 4).
4. Berbicara sesuai kadar aqal
Kecerdasan setiap orang tentu saja berbeda, demikian pula dengan kecerdasan rata-rata antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Rasulullah SAW memerintahkan supaya kita berbicara disesuaikan dengan kadar akal masyarakat. Apabila mereka lemah akalnya, maka berbicaralah dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh akal mereka. Sebaliknya, apabila kita berbicara dengan masyarakat yang lebi cerdas, maka kita dapat berdiskusi dengan mereka terhadap berbagai hal.
Rasulullah SAW bersabda:“Kami para Nabi diperintahkan supaya berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka” (HR. Muslim).
5. Tidak mengumbar janji
Janganlah mudah mengumbar janji kepada masyarakat, karena mereka akan menagih janji kita untuk direalisasikan. Jika kita kemudian memenuhi janji kita, mereka akan menganggap sebagai perkara yang biasa; karena memang janji harus ditepati. Sedangkan bila kita tidak mampu menepati janji, maka masyarakat akan mencemooh kita dan tentu saja kredibilitas kita di hadapan mereka akan jatuh-berantakan.
Lain lagi apabila kita tidak berjanji. Apabila kita tidak melakukannya, masyarakat akan maklum, karena memang kita tidak pernah menjanjikannya. Sebaliknya, jika kita memenuhi sesuatu padahal kita tidak berjanji sebelumnya, masyarakat justru akan salut kepada kita.
ntuk itu, fikirkanlah baik-baik sebelum kita menjanjikan sesuatu kepada masyarakat. Allah Ta’ala juga telah berfirman ketika mencirikan orang yang beriman:”Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janjinya” (Al Mu’minuun [23]: 8)
MUSYAWARAH
Musyawarah merupakan cara penyelesaian masalah di dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip musyawarah alam Islam telah difirmankan Allah Ta’ala:”Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Ali Imran [3]: 159).
Dari ayat di atas ada beberapa prinsip musyawarah:
1. Lembut hati
Lembut hati merupakan prinsip pertama di dalam bermusyawarah, terutama untuk pemimpin musyawarah, atau orang yang mempunyai mental pemimpin. Rasulullah SAW bersabda:”Setiap kalian adalah pemimpin” (HR. Bukhary), sehingga kita harus memiliki mental pemimpin pula; yaitu lembut hati dalam berhadapan dengan masyarakat. Terutama sekali ketika bermusyawarah.
Lembut hati tidak semakna dengan tidak memegang prinsip, tidak tegas, pesimis atau rendah diri. Tetapi, lembut hati lebih bertumpu kepada menampilkan segala sesuatu dengan halus, seperti menampilkan ketegasan dengan bahasa yang lembut, mempertahankan prinsip dengan kehalusan dan sejenisnya.
2. Kelembutan hati merupakan rahmat Allah
Kesadaran ini sangat penting, yaitu kelembutan hati itu semata-mata merupakan rahmat Allah ta’ala kepada hamba-Nya; bukan karena kepiawaian seseorang dalam menata hatinya. Perasaan ini penting untuk kita tanamkan dalam diri kita karena:
Menghindarkan diri dari rasa sombong dan takabur
Menghadirkan kelembutan dengan cara yang disyari’atkan Islam
Segala hasilnya dapat kita kembalikan kepada Allah
3. Hindarkan sikap keras dan kasar hati
4. Memaafkan
5. Mendoakan ampun
6. Musyawarah
Ada beberapa prinsip musyawarah:
Musyawarah merupakan tempat tertinggi mengambil keputusan
Tidak ada musyawarah tandingan yang se-level
Habis-habisan dalam musyawarah
7. ‘Azzam ketika tercapai kesepakatan
8. Tawakkal terhadap keputusan bersama
Demikianlah upaya kita dalam hidup bermasyarakat dan ikut berperan-aktif di dalamnya. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepada kita untuk merealisasikannya. Amiin …
[Tim Kaderisasi]