Selasa, 30 Desember 2008

Di Bumi Pamijahan

Langit baru saja menumpahkan tangisannya. Menyisakan air mata yang bergelayut manja dipucuk dedaunan yang tersegarkan setelah terik yang membakar. Sore itu meninggalkan jejak rona berwarna-warni membentuk sebuah siluet pelangi yang berkilau mengagumkan.

Kesempatan langka seperti ini tak mungkin aku lewatkan begitu saja. Kesempatan seperti ini tak mungkin dapat dibeli dipasar manapun. Sore yang sejuk ini, telah mengukir kisahku selama 2 hari di Pamijahan, Kabupaten Bogor. Orang mungkin kurang mengenal pamijahan, namun ketika dijelaskan mengenai Gunung Salak dan Kawah Ratu yang dulu pernah menewaskan banyak pengunjuk karena pengaruh belerang yang kuat ini mungkin segera membentuk kedua belah bibirnya menjadi sebuah kata dengan kompak “ Ooo...”.

Sejak awal datang kesini dua hari yang lalu, aku juga kurang mengenal mengenai Pamijahan. Kalau saja Kasmanto tidak mengajakku membelah jalanan pedesaan Pamijahan memutari pegunungan yang sangat eksotik ini. Bahkan ketika awal aku datang, aku telah tertegun dengan deretan pegunungan yang saling berjajar membentuk dinding alam yang kokoh berlapis-lapis.

“Akh, antum sudah sampai mana, ane sudah diperempatan. Nanti antum setelah turun angutan, langsung kekanan saja”, sebuah sms yang mengawali perjalananku ke Pamijahan.

Sudah hampir setengah jam kususuri jalanan antara Parung-Bogor. Angkutan bercat hijau terus membelah jalanan yang tidak lagi mulus dan padat. Langit sore nampak mendung dan bisa jadi segera menumpahkan bebannya ke bumi. Nokia 3530ku bergetar dari balik jaket. Segera kuklihat layar yang tak lagi cerah.

“Baru nyampe komplek angkatan udara akh. Ya, nanti setelah turun angkut tak langsung kesitu”. Begitu balasanku pada Kasmanto. Seoragan sahabat ketika kuliah dulu.

Tak berapa lama, angkutan sudah mulai memasuki kawasan Cibubulak. Sampai diperempatan, aku memilih turun ketika terjadi kemacetan akibat lampu traficklight yang menyala merah.
Ketika kulihat Kasmanto yang sedang ngobrol santai dengan seseorang paruh baya, kuhampiri. Kusampaikan salam dan memeluknya.

“Dah lama?”

“Ndak, tadi pas SMS antum, gimana perjalanannya?nyaman?”

“Hehe...Cuma bentar aja kok. Motor baru antum?”, kuterima helm yang disodorkannya. Dan kulihat ia memakai sebuah motor yang masih kelihatan baru.

“Ndak, baru 3 bulan”

“Ya, baru dong! Eh, jauh nggak pondok antum?”

“ Tuh, dibalik bukit”. Aku mengikuti arah telunjuk yang dilayangkan kasmanto. Kulihat deretan pegunungan menghijau yang mulai tertutup awan gelap tanda segera turun hujan.

“Masya Allah, siap-siap nih naik gunung. Hehe...berapa jam ?”

“Kalau lancar sekitar 45 menit”

Sepanjang perjalanan aku lebih memilih melemparkan pandanganku ke seluruh penjuru yang masih bisa kugapai. Sesekali ku buka pertanyaan yang hanya dijawab singkat oleh kasmanto yang sedang menyetir didepan. Kami melewati daerah Darmaga, kemudian Kampus IPB, jalanan sudah mulai macet. Kata kasmanto hal ini sudah biasa, setiap pagi dan sore menjelang berangkat dan pulang. Kulihat kasmanto menyetir dengan luwes ketika melewati mobil-mobil yang terjebak macet. Hanya beberapa titik yang terjadi macet. Kebanyakan di daerah perempatan atau pertigaan.

Setelah hampir setengah jam, kami berbelok ke kiri menuju arah Pamijahan Gunung Salak. Aku tak begitu tahu daerah itu. Tapi ketika motor Beat yang kami tumpangi melaju dijalanan pedesaan, ada rasa yang muncul dan aku rindukan. Kampung halamanku.

“Kas, ini kok mirip sekali dengan desaku”

“Ya, makanya dulu pas main kerumah antum, ane juga merasakannya”

“Wahh...serasa pulang kampung nih”

Tak berapa lama kami sudah sampai di kontrakan kasmanto. Ku mengira dia masih tinggal di asrama pondok, rupanya sudah tinggal di tengah masyarakat dan membaur disana.

“ Mas Syahid mana?”, tanyaku sambil menarih tas rangsel yang sudah pegal kurasakan.

“Masih rapat di atas, paling nanti sampe rumah habis isya. Ane tak beli makan dulu buat buka”. Atas? Aku berpikir-pikir. Bener bener mirip sekali didesaku. Daerah pegunungan.

Setelah sholat Maghrib, berbuka puasa Arofah dan sholat Isya, aku tiduran sebentar. Rencana kasmanto mau mengajak jalan-jalan ke Pondok Pesenatrennya. Namun begitu kubangun, yang ada justru Mas Sahid.

“Lho, baru datang ?Kasmanto mana mas?”

“oh, tadi ke pondok untuk ngetik kupon persiapan Qurban besok pagi. Tadi mau mbangunkan antum, tapi antum kelihatan capek sekali jadi nggak tega mbengunkan. Istirahat dulu saja “. Malam itu akhirnya kuhabiskan untuk beristirahat dikamar kasmanto. Diiringi gema takbir anak-anak yang begitu ceria menyambut datangnya Hari Raya Idhul Adha besok pagi dengan bertabuhkan bedhuk yang bertalu-talu. Semoga mimpiku malam ini membawaku pada keindahan keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Amin.

Fajar belum nampak benar, gema takbir kini berganti gema adzan yang saling bersahutan.

“Asholaatu khoirum minnanauum....”

Segera ku bangkit dari tidur panjangku. Mengambil pencuci muka, sikat dan pasta gigi. Setelah disegarkan dengan wudhu, kami bersiap-siap ke masjid yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari rumah kontrakan.
Selesai subuhan, kami kembali ke kontrakan dan kembali terpekur dalam kekhusyukan tilawatil qur’an. Setelah selesai, kasmanto memanaskan air untuk minum pagi ini. Setelah itu tergeletak lagi karena mungkin akibat nglembur tadi malam. Pukul 05.30 kamiu kembali bangkit untuk bersiap sholat Ied.

“Sholatnya di Pondok saja sekalian tak kenalkan dengan beberapa teman ustad”. Aku Hanya menggangguk tanda menyetujuinya.
Setelah rapi dengan sarung dan baju batik, kami segera melaju ke arah Pondok yang terletak di Gunung Menyan itu. Mendengar kata menyan jadi penasaran juga. Kok bisa, apa dulu ada pohon menyan atau dipakai untuk acara-acara kesyirikan. Wallahu ‘alam.

Sampai digerbang Pondok, aku belum melihat adanya gedung-gedung. Baru setelah melewati perkebunan yang ditanami pohon pepaya, pohon singkong, dan sawah-sawah baru terlihat gedung-gedung asrama santri yang cukup megah juga. Kemudian motor melaju menaiki bukit dan menuruninya menuju masjid yang berada di tengah-tengah gedung madrasahnya. Sungguh sebuah tata letak pondok yang unik dan alami. Sebuah kemegahan yang berada ditengah-tengah kealamian alam.

Sampai disana, panitia baru merapikan tikar-tikar dihalaman masjid yang mungil yang hanya bisa menampung 100 jamaah saja. Kemudian kasmanto mengajak ke perpustakan, untuk melanjutkan mengetikkupon yang harus diserahkan pagi ini untuk pembagian daging kurban di daerah atas.

Sambil membaca-baca buku, kulihat kasmanto masih serius dengan komputer didepannya. Setelah selesai mengedit, dinyalakannya printer. Kemudian kami tinggal ketika jamaah sholat Ied sudah mulai membludak.

Ketika menunggu waktu sholat, kami mengobrol dengan beberapa ustad. Samapi sebuah mobil mewah datang dengan dikerumuni para pengelola yayasan, baru aku sadar bahwa dialah pemilik yayasan ini. Seorang yang telah berusia, namun tetap segar. Beliaulah yang mempunyai Hotel Sahid di Solo, Universitas Sahid, SMK Sahid, dan mungkin hampir semua yang berbau SAHID. Hehe....

Setelah selesai sholat, kami mendengarkan kutbah yang dibawakan oleh santri. Subhanallah...

Kemudian dilanjut ke lapangan untuk menyaksikan kambin-kambin dan sapi yang akan dipotong. Baru setelah itu kami pulang ke kontrakan untuk bersiap diri membantu penyembelihan di DPC.

Sampai dimasjid dekat DPC, aku diperkenalkan dengan ketua DPC Pamijahan. Pak Iwan Setiawan. Sosok pemuda pamijahan yang kental logat sundanya. Mau tidak mau aku pun harus bias menyesuaikan diri dengan daerah sini.

bersambung.....

1 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Di Tanggapi