Aku bisa saja terlelap, diatas lembaran karpet yang terhampar diruang depan "rumah" kita, menjemput mimpi-mimpi indah malam itu. Namun kau menggoyang pundakku, bangunkanku sebelum sempat kupetik bunga tidurku. Kau bersiap. Tanpa pikir panjang akupun bergegas. Sigap melangkah ke belakang, membasuh diri dengan wudhlu. Mengambil mushaf yang tergeletak diatas rak buku dipojok kamar kita, lalu memasukannya ke dalam tas cangklongku. Tak lupa sehelai sarung juga masuk kedalamnya.
Kau dan aku hanya melempar senyum saat seorang penghuni "rumah" melayangkan tanya. Satu jawaban untuk apa kami keluar menjelang dini hari, lengkap dengan perlengkapan yang ada.
Aku duduk dibelakangmu, memegang pundak. Tatapanmu tak lepas dari jengkal-jengkal jalan yang tersorot lampu, menggenggamkan tanganmu pada stang kanan, sesekali memutarnya pelan. Menambah laju roda makin cepat. Sementara ruji-ruji roda berputar cepat membiaskan kilat sinar lampu merkury yang menerpa. Melaju di atas aspal hitam yang tertanam halus diatas jalanan kota.
Diatas sana, langit tanpa rembulan. Bahkan gemintang pun tak nampak. Hanya gelap awan yang berarak digiring angin ke arah utara. Namun ada satu bintang yang tersenyum riang, terlepas dari gangguan awan kelam yang membayang. Memandang kita dari ujung langit barat. Bahkan sampai laju roda terhenti di pelataran Masjid, bintang itu tak juga berhenti menatap.
Sepi. Empat buah lampu berusaha terjaga. Menempel kokoh di setiap pojok langit-langit Masjid. Kau membuka pintu kupu-kupu itu. Aku menyusul dibelakangmu. Berdiri tak berjauhan menghadap kiblat. Mengangkat tangan untuk takbir, berlanjut berurutan hingga salam. Terdiam sejenak dalam dudukmu. Khusyuk pada dzikirmu. Mengusap seraut wajahmu.
"Kita terlalu sering terlambat", tak perlu mencerna terlalu lama untuk menangkap makna dari ucapanmu. Aku sendiri malu. Begitu pula dirimu. Maka, malam itu kau mengajakku Mabit di Masjid yang dekat dengan tempat pertemuan pekanan kita menjelang subuh itu.
Bukan karena khawatir pada hukuman push up ditempat,
Bukan pula karena "jeweran" yang keluar dari bibir Bos kita setiap kita datang selepas Subuh. Pada setiap pertemuan akhir pekan.
Karena kata "Terlambat" menjadi satu kata yang sangat memalukan jika kita mengalaminya. Malu pada diri kita sendiri. Malu, bahwa aku terlalu terlambat untuk menyadari bahwa begitu berartinya dirimu dalam satu kisah kehidupanku. Dan aku selalu terlambat mengejar langkah-langkah kebaikanmu..
Aku tak pernah tahu, jika akhir pekan itu menjadi pertemuan terakhir untuk kebersamaan ini. Kebersamaan yang tercipta hampir lima tahun. Bukan waktu yang singkat. Juga bukan waktu yang teramat lama.
Pada akhirnya, kita mengambil jalan takdir masing-masing. Melangkah dengan rute yang berbeda. Namun pada tujuan yang sama. Inilah satu kisah kita. Karena setiap orang mempunyai kisahnya masing-masing, punya jalan ceritanya sendiri-sendiri, namun terkadang ada satu titik dimana jalan-jalan itu bertemu dalam beberapa persimpangan, seperti aku denganmu.
"Barokallahulaka ya Akhi"
1 komentar:
postingnya bagus dan menarik semoga bermanfaat.
suplemen pelangsing badan
Posting Komentar
Silahkan Di Tanggapi