Kamis, 29 Juli 2010

Kembali Menata Mimpi

Diatas sana siang telah beranjak dari singgasana langit, berganti Ashar yang kini bertahta dengan begitu terik. Tampak keangkuhan pada gedung-gedung tingi yang hendak merebut kekuasaannya. Mencoba mencakar, namun tak punya daya. Sedang dibawah sana, kuda-kuda besi dan bebek-bebek jalanan dengan kasar mengusur gerombolan oksigen yang tertindas oleh polusi, entah akan tinggal dimana lagi mereka sementara tak ada tempat lapang untuk sejenak menetap.

Dan aku masih disini, hampir dua bulan menanti. Berdiri pada tepian takdir yang tak jua ku dapati. Menjadi satu diantara sekian banyak jiwa yang meratap pada gencarnya intimidasi dan rongrongan mafia bernama gurita kehidupan. Setiap tentakel-tentakelnya menjerat dan membelit kuat tanpa ampun. Sesak,hampir terkapar. Namun rupanya masih ada celah untukku melepaskan diri sesaat.

Disini, di Taman Syurga Duniawi. Sebuah bangunan mungil berlembarkan permaidani-permaidani indah. Saat senyum-senyum merekah yang mengusir rasa gundah. Saat salam-salam menentramkan jiwa yang tertawan. Saat rengkuhan-rengkuhan erat dalam dekapan ukhuwah. Dan lingkaran-lingkaran yang barokah dalam naungan sayap-sayap malaikat yang hadir dalam majelis dzikir.

Aku bisa bernafas. Lega. Seakan mafia bernama gurita kehidupan tak lagi mengekang, bukan apa-apa. Dan aku ada disini, duduk-duduk sila merapat penuh dalam hangat. Seakan waktu tak berani pergi mengejar setiap detik yang selalu berlari. Walau selangkah.

Satu sosok diam mematung menatap setiap jiwa lewat kedua mata elangnya. Siapapun pasti kan menunduk tak berani menerima tatapan dari wajah teduh itu. Merasa rendah. Itulah yang mungkin ku rasakan saat ini. Entah kenapa. Bukan pada pakaian yang dikenakannya, karena sungguh amat sederhana. Bukan pula pada penutup kepala warna putih bersih yang biasa dipakai sebagai simbol agama di luar sana. Bukan pada rambut-rambut halus yang menggantung lurus di dagunya, bukan pula pada garis-garis hitam yang menghiasi bola matanya. Tapi karena apa yang terpancar dari dalam hatinya. Malu, terus terang hati ini berbisik.

Dialah Sang Murrobi. Yang menyematkan setiap mimpi tatkala pertemuan sepekan sekali. Menentramkan setiap hati yang bergejolak setelah sepekan berada dalam dunia yang galak menyalak. Meneguhkan batin-batin yang setelah sepekan tergerus melawan arus.

“Jika kau tak bersama rombongan mereka, maka akan bersama rombongan yang mana dirimu berada..?”,

“Bukan mereka yang membutuhkan kita, tapi kita yang membutuhkan berada dalam lingkaran mereka”,

Kalimat-kalimat itu berloncatan keluar dari laci-laci memori yang tersusun rapi. Delapan tahun telah berlalu. Dan disinilah aku. Kembali berada dalam barisan mereka. Dari barisan yang satu ke barisan yang lain. Dari satu Murrobi ke Murrobi yang lain.

“ Istiqomah itu butuh energi ilmu, ikhlas dan kesabaran “, dan disini kembali aku berdiri.

3 komentar:

masa-masa transisi memang selalu sensitif dan membingungkan ...
makanya segera urus mutasi
ato segera setor biodata diri

Ustadz Hatta : Insya Allah Tadz...

Posting Komentar

Silahkan Di Tanggapi