Rabu, 01 Desember 2010

Aku : Di Ujung Hari

Aku berdiri di semenanjung harapan yang teronggok masygul. Deretan panjang cakar-cakar daratan menancap dalam tubuh laut yang beriak ombak. Angin darat punya kuasa disini, ia menjadi raja saat senja mulai tiba. Mengembangkan layar-layar lusuh selusuh kain yang melekat di tubuh kurus lelaki-lelaki penghuni pantai, membungkus tubuh dengan kulit coklat gosongnya.

Langkah ini telah sampai di ujung daratan. Namun perjalanan ini, belumlah usai. Mimpi-mimpi itu masih berlanjut, mengurai kusut jalinan jejak yang tertempuh pada kesadaran dari ilusi panjang. Matahari takkan pernah mati, sepanjang janji pada Tuhannya masih terpatri untuk selalu menemani bumi.

Tanpa terasa, langkah ini menyeretku jauh dari pusaran cinta sang Penguasa. Bagai buih-buih yang terombang-ambing di tepi pantai, menabrak pasir-pasir kemudian menguap menghilang. Lenyap. Dalam samudera yang luas terbentang, rasanya : tidak ada lagi gemercik embun penyegar jiwa, membasahi hati sepanjang masa-masa yang telah ku jejaki kini. Haus, di antara gelombang-gelombang lembut membelai pasir-pasir pantai. 

Masa ketundukan itu mulai senyap, berlalu seperti hembusan angin di padang gersang, membawa tiap tetes terakhirnya menuju ketiadaan. Hampa.

Diatas sana, senyum rembulan mulai nampak. Mengintip dari balik rona-rona warna kelabu bayangan senja. Membias pada riak-riak ombak memecah pantai. Dan aku masih di sini, berdiri menatap bayang diri. Menata ruang-ruang memori yang tersusun rapi di lokus-lokus otakku. Bertanya di kedalaman dasar hati, tentang arti perjalanan selama ini.  

Apakah aku telah mengukir cinta-Nya dalam hatiku dan menjadikannya monumen yang mengekal dalam singgasana hatiku?
Apakah aku telah menanam syariat-Nya dalam tiap lahan perjalananku dan menumbuhkannya menjadi hamparan hijau ketaatan tanpa satupun hama dosa sanggup hinggap merugikannya?
Apakah aku telah mendapatkan semua yang aku inginkan melalui do’a-do’a dan menjadikannya sebuah keberuntungan yang terwujud tanpa satupun meleset dari perkiraan hingga tak ada lagi kekhawatiran antara aku dengan Tuhanku?

Sungguh : konspirasi makhluk dan hawa nafsu telah menjadikannya pembantah yang nyata, mengikuti keinginan melebihi kebutuhan, memasuki dimensi keterbebasan dalam syariat yang menuntut pertanggungjawaban..

Akal licikkah ini? sebuah trik berbelok dari jalan yang lurus untuk sebuah rihlah jiwa dalam lembah ketidaktaatan… 
Memalukan…
Kepalsuan besar dibungkus kemasan paling elegan, drama topeng diatas panggung sandiwara melakonkan kisah kemalasan dan kesia-siaan dan berharap happy ending..

Realitas semu di altar kepalsuan para penyembah hawa nafsu, tak lebih sebuah onggokan daging busuk menunggu dilempar ke mulut serigala. Ketercapaian seperti prestasi di puncak tertinggi, berbangga diri membusung dada sepanjang arena, syukur lisannya telah melegitimasi keberhasilannya adalah karena usahanya, bukan karena kehendak-Nya.


Padahal disana… 
Didalamya.. 
Diantara nafsu yang membelit : ada jiwa yang kering sedang meronta butuh air, gemertak kegersangannya mengepulkan hawa panas, terasa berdenyut tak henti sampai ke ubun-ubun. Hati yang hitam legam karena kemaksiatan, tak lagi mampu menerima cahaya kebenaran meski kepala mengangguk-angguk seribu kali…

Naif!

Jiwa itu memenjarakan dirinya dalam rutinitas yang makin kering, keindahannya hanya ada ketika fajar dan lenyap bersama naiknya sang mentari ke penggalan hari. Langkahnya gontai disapu angin sepi, diperjalanan kemarau paling terik, menuju sebuah titik lontar : langsung ke neraka….

Astaghfirullahal’adhim…

Bahkan seribu cermin tak kan mampu membuka aib diri, gajah dipelupuk matapun tak akan pernah tampak ….

Rabb… tak ada dariku keterlepasan pada kebutuhan akan cinta-Mu, seperti mahluk daratan butuh udara untuk bernafas, MUTLAK!

Alangkah indahnya hari ketika rajutan cinta itu bergelayut memanjang dan makin rapat, tak satupun celah memungkinkan untuk berlalunya detik tanpa cinta-Mu, karena Engkau adalah segala-galanya yang menjalinkan cinta dalam pergerakan semesta. 

Tapi mengapa seribu hujan tergores di lembar kehidupan berlalu begitu saja… 
: dan aku masih kekeringan…

Rabb… aku ingin hujan itu membuatku terbangun dari keterlenaan ini…
Menyegarkanku, menghidupkan kembali hati yang mati…
Memekarkan bunga-bunga kehidupan berwarna-warni, yang harumnya menyeruakkan wangi. 

Bersama kupu-kupu ku akan sanggup meneruskan jalan takdir yang masih harus di lakoni. Karena-Mu... sungguh karena-Mu...!!

1 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Di Tanggapi