STABILISASI
NEONATUS PASCA TINDAKAN RESUSITASI LAHIR
PENDAHULUAN
Pada masa transisi dari janin ke
neonatus beberapa bayi membutuhkan intervensi dan resusitasi. Kira-kira 10%
bayi baru lahir memerlukan bantuan untuk memulai pernafasan saat lahir dan
kurang lebih 1% memerlukan resusitasi yang ekstensif (lengkap) untuk
kelangsungan hidupnya. Sebaliknya sekitar 90% bayi baru lahir mengalami
transisi dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin tanpa masalah.1-6
Wall, dkk.,7 menyatakan bahwa dari sekitar 130–136 juta kelahiran di
dunia, diperkirakan sekitar 5–10% kelahiran memerlukan intervensi saat lahir
berupa stimulasi taktil atau pembersihan jalan nafas, sekitar 3–6% memerlukan
langkah awal dan bantuan ventilasi, dan sekitar 1% membutuhkan resusitasi
lanjut berupa intubasi, kompresi dada, dan obat-obatan.
Menurut World Health
Organization (WHO) asfiksia perinatal merupakan masalah yang menyebabkan
tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas pada neonatus, diperkirakan
insidensinya sekitar 4–9 juta kasus dari 130 juta kelahiran. Angka kematian
bayi di Indonesia saat ini adalah sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga
dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah kelahiran, dan 80%
diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan penyebab utama kematian
diantaranya adalah gangguan
pernafasan akut dan komplikasi perinatal.
Dengan dilakukannya resusitasi neonatus dan perawatan pasca resusitasi oleh
dokter dan tenaga kesehatan profesional diharapkan dapat membantu usaha
pencapaian tujuan keempat dari Millenium
Development Goals 2015, yaitu menurunkan angka kematian anak.8-11
Dari suatu studi di Swedia yang meneliti proses kelahiran
selama periode 16 tahun, terdapat sebanyak 177 kasus neonatus yang mengalami
asfiksia perinatal berat. Semua neonatus tersebut (100%) ditransfer ke NICU, sebanyak
48 (38%) neonatus yang lahir di rumah sakit tanpa fasilitas ventilator,
ditransfer ke RS yang terdapat ventilator segera setelah lahir. Sejumlah 32
(18%) kasus meninggal, dan sebanyak 16
(9%) kasus meninggal pada saat perawatan.12 Menurut Portman, dkk.,
dari 98 neonatus yang ditransfer ke unit spesialis setelah resusitasi, 61%
membutuhkan bantuan ventilasi, 45% mengalami disfungsi renal, 27% mengalami
fungsi hati yang abnormal, dan 53% mengalami tekanan darah yang rendah.7
Bayi yang membutuhkan resusitasi saat lahir memiliki risiko
untuk mengalami perburukan kembali walaupun telah tercapai tanda vital yang
normal. Ketika ventilasi dan sirkulasi yang adekuat telah tercapai, bayi harus
dipantau atau ditransfer ke tempat yang dapat dilakukan monitoring penuh dan
dapat dilakukan tindakan antisipasi, untuk mendapatkan pencegahan hipotermia, monitoring
yang ketat dan pemeliharaan fungsi sistemik dan serebral.6,13 Selama
transportasi, neonatus yang sakit kritis tersebut sangat rentan terkena
rangsang yang berbahaya, seperti suara, goncangan, dan ketidakstabilan
temperatur, dimana semua hal tersebut dapat menambah ketidakstabilan neonatus
yang sedang berusaha mempertahankan homeostasis tubuhnya.14
Penelitian telah menunjukkan bahwa transportasi ekstra uterin
berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas.14-16
Faktor-faktor yang menentukan morbiditas dan mortalitas diantaranya asidosis,
karbondioksida, tekanan darah, glukosa, dan suhu. Selama proses tranportasi
neonatus, seluruh faktor tersebut sedapatnya harus dijaga dalam batas normal
agar dapat meminimalisasi efek samping. Hingga saat ini, mengingat keterbatasan
sumber daya manusia dan peralatan, maka proses transportasi neonatus masih
merupakan tantangan.14 Pada referat ini akan dibahas mengenai
batasan, patofisiologi, dan langkah stabilisasi neonatus pasca resusitasi lahir.
BATASAN
Resusitasi secara harfiah adalah pengembalian kembali ke kehidupan.
Resusitasi neonatus adalah usaha untuk mengakhiri asfiksia dengan memberikan
oksigenasi yang adekuat.17 Sedangkan menurut Lee, dkk., resusitasi
neonatus adalah serangkaian intervensi saat kelahiran untuk mengadakan usaha
nafas dan sirkulasi yang adekuat.18
Menurut ILCOR dan AAP, untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan
resusitasi pada bayi baru lahir diantaranya adalah dengan menjawab empat
pertanyaan berikut: Apakah bayi bernafas? Apakah bayi cukup bulan? Apakah air
ketuban jernih? Apakah tonus otot baik? Apabila terdapat jawaban tidak pada
salah satu pertanyaan di atas, maka dipertimbangkan dilakukan resusitasi.2,3,8
Stabilisasi adalah mengidentifikasi faktor-faktor, yang apabila tidak
dikoreksi akan memperburuk keadaan dari neonatus pasca resusitasi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi stabilisasi tersebut diantaranya:19
-
Pemeliharaan
ventilasi dan oksigenasi
-
Koreksi
gangguan asam basa
-
Menangani
kebocoran udara di paru
-
Pemantauan
kardiovaskuler
-
Pemantauan
suhu
-
Pemantauan
metabolik
Pemeriksaan dan koreksi yang tepat dari faktor-faktor yang mempengaruhi
stabilisasi tersebut akan mengurangi masalah yang lebih serius selama
proses transportasi.19
PATOFISIOLOGI
Interupsi dari aliran darah plasenta saat persalinan, dapat mempengaruhi
fungsi serebral dan sistemik, khususnya apabila terjadi dalam jangka waktu yang
lama. Hipoksia akut tersebut menyebabkan terjadinya ensefalopati neonatal,
biasanya tidak hanya melibatkan kerusakan otak tapi juga organ lain, seperti
gagal ginjal, jantung, hepar, komplikasi saluran respiratorik, acute bowel injury, dan kelainan
hematologis. Oleh karena itu, penanganan pasca resusitasi harus terpusat pada
penanganan disfungsi organ sistemik dan pencegahan kerusakan otak
berkelanjutan.20-21
Asfiksia terjadi apabila terdapat kegagalan pertukaran gas di organ.
Terdapat lima hal yang menyebabkan terjadinya asfiksia pada saat persalinan:22
1.
Interupsi
aliran darah umbilikus
2.
Kegagalan
pertukaran darah melalui plasenta (misalnya solutio plasenta)
3.
Perfusi
plasenta sisi maternal yang inadekuat (misalnya hipotensi maternal yang berat)
4.
Kondisi
janin yang tidak dapat mentoleransi hipoksia intermiten dan transien yang
terjadi pada persalinan normal (misalnya pada janin yang anemia atau IUGR).
5.
Gagal
mengembangkan paru dan memulai ventilasi dan perfusi paru yang seharusnya
terjadi saat proses kelahiran.
Respon adaptif terhadap interupsi aliran darah plasenta adalah
pemeliharaan perfusi darah ke otak, jantung dan adrenal. Ketika interupsi
aliran darah plasenta berlangsung lama, mekanisme kompensasi tersebut tidak
terjadi sehingga terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah, yang
menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan organ sistemik, sehingga terjadi
cedera iskemik.20,21,23
Pada tingkat seluler, konsekuensi dari terjadinya penurunan aliran
oksigen adalah terjadinya glikolisis anaerob, penurunan senyawa fosfat yang
berenergi tinggi (misalnya ATP dan fosfokreatin), asidosis intraseluler, dan
akumulasi natrium dan kalsium di intraseluler. Konsekuensi yang kedua adalah terbentuknya
radikal bebas, peningkatan glutamat ekstraseluler, akumulasi kalsium
intraseluler, dan diproduksinya nitrit oksida, yang menyebabkan kematian
mitokondria sel (Gambar 1). 20,21,23
Gambar 1. Mekanisme seluler
pada cedera otak akibat hipoksia-iskemik
Sumber: Haider, 200620
LANGKAH-LANGKAH STABILISASI
PASCA RESUSITASI
Penanganan pasca resusitasi pada neonatus yang mengalami
asfiksia perinatal sangat kompleks dan membutuhkan monitoring yang ketat dan
tindakan antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko mengalami disfungsi
multiorgan dan perubahan dalam kemampuan mempertahankan homeostasis fisiologis.
Deteksi dan intervensi dini terhadap gangguan fungsi organ sangat mempengaruhi
keluaran dan harus dilakukan di ruang perawatan intensif untuk mendapatkan
perawatan dukungan, monitoring, dan evaluasi diagnostik yang lebih lanjut.5,12,24
Prinsip umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus
diantaranya melanjutkan dukungan kardiorespiratorik, koreksi hipoglikemia,
asidosis metabolik, abnormalitas elektrolit, serta penanganan hipotensi.12,25
Dalam melaksanakan stabilisasi pasca resusitasi neonatus terdapat acuan dalam
melakukan pemeriksaan dan stabilisasi, yaitu S.T.A.B.L.E, yang terdiri dari:
S-SUGAR
Adalah langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus. Hipoglikemia
adalah keadaan dimana kadar glukosa darah tidak dapat mencukupi kebutuhan
tubuh. Hipoglikemia berhubungan dengan keluaran neurologis yang buruk.
Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa kejadian hipoglikemik yang bersamaan
dengan hipoksik-iskemik menunjukkan daerah infark yang lebih besar dan
menunjukkan angka keselamatan yang lebih rendah. Pada neonatus kadar glukosa
darah harus dipertahankan pada kadar 50-110 mg/dl.26,27
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk stabilisasi gula darah neonatus
adalah:5,27,28
1. Tidak memberikan makanan perenteral.
Kebanyakan neonatus yang perlu ditransportasi
terlalu sakit untuk mentoleransi makanan peroral. Pada bayi sakit, sebaiknya
menunda pemberian makanan peroral karena bayi yang sakit seringkali mengalami
distres pernafasan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya aspirasi isi
lambung ke paru. Selain itu ketika bayi mengalami distres pernafasan mereka
memiliki koordinasi menghisap, menelan dan bernafas yang buruk. Pada keadaan
tertentu, misalnya infeksi dapat memperlambat pengosongan isi lambung karena
ileus intestinal. Isi gaster dapat mengalami refluks ke esofagus dan
teraspirasi ke paru. Pada bayi yang mengalami asfiksia, kadar oksigen dan
tekanan darah yang rendah, sehingga aliran darah ke usus menurun sehingga
meningkatkan risiko terjadinya jejas iskemik.
2. Memberikan glukosa melalui jalur intravena.
Memberikan
kebutuhan energi bagi bayi yang sakit melalui cairan intravena yang mengandung
glukosa merupakan komponen penting dalam stabilisasi bayi, karena otak bayi
memerlukan suplai glukosa yang cukup untuk berfungsi dengan normal. Cairan yang
mengandung glukosa harus segera diberikan melalui jalur intravena kepada bayi
sakit. Jalur intravena dapat diberikan di tangan, kaki atau kulit kepala.
Apabila jalur perifer sulit didapatkan maka dapat digunakan jalur vena
umbilikal untuk pemberian cairan dan obat-obatan.
3. Beberapa neonatus berisiko tinggi mengalami
hipoglikemia.
Bayi
yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia diantaranya adalah:
-
Bayi
prematur (usia kehamilan <37 minggu)
-
Bayi
kecil untuk masa kehamilan, berat badan lahir rendah, dan IUGR
-
Bayi
besar untuk masa kehamilan
-
Bayi
dari ibu dengan diabetes mellitus
-
Bayi
yang sakit
-
Bayi
dari ibu yang mendapat obat hipoglikemik atau diinfus glukosa saat persalinan.
Pemeriksaan gula darah diindikasikan dilakukan saat usia 30
menit pada bayi dengan distres pernafasan, sepsis atau tidak dapat minum. Kemudian
pemeriksaan gula darah dilanjutkan tiap satu jam. Pada bayi dengan faktor
risiko yang asimtomatik dan dapat minum, pemeriksaan gula darah dilakukan pada
usia 2 jam.5
Tanda bayi mengalami hipoglikemia diantaranya jitteriness, tremor, hipotermia, letargis, lemas, hipotonia, apnea
atau takipnea, sianosis, malas menetek, muntah, menangis lemah atau high pitched, kejang bahkan henti
jantung.5,27
T- TEMPERATURE
Hipotermia merupakan kondisi yang dapat dicegah dan sangat mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas, khususnya pada bayi prematur. Maka, usaha untuk
mempertahankan suhu normal bayi dan pencegahan hipotermia selama stabilisasi
sangatlah penting.27,29
Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah:27
1. Bayi prematur, berat badan rendah (khususnya
berat badan kurang dari 1500 gram).
2. Bayi kecil untuk masa kehamilan
3. Bayi yang mengalami resusitasi yang lama
4. Bayi yang sakit berat dengan masalah infeksi,
jantung, neurologis, endokrin dan bedah.
5. Bayi yang hipotonik akibat sedatif, analgesik,
atau anestesi.
Konsep utama dalam pencegahan hipotermi pada bayi pasca resusitasi adalah
sebagai berikut: 27
1. Pemeliharaan suhu badan normal harus
diprioritaskan baik pada bayi sakit maupun sehat.
Untuk
bayi sehat dapat dilakukan dengan menggunakan selimut hangat, menjauhkan kain
basah, meletakkan anak di dada ibu (skin
to skin contact), menggunakan topi dan pakaian. Pada bayi sakit biasanya
bayi tidak menggunakan pakaian dan diletakkan di atas radiant warmer untuk memudahkan observasi dan tindakan. Selama
resusitasi dan stabilisasi, risiko terjadinya stres dingin dan hipotermia
sangat meningkat, sehingga usaha pencegahan hipotermia harus ditingkatkan.
2. Bayi prematur dan berat badan rendah sangat
rentan mengalami hipotermia.
Bayi
masih memiliki kesulitan dalam mengatur keseimbangan antara produksi dan
kehilangan panas, terutama pada bayi prematur dan bayi kecil masa kehamilan.
Hal ini disebabkan karena perbandingan antara luas permukaan dan massa tubuh
yang lebih besar, kulit imatur yang lebih tipis, dan lemak coklat yang lebih
sedikit. Masalah ini lebih berisiko pada bayi dengan berat <1500 gram.
Apabila kehilangan panas tidak dicegah, maka suhu tubuh akan menurun dengan
sangat cepat.
3. Bayi yang dilakukan resusitasi lama berisiko
tinggi mengalami hipotermia.
Pada neonatus proses kehilangan panas dapat melalui beberapa
mekanisme, antara lain:5,27,29,31
1.
Konduksi
Konduksi adalah proses kehilangan panas melalui kontak benda padat.
Misalnya kontak antara tubuh bayi dengan alas atau timbangan. Untuk mengurangi
risiko kehilangan panas secara konduksi dapat dilakukan dengan cara
menghangatkan alat-alat yang akan bersentuhan dengan bayi, misalnya alas,
stetoskop, handuk, tangan pemeriksa.
2.
Konveksi
Konveksi adalah proses kehilangan panas melalui kontak dengan aliran
udara, misalnya aliran udara dari jendela, pintu, kipas angin, AC. Untuk
mengurangi kehilangan panas secara konveksi dapat dilakukan dengan cara
menaikkan suhu ruangan menjadi 25-280C (rekomendasi WHO), melapisi
tubuh bayi prematur (berat <1500 gram) dengan plastik polietilen dari dagu
hingga kaki, serta mentransfer bayi dengan menggunakan inkubator tertutup yang
telah dihangatkan terlebih dahulu.
3.
Evaporasi
Evaporasi adalah proses kehilangan panas melalui penguapan. Standar
internasional merekomendasikan untuk segera mengeringkan bayi dengan handuk
hangat setelah lahir untuk mengurangi kehilangan panas secara evaporasi, lapisi
permukaan tubuh bayi prematur dengan plastik polietilen untuk mencegah
kehilangan panas secara evaporasi dan konveksi, hangatkan suhu ruangan dan
kurangi adanya turbulensi udara yang melewati bayi.
4.
Radiasi
Radiasi adalah proses kehilangan panas antara dua benda padat yang tidak
bersentuhan. Proses kehilangan panas melalui radiasi dapat dikurangi dengan
cara mempertahankan kehangatan suhu ruangan dan menjauhkan bayi dari jendela
terbuka, atau dengan meletakkan bayi di dalam inkubator.
Stres dingin yang berkepanjangan menyebabkan meningkatnya
konsumsi oksigen dan penggunaan glukosa yang abnormal, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya hipoglikemia, hipoksemia dan asidosis. 28,32,33
Pada bayi yang mengalami hipotermia, bayi harus dihangatkan
sambil memonitor ketat tanda vital, kesadaran, dan status asam basa. Kecepatan
dalam menghangatkan suhu tubuh harus diatur sesuai dengan stabilitas dan
toleransi bayi.27
A-AIRWAY
Sebagian besar masalah neonatus yang ditransfer dari NICU
adalah distres pernafasan. Pada keadaan tertentu, gagal nafas dapat dicegah
dengan memberikan dukungan respiratorik sesuai dengan kebutuhan bayi, misalnya
pemberian oksigen melalui nasal kanul, ventilasi tekanan positif, intubasi
endotrakeal, sampai bantuan ventilator.27
Evaluasi kondisi bayi sesering mungkin dan catat hasil
observasi. Pada beberapa keadaan membutuhkan penilaian ulang tiap beberapa
menit, sedangkan pada keadaan yang lebih ringan dapat dinilai ulang tiap 1–3
jam. Hal yang harus dievaluasi dan dicatat:5,27
1.
Laju nafas
Nilai normal laju nafas neonatus adalah 40–60 kali/menit. Laju nafas
>60 kali/menit (takipnea) dapat disebabkan karena berbagai hal, dapat
berhubungan dengan kelainan di saluran respiratorik atau dari tempat lain. Laju
nafas <40 kali/menit dapat menandakan bahwa bayi mulai kelelahan, atau sekunder
karena cedera otak (hipoksik iskemik-ensefalopati, edema otak atau perdarahan
intrakranial), obat-obatan (opioid), atau syok.
2.
Usaha nafas
Selain takipnea, tanda distres pernafasan lain diantaranya:
a.
Retraksi, dapat dilihat didaerah suprasternal, substernal, interkostal,
subkostal.
b.
Grunting,
pernafasan cuping hidung
c.
Apnea,
nafas megap-megap, atau periodic
breathing.
3.
Kebutuhan oksigen
Apabila bayi mengalami sianosis di udara ruangan dan distres pernafasan ringan
atau sedang, maka oksigen diberikan melalui hidung. Pada keadaan bayi mengalami
distres pernafasan berat, dapat diberikan tindakan yang lebih agresif seperti Continous Positive Airway Pressure
(CPAP), atau intubasi endotrakeal.
4.
Saturasi oksigen
Saturasi oksigen harus dipertahankan
agar di atas 90 %.
5.
Analisis gas darah
Evaluasi dan interpretasi gas darah penting untuk menilai derajat distres
pernafasan yang dialami oleh bayi.
Dalam menentukan derajat distres pernafasan, penting untuk
menilai laju pernafasan, usaha nafas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen,
rontgen dada dan analisis gas darah. Berikut merupakan penilaian derajat
distres pernafasan pada neonatus: 27
a.
Ringan: nafas cepat tanpa membutuhkan oksigen tambahan, tanpa atau terdapat
tanda distres minimal.
b.
Sedang: sianotik pada suhu kamar,
terdapat tanda distres pernafasan dan analisis gas darah yang abnormal.
c.
Berat: sianosis sentral, berusaha kuat untuk bernafas, dan analisis gas
darah yang abnormal.
Progresivitas distres pernafasan dari ringan, sedang menjadi
berat dapat terjadi dengan cepat, oleh karena itu pemantauan yang kontinyu
dibutuhkan sehingga penyediaan bantuan nafas dapat segera diberikan.27
B- Blood pressure
Curah jantung yang mencukupi diperlukan untuk mempertahankan
sirkulasi. Cara yang terbaik untuk mempertahankan sirkulasi adalah dengan
memberikan cairan dan elektrolit yang adekuat.5,27 Pada bayi sakit
berat harus dipantau tanda-tanda syok. Syok adalah keadaan dimana terjadi
perfusi dan pengiriman oksigen ke organ vital yang inadekuat atau suatu keadaan
yang kompleks dari disfungsi sirkulasi yang berakibat terganggunya suplai
oksigen dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan dalam mengenali
dan menangani syok dapat berakibat gagal organ multipel dan kematian pada bayi,
oleh karena itu penanganan syok harus dilakukan secara agresif.27
Bayi yang mengalami syok dapat memiliki tanda-tanda berikut
ini: 5,27,28
1.
Usaha nafas
Takipnea, retraksi, pernafasan cuping hidung, grunting, apnea, gasping.
2.
Nadi
Pada keadaan syok denyut nadi dapat melemah atau tidak teraba.
3.
Perfusi perifer
Perfusi yang buruk akibat vasokonstriksi dan menurunnya curah jantung
memanjangnya waktu pengisian kapiler (>3 detik), mottling dan kulit teraba dingin. Tanda perfusi yang adekuat
diantaranya adalah waktu pengisian kapiler yang cepat, warna tidak sianosis
atau pucat, denyut nadi yang kuat, output urin yang adekuat dan kesadaran yang
baik.
4.
Warna
Kulit bayi tampak sianosis atau pucat. Oksigenasi dan saturasi harus
dievaluasi secara berkala. Pemeriksaan gas darah juga dapat dilakukan untuk
mengetahui adanya asidosis respiratorik atau metabolik.
5.
Frekuensi jantung
Frekuensi jantung normal adalah 120–160 kali/menit, namun dapat bervariasi
sekitar 80–200 kali/menit tergantung dari aktivitas bayi. Pada keadaan syok,
denyut jantung dapat berupa bradikardia (<100 kali/menit) yang disertai
dengan adanya tanda perfusi yang buruk, atau takikardia (>180 kali/menit).
6.
Jantung
Evaluasi adanya murmur dan pembesaran jantung pada rontgen dada.
7.
Tekanan darah
Tekanan darah saat syok dapat normal atau hipotensi. Hipotensi merupakan
tanda terakhir dari dekompensasi jantung. Hal lain yang harus dievaluasi adalah
tekanan nadi. Nilai normal tekanan nadi pada
bayi cukup bulan adalah 25–30 mmHg, sedangkan pada bayi kurang bulan nilai
normalnya adalah 15–25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit menunjukkan
vasokonstriksi, gagal jantung atau curah jantung yang rendah. Sedangkan tekanan
nadi yang lebar dapat terjadi pada duktus arteriosus persisten atau malformasi
arterivena.27
L-Laboratory
studies
Pemantauan elektrolit direkomendasikan pada neonatus yang
mengalami kejang atau usia >24 jam dan dalam keadaan tidak bugar. Elektrolit
yang harus diperiksa adalah kadar natrium, kalium dan kalsium. Selain itu perlu
dilakukan juga pemeriksaan tanda infeksi, karena sistem imun neonatus masih
imatur dan berisiko tinggi untuk mengalami infeksi. Tanda klinis sepsis
diantaranya distres pernafasan, perfusi kulit yang abnormal, suhu yang tidak
stabil, denyut jantung dan tekanan darah yang abnormal, serta intolerasi
terhadap minum. Apabila dicurigai adanya sepsis berdasarkan klinis dan riwayat
maternal, harus dilakukan pemeriksaan kultur darah dan darah lengkap bila
memungkinkan. Pemberian antibiotik intravena tidak boleh ditunda apabila
pemeriksaan kultur darah tidak dapat dilakukan. Pada bayi yang sakit berat atau
pada saat sebelum transportasi, antibiotik harus diberikan sampai kemungkinan
infeksi sudah tersingkirkan.10,27,28,34
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan: 27
1.
Sebelum transportasi
Pemeriksaan berikut (4-B) harus dilakukan sebelum dilakukan
transportasi:
-
Blood count (pemeriksaan darah rutin)
-
Blood culture (kultur darah)
-
Blood glucose (kadar glukosa darah)
-
Blood gas (analisis gas darah)
2.
Setelah transportasi
Pemeriksaan laboratorium setelah
transportasi tergantung dari riwayat, faktor risiko, dan gejala klinis dari
bayi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan C-reactive protein (CRP), elektrolit
(natrium, kalium, kalsium), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT,
SGPT, bilirubin, pT, aPTT, fibrinogen, D-dimer).27,28
E- Emotional support
Keluarga dari bayi yang mengalami krisis biasanya akan
mengalami rasa bersalah, marah, tidak percaya, merasa gagal, tidak berdaya,
takut dan depresi.27,35 Orang tua dari bayi akan mengalami beberapa
tahapan emosional dalam menghadapi keadaan bayinya, yaitu:35
1.
Terkejut. Pada masa ini pikiran orang tua dipenuhi dengan berbagai pertanyaan,
seperti bagaimana nasib bayi selanjutnya? Bagaimana kehidupan mereka
selanjutnya? Sehingga orang tua akan sulit berpikir dengan jernih, dan perlu
mendapatkan penjelasan mengenai kondisi bayinya berulang kali.
2.
Menyangkal. Pada masa ini orang tua tidak mempercayai kenyataan yang
terjadi. Orang tua cenderung mencari bukti-bukti lain yang dapat membuktikan
bahwa keadaan tersebut tidak benar.
3.
Berkabung, sedih dan takut. Pada masa ini orang tua sudah mulai menerima
bahwa keadaan anaknya tidak seperti yang diharapkan, mulai merasa sedih dengan
beban yang harus mereka pikul, dan takut bahwa bayi mereka akan meninggal atau
menjadi tidak normal.
4.
Marah dan merasa bersalah. Pada tahap selanjutnya orang tua akan merasa
marah karena bayi mereka sakit, marah mengapa hal tersebut terjadi pada mereka.
Jadi pada tahap ini, karena mereka tidak bisa marah kepada bayinya, mereka
cenderung akan marah kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
5.
Tahap ekuilibrium dan terorganisir
Pada masa ini orang tua mulai mengerti mengenai kondisi bayinya dan mulai
berinteraksi dengannya.
Tahapan-tahapan tersebut penting untuk diketahui agar dapat lebih
mengerti mengenai kondisi mereka dan dapat memberikan dukungan emosi, serta
menawarkan bantuan untuk membantu keluarga melewati masa kritisnya. Keluarga
sedapat mungkin memperoleh informasi secara kontinyu mengenai perkembangan
keadaan anaknya. Kontak sedini mungkin antara orang tua dengan anaknya
sangatlah penting.27,34
Dukungan emosi yang diberikan kepada keluarga dapat diberikan sebelum, pada
saat bahkan sesudah bayi ditransfer ke tempat yang lebih intensif. Setelah bayi
dilakukan resusitasi dan akan ditransfer ke tempat yang lebih intensif, orang
tua bayi harus diperbolehkan untuk melihat dan menyentuh bayi mereka dahulu.
Apabila tidak memungkinkan, maka sebelum dipindahkan, bayi disinggahkan terlebih
dahulu ke kamar ibu untuk mempertemukan mereka secara singkat. Sebaiknya
keluarga diperbolehkan untuk memotret atau merekam bayi. Hal ini dapat membantu
menenangkan ibu yang akan berpisah dengan bayinya.27
Pada saat akan ditransfer, orang
tua harus mendapatkan penjelasan kembali mengenai kondisi anak mereka.
Penjelasan harus singkat dan mudah dimengerti agar orang tua dapat mengerti. Orang tua juga harus diberikan
kesempatan untuk bertanya apabila terdapat hal yang tidak dimengerti. Penjelasan
mengenai kondisi anak pertama kali harus diberikan kepada orang tua bayi, tidak
diperkenankan untuk memberitahukan mengenai kondisi anak kepada orang lain,
tanpa seijin orang tua. Setelah bayi ditransfer ke ruang intensif, orang tua
tetap harus mendapatkan dukungan. Salah satunya adalah dengan cara membiarkan
orang tua menengok bayinya serta membiarkan mereka mengetahui dan memantau
terus kondisi bayinya.27
RANGKUMAN
Penanganan pasca resusitasi lahir yang adekuat sangat penting
untuk dilakukan karena deteksi dan intervensi dini terhadap gangguan fungsi
organ yang diakibatkan oleh proses asfiksia akan sangat mempengaruhi keluaran
dan harus dilakukan di ruang perawatan intensif agar dapat dilakukan monitoring
yang ketat dan evaluasi diagnostik lebih lanjut.
Prinsip umum dari penanganan
pasca resusitasi neonatus diantaranya adalah pemantauan gula darah (sugar), suhu (temperature), jalan nafas (airway),
tekanan darah (blood pressure),
pemeriksaan laboratorium (laboratories)
dan dukungan emosional kepada keluarga (emotional
support).
1 komentar:
postingnya bagus dan menarik semoga bermanfaat.
suplemen pelangsing badan
Posting Komentar
Silahkan Di Tanggapi