Jumat, 25 Mei 2012

Kelahiran Ibrahim Bin Muhammad saw dan Kecemburuan Isteri-Isteri Rasul

MUHAMMAD kembali ke Medinah selesai ia membebaskan Mekah dan setelah  mendapat  kemenangan di Hunain dan mengepung Ta’if. Dalam hati orang Arab semua sudah nyata dan yakin, bahwa tak ada  yang  akan dapat menandinginya di seluruh jazirah, juga sudah  tak  ada  lagi  lidah  yang   mau   mengganggu   atau mencelanya.  Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa gembira sekali karena Tuhan  telah  membukakan  jalan  kepada  Nabi, membebaskan negeri tempat Mesjid Suci. Mereka gembira karena penduduk Mekah telah beroleh hidayah dengan menganut  Islam, dan orang-orang Arab – dengan kabilahnya yang beraneka ragam itu – telah tunduk dan taat kepada agama ini.
Untuk sekadar  menikmati  adanya  ketenangan  hidup,  mereka semua kembali ke Medinah setelah Muhammad menunjuk ‘Attab b. Asid untuk Mekah di samping Mu’adh b.  Jabal  guna  mengajar orang  memperdalam  agama dan mengajarkan Qur’an. Kemenangan yang  belum  ada  taranya  dalam  sejarah  Arab  ini   telah menimbulkan   kesan   yang   dalam   sekali  di  dalam  hati orang-orang   Arab    itu    semua,    juga    dalam    hati pembesar-pembesar  dan  bangsawan-bangsawan  yang samasekali tidak membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk kepada  Muhammad  atau  akan menerima agamanya sebagai agama mereka; dalam hati penyair-penyair, yang  bicara  atas  nama bangsawan-bangsawan  dengan  sekedar mendapatkan simpati dan dukungan sebagai imbalan, atau sekadar  mendapatkan  bantuan dan dukungan kabilah-kabilah; dalam hati kabilah-kabilah di pedalaman, yang biasanya tidak mau  menukarkan  kebebasannya dengan  apa pun, atau akan terbayang dalam pikirannya, bahwa mereka akan tergabung dalam satu panji di luar panji  mereka sendiri  yang khusus atau akan bersedia mati untuk semua itu dalam suatu peperangan sampai habis samasekali. Para penyair dengan sajak-sajaknya, kaum bangsawan    dengan kebangsawanannya dan kabilah-kabilah yang mau mempertahankan kepribadiannya, apa  artinya  semua  itu  dalam  berhadapan dengan kekuatan yang berada di luar kodrat alam  itu,  tiada dapat  dibendung  oleh suatu kekuatan, tiada suatu kekuasaan dapat mengalanginya.
Begitu besarnya pengaruh itu dalam  hati  orang-orang  Arab, sehingga  Bujair  ibn Zuhair menulis surat kepada saudaranya Ka’b, setelah Nabi meninggalkan Ta’if. Ia mengatakan,  bahwa Muhammad  di  Mekah  telah  menjatuhkan  hukuman mati kepada orang-orang yang dulu pernah mengejek dan mengganggunya, dan penyair-penyair  yang  masih  ada, mereka melarikan diri tak tentu arahnya. Dinasehatinya saudaranya itu,  supaya  segera datang  kepada  Nabi  di  Medinah. Ia tidak pernah menghukum orang yang datang kepadanya menyatakan  penyesalannya;  atau orang menyelamatkan diri dengan ke mana saja ia mau pergi.
Apa yang diceritakan Bujair itu memang benar. Tak ada  orang yang  terbunuh di Mekah atas perintah Muhammad kecuali empat orang  saja,  di  antaranya  seorang  penyair  yang   sangat mengganggu  Nabi  dengan  ejekan-ejekannya,  dua  orang yang
telah  menyakiti  Zainab  puterinya,  ketika   dengan   ijin suaminya ia pergi hijrah dari Mekah hendak menyusul ayahnya. Ka’b yakin bahwa apa yang dikatakan  saudaranya  itu  benar, dan kalau dia tidak mau menemui Muhammad ia akan hidup dalam petualangan.  Oleh  karena  itu  cepat-cepat  ia  datang  ke Medinah dan menumpang di rumah seorang kawan lama. Keesokan harinya pagi-pagi ia datang  ke  mesjid,  ia  meminta  suaka kepada Nabi kemudian ia membacakan sajak ini.1
Berpisah dengan Su’ad
Hatiku kini merana karena cinta
Tergila-gila mengikutinya, terpukau
Tiada lagi ada belenggu.
Nabi kemudian memaafkannya dan setelah itu dia menjadi orang Islam yang baik. Karena  pengaruh  itu  jugalah,  maka  kabilah-kabilah mulai berdatangan kepada Nabi dan  menyatakan  kesetiaannya.  Dari kabilah  Tayy  datang  pula  utusan  dipimpin  oleh ketuanya sendiri, Zaid al-Khail. Setelah mereka ini  tiba,  Nabi  pun menyambut   mereka   dengan   baik  sekali.  Ketika  terjadi pembicaraan dengan Zaid, Nabi berkata:
Setiap ada orang dari kalangan Arab yang digambarkan begitu baik, kemudian orang itu datang kepadaku, ternyata ia kurang daripada apa yang digambarkan orang, kecuali  Zaid  al-Khail ini. Ia melebihi daripada apa yang digambarkan orang.”
Lalu  ia  dinamainya ‘Zaid al-Khair,’ (Zaid yang baik) bukan lagi, Zaid al-Khail, (‘Zaid si kuda’).2 Kabilah Tayy kemudian masuk Islam termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.
Kemudian  ‘Adi  b.  Hatim  at-Ta’iy. Ia seorang Nasrani, dan sangat  benci  kepada  Muhammad.  Setelah  melihat   keadaan Muhammad  dan  Muslimin  di  jazirah  Arab,  ia pergi dengan untanya,  membawa  keluarga  dan  anaknya  hendak  bergabung dengan  orang-orang  seagama  dari kalangan Nasrani di Syam. Larinya ‘Adi ini ialah ketika Nabi mengutus Ali b. Abi Talib supaya  menghancurkan berhala Tayy. Setelah berhala itu oleh Ali dihancurkan, ia membawa rampasan dan tawanan perang,  di antaranya  puteri  Hatim  -saudara ‘Adi – yang telah ditahan dalam sebuah tempat berpagar di pintu masuk  mesjid,  tempat tawanan-tawanan  perang  dikurung.  Tatkala  Nabi  lewat  di tempat itu, ia menghampirinya dan berkata:
“Rasulullah, ayah saya sudah meninggal, sedang penopang saya sudah  menghilang.  Bermurah hatilah kepadaku, mudah-mudahan Tuhan akan memberi kurnia kepadamu.”
Setelah diketahui bahwa penopangnya itu ‘Adi b. Hatim,  yang telah  melarikan diri dari Tuhan dan Rasul, Nabi memalingkan muka dari dia.Tetapi  perempuan  itu  memintanya  meninjau kembali.  Lalu  teringat  oleh  Nabi, betapa pemurahnya ayah mereka dulu pada zaman jahiliah  sehingga  dapat  mengangkat nama  jazirah  itu.  Kemudian diperintahkannya supaya wanita itu dibebaskan.  Ia  diberi  pakaian  yang  bagus-bagus  dan diberinya pula belanja, lalu diberangkatkan dengan rombongan pertama yang berangkat ke Syam.  Bila  kemudian  ia  bertemu dengan  saudaranya (‘Adi) dan diceritakannya betapa Muhammad menghormatinya dan bermurah hati kepadanya, ia  pun  kembali dan menerjunkan diri ke dalam barisan Muslimin.
Demikian  juga  pemuka-pemuka  kabilah yang lain berdatangan kepada Muhammad -setelah pembebasan Mekah dan kemenangan di Hunain  serta  pengepungan  Ta’if  – mereka hendak mengakui risalahnya dan  menerima  Islam,  sementara  ketika  itu  ia
tinggal  di  Medinah,  mereka lega dengan adanya pertolongan Tuhan dan kehidupan yang agak tenteram itu
Akan tetapi ketenteraman  hidup  masa  itu  tampaknya  tidak begitu  cerah.  Pada  waktu  itu  Zainab,  puterinya  sedang menderita sakit yang sangat menguatirkan  sekali.  Sejak  ia mendapat  gangguan Huwairith dan Habbar tatkala ia berangkat dari Mekah yang sangat mencemaskan hatinya  dan  menyebabkan ia  keguguran,  sejak  itu  kesehatannya mundur sekali, yang sampai berakhir membawa kematiannya. Dengan kematiannya  itu tak ada lagi dari keturunan Muhammad yang masih hidup selain Fatimah, setelah Umm Kulthum dan Ruqayya  wafat  pula  lebih dulu   sebelum   Zainab.  Dengan  kehilangan  puterinya  ini Muhammad merasa  gundah  sekali.  Teringat  olehnya,  betapa lembutnya  perasaan  Zainab,  betapa  indahnya  kesetiaannya kepada suaminya  -  Abu’l-’Ash  bin’r-Rabi’  ketika  sebagai orang  tawanan  di  Badr,  ditebusnya  ia  dari  ayahnya. Ia menebusnya, padahal ia dalam  Islam  sedang suaminya  masih syirik,  di  samping begitu gigih ia memerangi ayahnya, yang kalau  kemenangan  itu  berada  di  tangan  Quraisy,   pasti Muhammad tidak akan dibiarkan hidup.
Semua   itu   teringat   oleh   Muhammad   betapa  lembutnya perasaannya, betapa  indahnya  kesetiaannya.  Teringat  pula olehnya  betapa  ia  menderita  sakit, sejak ia kembali dari Mekah sampai ia wafat. Muhammad, yang dalam  kemalangan,  ia pergi  ke pelosok-pelosok dan ke ujung kota, menengoki orang yang sedang sakit, ia menghibur orang yang dalam  menderita, dalam  kesakitan.  Maka  bilamana sampai pula takdir menimpa puterinya ini, setelah lebih dulu menimpa  kedua  saudaranya yang  laki-laki  tidak  salah  apabila ia akan sangat merasa duka, akan sangat bertambah luka di  hati,  meskipun  dengan adanya  rahmat  dan  kasih  sayang  Tuhan  kepadanya ia akan merasa sudah terhibur.
Akan tetapi tidak lama ia mengalami  kesedihan  itu,  dengan melalui  Maria  orang  Kopti  Tuhan  telah  memberi  karunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim,  nama  yang diambil  dari  Ibrahim  leluhur  para  nabi, para hunif yang patuh kepada Tuhan.  Sejak  Maria  diberikan  oleh  Muqauqis kepada  Nabi  sampai  pada  waktu  itu masih berstatus hamba sahaja. Oleh karena itu tempatnya tidak  di  samping  mesjid seperti  isteri-isteri  Nabi  Umm’l-Mukminin yang lain. Oleh Muhammad ia  ditempatkan  di  ‘Alia,  di  bagian  luar  kota Medinah,  di  tempat  yang sekarang diberi nama Masyraba Umm Ibrahim, dalam sebuah rumah di tengah-tengah  kebun  anggur. Ia   sering   berkunjung  ke  sana  seperti  biasanya  orang mengunjungi hak-miliknya.  Ia  mengambilnya  sebagai  hadiah dari Muqauqis bersama-sama saudaranya yang perempuan, Sirin, dan Sirin ini diberikannya kepada Hassan b. Thabit.  Sesudah Khadijah  wafat, dari semua isterinya, baik yang muda remaja atau yang sudah setengah umur, yang dulu  pernah  memberikan keturunan,  Muhammad  tidak  pernah  menantikan mereka masih akan memberikan keturunan lagi, yang  selama  sepuluh  tahun berturut-turut belum ada tanda-tanda kesuburan pada mereka.
Setelah ternyata Maria mengandung dan kemudian lahir Ibrahim – ketika itu usianya sudah lampau enampuluh tahun  -  sangat gembira sekali ia. Rasa sukacita telah memenuhi hati manusia besar ini. Dengan kelahirannya  itu  kedudukan  Maria  dalam
pandangannya  tampak  lebih tinggi, dari tingkat bekas-bekas budak ke derajat isteri. Ini menambah ia lebih disenangi dan lebih dekat lagi.
Wajar sekali hal ini akan menambah rasa iri hati di kalangan isteri-isterinya yang lain,  lebih-lebih  karena  Maria  ibu Ibrahim,  sedang  mereka  semua  tidak  beroleh putera. Juga pandangan Nabi  kepada  bayi  ini  sehari  ke  sehari  makin memperbesar kecemburuan mereka. Ia sangat menghormati Salma, isteri Abu Rafi’, yang bertindak sebagai bidan Maria. Ketika lahirnya  itu  ia memberikan sedekah uang dengan ukuran tiap seutas  rambut  kepada  setiap  fakir  miskin,   dan   untuk menyusukannya telah diserahkan pula kepada Umm Saif disertai tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air  susunya  buat  si bayi.  Setiap  hari  ia singgah ke rumah Maria sekadar ingin melihat Ibrahim, dan ia pun tambah  gembira  setiap  melihat senyuman  bayi  yang masih suci dan bersih itu; makin senang hatinya setiap melihat pertumbuhan bayi bertambah indah. Apa lagikah   yang   akan  lebih  besar  dari  semua  ini,  akan menimbulkan rasa iri  hati  dalam  diri  isteri-isteri  yang tidak  mempunyai  anak itu? Dan sampai di mana pula pengaruh iri hati itu pada mereka?
Dengan penuh perasaan gembira pada suatu  hari  Nabi  datang dengan  memondong Ibrahim kepada Aisyah. Dipanggilnya Aisyah supaya melihat  betapa  besarnya  persamaan  Ibrahim  dengan dirinya  itu.  Aisyah  melihat  kepada  bayi  itu,  kemudian
katanya, bahwa  dia  tidak  melihat  adanya  persamaan  itu. Setelah  dilihatnya  Nabi  begitu gembira karena pertumbuhan bayi itu, ia tampak marah; semua  bayi  yang  mendapat  susu seperti  Ibrahim,  akan  sama pertumbuhannya atau akan lebih baik. Isteri-isteri Nabi telah marah  dan  tidak  suka  hati karena  kelahiran Ibrahim itu, yang akibatnya tidak terbatas hanya pada jawaban-jawaban yang kasar,  bahkan  sudah  lebih dari  itu,  sampai-sampai  dalam  sejarah Muhammad dan dalam sejarah  Islam   telah   meninggalkan   pengaruh,   sehingga karenanya datang pula wahyu dan disebutkan dalam Kitabullah
Dan wajar sekali pengaruh demikian ini akan timbul, Muhammad telah memberi tempat dan kedudukan  kepada  isteri-isterinya demikian  rupa,  suatu  hal  yang  tidak  pernah  dikenal di kalangan Arab. Dalam  suatu  keterangan  Umar  bin’l-Khattab berkata,  “Sungguh,”  kata  Umar,  “kalau  kami  dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan  memberikan  ketentuan  tentang  mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.”

Sumber: S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Di Tanggapi