MUHAMMAD kembali ke Medinah selesai ia
membebaskan Mekah dan setelah mendapat kemenangan di Hunain dan
mengepung Ta’if. Dalam hati orang Arab semua sudah nyata dan yakin,
bahwa tak ada yang akan dapat menandinginya di seluruh jazirah, juga
sudah tak ada lagi lidah yang mau mengganggu atau
mencelanya. Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa gembira sekali
karena Tuhan telah membukakan jalan kepada Nabi, membebaskan negeri
tempat Mesjid Suci. Mereka gembira karena penduduk Mekah telah beroleh
hidayah dengan menganut Islam, dan orang-orang Arab – dengan kabilahnya
yang beraneka ragam itu – telah tunduk dan taat kepada agama ini.
Untuk sekadar menikmati adanya
ketenangan hidup, mereka semua kembali ke Medinah setelah Muhammad
menunjuk ‘Attab b. Asid untuk Mekah di samping Mu’adh b. Jabal guna
mengajar orang memperdalam agama dan mengajarkan Qur’an. Kemenangan
yang belum ada taranya dalam sejarah Arab ini telah
menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati
orang-orang Arab itu semua, juga dalam hati
pembesar-pembesar dan bangsawan-bangsawan yang samasekali tidak
membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk kepada Muhammad
atau akan menerima agamanya sebagai agama mereka; dalam hati
penyair-penyair, yang bicara atas nama bangsawan-bangsawan dengan
sekedar mendapatkan simpati dan dukungan sebagai imbalan, atau sekadar
mendapatkan bantuan dan dukungan kabilah-kabilah; dalam hati
kabilah-kabilah di pedalaman, yang biasanya tidak mau menukarkan
kebebasannya dengan apa pun, atau akan terbayang dalam pikirannya,
bahwa mereka akan tergabung dalam satu panji di luar panji mereka
sendiri yang khusus atau akan bersedia mati untuk semua itu dalam suatu
peperangan sampai habis samasekali. Para penyair dengan sajak-sajaknya,
kaum bangsawan dengan kebangsawanannya dan kabilah-kabilah yang mau
mempertahankan kepribadiannya, apa artinya semua itu dalam
berhadapan dengan kekuatan yang berada di luar kodrat alam itu, tiada
dapat dibendung oleh suatu kekuatan, tiada suatu kekuasaan dapat
mengalanginya.
Begitu besarnya pengaruh itu dalam
hati orang-orang Arab, sehingga Bujair ibn Zuhair menulis surat
kepada saudaranya Ka’b, setelah Nabi meninggalkan Ta’if. Ia mengatakan,
bahwa Muhammad di Mekah telah menjatuhkan hukuman mati kepada
orang-orang yang dulu pernah mengejek dan mengganggunya, dan
penyair-penyair yang masih ada, mereka melarikan diri tak tentu
arahnya. Dinasehatinya saudaranya itu, supaya segera datang kepada
Nabi di Medinah. Ia tidak pernah menghukum orang yang datang kepadanya
menyatakan penyesalannya; atau orang menyelamatkan diri dengan ke
mana saja ia mau pergi.
Apa yang diceritakan Bujair itu memang
benar. Tak ada orang yang terbunuh di Mekah atas perintah Muhammad
kecuali empat orang saja, di antaranya seorang penyair yang
sangat mengganggu Nabi dengan ejekan-ejekannya, dua orang yang
telah menyakiti Zainab puterinya,
ketika dengan ijin suaminya ia pergi hijrah dari Mekah hendak
menyusul ayahnya. Ka’b yakin bahwa apa yang dikatakan saudaranya itu
benar, dan kalau dia tidak mau menemui Muhammad ia akan hidup dalam
petualangan. Oleh karena itu cepat-cepat ia datang ke Medinah dan
menumpang di rumah seorang kawan lama. Keesokan harinya pagi-pagi ia
datang ke mesjid, ia meminta suaka kepada Nabi kemudian ia
membacakan sajak ini.1
Berpisah dengan Su’ad
Hatiku kini merana karena cinta
Tergila-gila mengikutinya, terpukau
Tiada lagi ada belenggu.
Nabi kemudian memaafkannya dan setelah
itu dia menjadi orang Islam yang baik. Karena pengaruh itu jugalah,
maka kabilah-kabilah mulai berdatangan kepada Nabi dan menyatakan
kesetiaannya. Dari kabilah Tayy datang pula utusan dipimpin oleh
ketuanya sendiri, Zaid al-Khail. Setelah mereka ini tiba, Nabi pun
menyambut mereka dengan baik sekali. Ketika terjadi pembicaraan
dengan Zaid, Nabi berkata:
“Setiap ada orang dari
kalangan Arab yang digambarkan begitu baik, kemudian orang itu datang
kepadaku, ternyata ia kurang daripada apa yang digambarkan orang,
kecuali Zaid al-Khail ini. Ia melebihi daripada apa yang digambarkan
orang.”
Lalu ia dinamainya ‘Zaid al-Khair,’ (Zaid yang baik) bukan lagi, Zaid al-Khail, (‘Zaid si kuda’).2 Kabilah Tayy kemudian masuk Islam termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.
Kemudian ‘Adi b. Hatim at-Ta’iy. Ia seorang Nasrani,
dan sangat benci kepada Muhammad. Setelah melihat keadaan
Muhammad dan Muslimin di jazirah Arab, ia pergi dengan untanya,
membawa keluarga dan anaknya hendak bergabung dengan orang-orang
seagama dari kalangan Nasrani di Syam. Larinya ‘Adi ini ialah ketika
Nabi mengutus Ali b. Abi Talib supaya menghancurkan berhala Tayy.
Setelah berhala itu oleh Ali dihancurkan, ia membawa rampasan dan
tawanan perang, di antaranya puteri Hatim -saudara ‘Adi – yang telah
ditahan dalam sebuah tempat berpagar di pintu masuk mesjid, tempat
tawanan-tawanan perang dikurung. Tatkala Nabi lewat di tempat itu,
ia menghampirinya dan berkata:
“Rasulullah, ayah saya sudah
meninggal, sedang penopang saya sudah menghilang. Bermurah hatilah
kepadaku, mudah-mudahan Tuhan akan memberi kurnia kepadamu.”
Setelah diketahui bahwa penopangnya itu
‘Adi b. Hatim, yang telah melarikan diri dari Tuhan dan Rasul, Nabi
memalingkan muka dari dia.Tetapi perempuan itu memintanya meninjau
kembali. Lalu teringat oleh Nabi, betapa pemurahnya ayah mereka dulu
pada zaman jahiliah sehingga dapat mengangkat nama jazirah itu.
Kemudian diperintahkannya supaya wanita itu dibebaskan. Ia diberi
pakaian yang bagus-bagus dan diberinya pula belanja, lalu
diberangkatkan dengan rombongan pertama yang berangkat ke Syam. Bila
kemudian ia bertemu dengan saudaranya (‘Adi) dan diceritakannya
betapa Muhammad menghormatinya dan bermurah hati kepadanya, ia pun
kembali dan menerjunkan diri ke dalam barisan Muslimin.
Demikian juga pemuka-pemuka kabilah
yang lain berdatangan kepada Muhammad -setelah pembebasan Mekah dan
kemenangan di Hunain serta pengepungan Ta’if – mereka hendak
mengakui risalahnya dan menerima Islam, sementara ketika itu ia
tinggal di Medinah, mereka lega dengan adanya pertolongan Tuhan dan kehidupan yang agak tenteram itu
Akan tetapi ketenteraman hidup masa
itu tampaknya tidak begitu cerah. Pada waktu itu Zainab,
puterinya sedang menderita sakit yang sangat menguatirkan sekali.
Sejak ia mendapat gangguan Huwairith dan Habbar tatkala ia berangkat
dari Mekah yang sangat mencemaskan hatinya dan menyebabkan ia
keguguran, sejak itu kesehatannya mundur sekali, yang sampai berakhir
membawa kematiannya. Dengan kematiannya itu tak ada lagi dari
keturunan Muhammad yang masih hidup selain Fatimah, setelah Umm Kulthum
dan Ruqayya wafat pula lebih dulu sebelum Zainab. Dengan
kehilangan puterinya ini Muhammad merasa gundah sekali. Teringat
olehnya, betapa lembutnya perasaan Zainab, betapa indahnya
kesetiaannya kepada suaminya - Abu’l-’Ash bin’r-Rabi’ ketika
sebagai orang tawanan di Badr, ditebusnya ia dari ayahnya. Ia
menebusnya, padahal ia dalam Islam sedang suaminya masih syirik, di
samping begitu gigih ia memerangi ayahnya, yang kalau kemenangan itu
berada di tangan Quraisy, pasti Muhammad tidak akan dibiarkan
hidup.
Semua itu teringat oleh
Muhammad betapa lembutnya perasaannya, betapa indahnya
kesetiaannya. Teringat pula olehnya betapa ia menderita sakit,
sejak ia kembali dari Mekah sampai ia wafat. Muhammad, yang dalam
kemalangan, ia pergi ke pelosok-pelosok dan ke ujung kota, menengoki
orang yang sedang sakit, ia menghibur orang yang dalam menderita,
dalam kesakitan. Maka bilamana sampai pula takdir menimpa puterinya
ini, setelah lebih dulu menimpa kedua saudaranya yang laki-laki
tidak salah apabila ia akan sangat merasa duka, akan sangat bertambah
luka di hati, meskipun dengan adanya rahmat dan kasih sayang
Tuhan kepadanya ia akan merasa sudah terhibur.
Akan tetapi tidak lama ia mengalami
kesedihan itu, dengan melalui Maria orang Kopti Tuhan telah
memberi karunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim, nama
yang diambil dari Ibrahim leluhur para nabi, para hunif yang patuh
kepada Tuhan. Sejak Maria diberikan oleh Muqauqis kepada Nabi
sampai pada waktu itu masih berstatus hamba sahaja. Oleh karena itu
tempatnya tidak di samping mesjid seperti isteri-isteri Nabi
Umm’l-Mukminin yang lain. Oleh Muhammad ia ditempatkan di ‘Alia, di
bagian luar kota Medinah, di tempat yang sekarang diberi nama
Masyraba Umm Ibrahim, dalam sebuah rumah di tengah-tengah kebun
anggur. Ia sering berkunjung ke sana seperti biasanya orang
mengunjungi hak-miliknya. Ia mengambilnya sebagai hadiah dari
Muqauqis bersama-sama saudaranya yang perempuan, Sirin, dan Sirin ini
diberikannya kepada Hassan b. Thabit. Sesudah Khadijah wafat, dari
semua isterinya, baik yang muda remaja atau yang sudah setengah umur,
yang dulu pernah memberikan keturunan, Muhammad tidak pernah
menantikan mereka masih akan memberikan keturunan lagi, yang selama
sepuluh tahun berturut-turut belum ada tanda-tanda kesuburan pada
mereka.
Setelah ternyata Maria mengandung dan
kemudian lahir Ibrahim – ketika itu usianya sudah lampau enampuluh
tahun - sangat gembira sekali ia. Rasa sukacita telah memenuhi hati
manusia besar ini. Dengan kelahirannya itu kedudukan Maria dalam
pandangannya tampak lebih tinggi, dari
tingkat bekas-bekas budak ke derajat isteri. Ini menambah ia lebih
disenangi dan lebih dekat lagi.
Wajar sekali hal ini akan menambah rasa
iri hati di kalangan isteri-isterinya yang lain, lebih-lebih karena
Maria ibu Ibrahim, sedang mereka semua tidak beroleh putera. Juga
pandangan Nabi kepada bayi ini sehari ke sehari makin memperbesar
kecemburuan mereka. Ia sangat menghormati Salma, isteri Abu Rafi’, yang
bertindak sebagai bidan Maria. Ketika lahirnya itu ia memberikan
sedekah uang dengan ukuran tiap seutas rambut kepada setiap fakir
miskin, dan untuk menyusukannya telah diserahkan pula kepada Umm
Saif disertai tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air susunya buat
si bayi. Setiap hari ia singgah ke rumah Maria sekadar ingin melihat
Ibrahim, dan ia pun tambah gembira setiap melihat senyuman bayi
yang masih suci dan bersih itu; makin senang hatinya setiap melihat
pertumbuhan bayi bertambah indah. Apa lagikah yang akan lebih
besar dari semua ini, akan menimbulkan rasa iri hati dalam diri
isteri-isteri yang tidak mempunyai anak itu? Dan sampai di mana pula
pengaruh iri hati itu pada mereka?
Dengan penuh perasaan gembira pada
suatu hari Nabi datang dengan memondong Ibrahim kepada Aisyah.
Dipanggilnya Aisyah supaya melihat betapa besarnya persamaan
Ibrahim dengan dirinya itu. Aisyah melihat kepada bayi itu,
kemudian
katanya, bahwa dia tidak melihat
adanya persamaan itu. Setelah dilihatnya Nabi begitu gembira karena
pertumbuhan bayi itu, ia tampak marah; semua bayi yang mendapat
susu seperti Ibrahim, akan sama pertumbuhannya atau akan lebih baik.
Isteri-isteri Nabi telah marah dan tidak suka hati karena kelahiran
Ibrahim itu, yang akibatnya tidak terbatas hanya pada jawaban-jawaban
yang kasar, bahkan sudah lebih dari itu, sampai-sampai dalam
sejarah Muhammad dan dalam sejarah Islam telah meninggalkan
pengaruh, sehingga karenanya datang pula wahyu dan disebutkan dalam
Kitabullah
Dan wajar sekali pengaruh demikian ini
akan timbul, Muhammad telah memberi tempat dan kedudukan kepada
isteri-isterinya demikian rupa, suatu hal yang tidak pernah
dikenal di kalangan Arab. Dalam suatu keterangan Umar bin’l-Khattab
berkata, “Sungguh,” kata Umar, “kalau kami dalam zaman jahiliah,
wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan
ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.”
Sumber: S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Di Tanggapi