Jumat, 16 Januari 2009

BAYANG MERAH SREBRENICA

Senin, 31 Januari 05 - oleh : admin
Retno Biber



Aku melangkah menuju halte tram di pusat kota Sarajevo yang dikenal dengan nama Bascarsija, tempat pusat suvenir bagi turis-turis. Kakiku memasuki tram yang menuju arah apartemen. Akhir musim semi, tapi sudah begitu hangat cuacanya. Yah, seingatku saat bertandang ke Jerman ke rumah Baka, beliau selalu bilang bahwa Bosnia itu negeri yang indah di Eropa. Karena ketika musim dingin, suhunya tidaklah terlalu menusuk tulang, begitupula musim seminya terasa lebih cepat dan lebih hangat dibanding negara-negara Eropa Utara. Baka adalah nenekku. Aku tinggal bersama tata dan mamaku di Sarajevo. Ayahku seorang muslim dan ibuku keturunan Kroasia yang sudah turun-temurun tinggal di Sarajevo. Tak tahu apa jadinya aku ini, apakah orang Bosnia atau Kroasia? Aku tak mau peduli. Hanya satu hal yang aku mau, sukses menjadi seorang dokter. Titik. Tata memiliki nama muslim. Sedangkan namaku netral. Namun nama margaku sangat mencolok dan bisa diketahui kalau ayahku seorang muslim. Yah, Nevenka Muminovic, itulah namaku. Seperti sebuah identitas di Bosnia Herzegovina, kami yang berbeda etnis memiliki nama yang menunjukan identitas. Apakah kamu Serbin, muslim, ataukah Hrvat?

Baru saja kakiku menapak, setelah keluar dari sesaknya tram di Sarajevo, tiba-tiba kulihat anak lelaki kecil berkulit gelap selayaknya kaum gipsi yang tinggal nomaden di sisi-sisi kota Sarajevo, berlari melesat seiring dengan lenyapnya tasku

˝Boze! Copet! Copet! Tolong!!” teriakku kencang sambil aku juga berlari mengejarnya di tepi-tepi pusat pertokoan Ferhadija. Orang-orangpun ikut mengejar, namun apa daya kalau ternyata kaki-kaki mungil anak itu lebih kencang berlari.
˝Ohhhhh… shit!” rutukku Akupun harus berhenti karena napasku tersengal-sengal. Langit langsung terasa gelap. Uang untuk penelitian, biaya alat praktek dan sebagainya lenyap. Hilang!! Aku hanya bisa duduk tak berdaya di kursi taman sementara rasa panas menjalar dari kedua bola mataku. Kuremas dan kurapatkan sisi depan jaketku walau tak terasa dingin. Bukan karena dingin… hanya saja aku geram. Bagaimana bodohnya sampai pengemis kecil itu mencopet tasku. Siang terang benderang ini terasa sangat gelap untukku.
***

“Oh jadi begitu?” tanya suara di seberang sana.
“Yup. Sampel tulang, buku anatomi dan peralatan praktek kita semua, amblas,” kataku
“Kamu sudah lapor polisi belum?” tanya, temanku yang juga masuk dalam tim penelitian kami.
“Sudah, hari itu juga aku sudah lapor polisi dengan Tata. Tapi aku tidak terlalu berharap banyak mengingat kamu tahu bagaimana susahnya mengejar para gypsi di Sarajevo. Mereka saling membantu dalam aksi pencopetan.”
˝Ya, aku mengerti. Kita harus memikir bagaimana cara mendapatkan bahan-bahan praktikum ini,” katanya.

Kutempelkan telapak tanganku di dahiku, ”Hmm, gimana ya?˝ Tiba-tiba aku mendengar suara tayangan iklan tentang pencarian Radovan Karadzic dan Ratko Mladic di TV. Penjahat perang, most wanted. Dicari hidup-hidup atau mati.

“Bravo!! Eh, Aida, aku tahu yang harus kita lakukan!” Kkututup segera gagang telepon yang menandai berakhirnya percakapanku dengan Aida.
***

˝Cestitam!! Saya harap kalian tidak akan undur diri kalau memang kami ingin membantu anda semua. Ini bukan misi yang biasa dilakukan mahasiswa kedokteran. Terus terang kami belum pernah melibatkan tim di luar yang dipimpin oleh atasan kami. Kalau kalian bisa membantu kami, kami juga akan membantu anda semua. Mengerti?” Lelaki berumur 40-an yang memiliki tatap mata tajam itu menatap kami. Mirzet Halilovic, petinggi misi yang sedang kami ikuti.

Aku, Aida, Ammar, dan Edin adalah tim yang dilibatkan dalam pengidentifikasian tulang-tulang dari korban ethnic cleansing tragedi Srebrenica tahun 1995. Gila!! Aku tidak pernah mengira akan dikirim ke tempat ini sebelumnya. Hal ini semua harus kami hadapi setelah aku berhasil melobi Palang Merah Internasional dan Bosanska Vlada yang mengizinkan kami semua bergabung dalam tugas ini. Tahun 2003, ini berarti kejadian itu sekitar 8 tahun yang lalu.

Sejak pembantaian Srebrenica , dilaporkan 8000 muslim laki-laki dewasa dan anak-anak menghilang. Sebenarnya telah dilaporkan pula total penduduk yang tewas dalam peperangan Bosnia adalah sekitar 200.000 jiwa. Ini bukan jumlah kecil bagi negara yang berpenduduk hanya 4 juta jiwa.

“E,h tolong pindahkan setiap bungkusan ini ke dalam kotak-kotak yang telah tertulis nama di penutupnya,” cetus Edin. Edin seorang muslim, seperti Ammar dan Aida. Hanya akulah satu-satunya yang tidak jelas statusnya. Ya, di Bosnia Herzegovina itu biasa. Banyak orang kawin campur antar agama.

“Biar aku yang memasukkan potongan-potongan ini ke dalam kotak, dan kamu membantuku. Bisa?” kata Ammar. Akupun segera mengenakan sarung tangan. Mataku mengerjap membaca nama-nama di kotak untuk tulang-tulang belulang itu. Husein, Emir, Zejnil, Hamzah, bahkan lengkap dengan nama marganya. Glek! Kutelan ludahku segera ketika melihat potongan baju berwarna kuning, baju anak-anak. Ya Tuhan, dosa apa yang mereka panggul hingga diperlakukan seperti ini? Bulu kudukku merinding. Aku lihat Aida juga serius melakukan hal yang sama denganku. Kami memasukkan potongan-potongan tulang itu ke dalam plastik lalu menempatkannya kembali ke dalam kotak-kotak terpisah.

“Aku tidak menyangka mereka sekejam ini membantai orang-orang tak berdosa. Aku takut, nanti malam aku tidak bisa tidur karena ingat tulang-tulang ini,” ˝kataku sambil membetulkan letak penutup kepalaku. Kami memang bekerja dengan pakaian tertutup.
“Apa kamu percaya bahwa orang yang mati akan bisa bangkit lagi, Nevenka?” potong Ammar sambil menatapku.

“Hmm, aku percaya akan kematian. Cuma apakah mereka yang mati akan dibangkitkan lagi?˝
“Sebagai muslim akupercaya bahwa tulang-tulang yang sedang kita kumpulkan dan selidiki ini, akan mampu merapat kembali membentuk rangka dan menjadi tubuh sempurna lagi. Ja Vjerujem,” sahut Ammar.

Mataku membelalak dan entah apa lagi yang ingin aku katakan saat ini. Aku shock sekali melihat pemandangan ini semua. Masih ditambahi omongan-omongan kacau dari temanku itu. Akupun segera melepaskan sarung tangan setelah selesai pada kotak terakhir.
***
Suara derit pintu menggema saat aku memasuki ruangan yang kukunjungi tiga bulan yang lalu sewaktu Bozic. Sebagai penganut katolik Roma, Mama dan aku--yang waktu itu hanya ingin menemaninya saja, merayakan hari Bozic bersama jemaat katolik.

Gereja Katolik Roma St. Ivan Krstitelj. Gereja ini dibangun di Sarajevo sejak tahun 1919. Dinding-dinding pucat, atap berbentuk setengah lingkaran menjulang setinggi 10 meter dihiasi gambar-gambar riwayat nabi-nabi. Ada salib besar di tengah altar yang ditemani oleh 2 patung dari sosok yang diimani penganut katolik. Sebenarnya aku hanya beberapa kali memasuki gereja ini. Menemani mamaku, itu saja alasanku. Sedangkan Tata? Tata tak pernah masuk masjid walau dia mengaku beragama Islam.

“Nak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang suster. Dia ternyata telah memperhatikanku sejak aku datang ke sini. Ya, dia suster katolik yang tinggal di asrama dekat gereja ini.
“Sestro, saya hendak mencari Tuhan. Apakah saya datang kepada tempat yang benar?” kataku kepadanya
”Ya, Tuhan selalu siap mendengar manusia-manusia berdoa kepada-Nya. Percayalah! Aku telah mempersembahkan hidupku untuk Tuhan. Aku tidak menginginkan kehidupan dunia yang lezat. Semua ini demi Tuhan,” sahutnya.

˝”Maaf, saya memang bukan penganut katolik yang taat. Saya hanya benar-benar ingin mengetahui lebih lanjut tentang keyakinan saya,” kataku sambil kutatap matanya.

“Maka datanglah pada Tuhanmu, Nak! Maaf, saya harus menyiapkan missa untuk besok.,” katanya sambil berlalu.Jawaban suster itu membuatku gamang. Akupun duduk di kursi deret terdepan. Entahlah apa yang terjadi padaku. Sejak 5 pekan yang lalu setelah aku terlibat dalam pencarian dan pengidentifikasian tulang-belulang muslim korban Srebrenica, aku menjadi lebih memikirkan akan keyakinanku. Akupun yakin dengan setiap detak jantungku, bahwa tentu Tuhan mengutus nabi-Nya untuk ketentraman. Lalu apakah para Serbia itu memiliki alasan kuat untuk membunuh muslim-muslim? Apakah juga agama katolik yang dianut ibuku ini pantas aku ikuti? Ataukah juga agama Islam yang diakui tata-ku pantas direnungi.
Kalau saja, tulang-tulang itu bisa berbicara padaku. Aku hendak menanyakan apa yang telah terjadi dengan jiwa mereka setelah terperangkap dalam pekatnya tanah. Benarkah kematian itu akhir kehidupan?
Tuhan! Tolonglah aku! Tragedi Srebrenica ini menggigit jiwaku.
***

“Memangnya itu tidak mudah menurutmu?” mataku menatap Aida. “Bisa dibilang demikian bagi orang-orang yang terlahir seperti aku. Kedua orangtuaku muslim, lihat saja namaku, Aida? Well, menjadi muslim itu bukan hal yang mudah, aku berpuasa di bulan ramadhan. Bajram itu kewajiban bagi kami, karena kami bisa bertemu dan bersenang-senang dengan sanak famili,” Gadis itu bercerita tentang dirinya. Dia terlahir sebagai muslim. Sejak aku mengikuti misi ini, aku banyak bertanya kepadanya mengenai Islam.
“Aida, bukankah ketika orangtuamu muslim kamu juga berarti muslim bukan? Nah, sekarang pikirkanlah tentang aku. Aku memiliki orangtua yang berbeda keyakinan. Dan sampai detik ini aku belum memutuskan keyakinan mana yang hendak kujalani. Aku kadang-kadang mengikuti Mama ke gereja namun aku tidak yakin di sana ada kebenaran. Terlalu banyak hal-hal yang sukar dipahami dalam agama yang dianut mamaku.

Sedangkan Tata? Tata-ku bilang bahwa dia adalah muslim tapi tidak pernah kutemukan Al-Quran di rumah kami. Terus terang aku takut mati! Bagaimana kalau aku mati dan menjadi tulang-tulang seperti korban Srebrenica itu? Kalau aku salah langkah dalam kehidupanku, apa aku akan selamat juga setelah kematian datang?” mataku menatap wajah di depanku yang
“Itu urusan privasi kamu, Nevenka. Mau jadi muslimanka, Srpkinja atau Hrvatica itu bukan pilihan kita. Tuhan mentakdirkan kita terlahir begini, kalau aku… takdirku menjadi muslim dan kamu?” jawabnya sambil menaikan bahu, tanda tak mengerti.
***

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap gadis bertutup kepala dengan melakukan gerakan kepala ke kanan lalu ke kiri.
Di manakah aku sekarang? Kulihat sekeliling, tampak mimbar dan hamparan karpet penuh di ruangan ini. Ya, sekarang aku yakin ada di mana. Dzamija, begitulah mereka memanggil tempat suci muslim ini.

“Sestro! Apa yang baru saja anda lakukan?”
“Klanjam… apakah anda muslim?’ tanya gadis itu.
“Hmm, bukan. Aku pun tidak tahu kenapa aku berada di tempat ini…”

”Di masjid, kami menutup aurat. Itu salah satu bentuk penghormatan kami kepada tempat ibadah. Apakah anda keberatan jika saya berikan anda marama untuk menutup rambut anda?”
”Oh tentu,” kataku sambil menerima kerudung berwarna biru dari tangan gadis itu.
Blaaaar!

Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah jendela. Kulihat reruntuhan tembok dan kaca dari masjid ini menghambur ke arah kami.
“Tolong!!” teriakku. Akupun lari ke arah pintu bersama gadis yang ketemui dalam masjid itu. Kamipun saling berpegangan dan menghambur keluar sementar mataku tak mampu melihat jelas sebab debu dari reruntuhan tembok telah membuat kedua bola mataku buram. Tiba-tiba aku disekap dari belakang oleh dua buah tangankekar.

“Hahaha!! Muslimanka!!” suara itu memekakan telingaku.
“Cetnici! Apa yang kalian mau dari kami?” sahut gadis berkerudung yang belum kuketahui namanya itu.
“Diam! Aku tusuk nanti mulutmu!! Kalian perempuan-perempuan muslim harus menurut apa yang akan kami perintahkan! Tahu?!” sahut seorang lelaki kekar berpakaian militer dan di badgenya terlihat bendera kecil, warna merah.biru dan putih. Serbia. Militer Serbia rupanya. Tanganku terikat dan aku pun diseret bersama gadis itu ke dalam sebuah rumah dekat masjid. Rupanya ini rumah imam masjid.

“Aku telah menangkap kakak dan ibumu. Hahaha… kamupun aku tangkap di dalam masjid itu, setelah kamu merunduk-runduk dan mencium karpet! Hahaha!” kata lelaki itu kepada gadis berkerudung merah. Diapun mengalami nasib sama denganku. Tangannya terikat.

“Lepaskan aku! Keparat!!” teriakku.
“Hah, kamu siapa? Yang kutahu kamu berada di masjid, dan itu berarti kamu muslim. Muslim adalah musuh besar kami. Tahu! Kami orang-orang Serbia punya misi membersihan etnis muslim. Agar Serbia raya jaya! Agar gemerincing lonceng Tuhan menggelora! Kalian harus mati!!” sahut lelaki berkepala botak yang memanggul senjata laras panjang.

Kamipun diseret masuk ke dalam sebuah ruangan yang telah dipenuhi wanita-wanita. Ya, semuanya adalah wanita. Ada 30 perempuan di dalam ruangan itu, ada nenek-nenek tua, ibu-ibu dan gadis serta anak-anak balita. Ya Tuhan! Aku gemetar! Aku takut mereka akan membunuhku. Tuhan, aku belum siap! Tubuhku dihempaskan di sudut ruangan oleh lelaki botak itu.

“Amina!” seorang perempuan berumur 30-an berbisik kepada gadis yang bersamaku tadi di masjid.
“Mama! Apakah Mama baik-baik saja? Di mana Kak Azemina?” seru gadis itu.
“Azemina dibawa bersama gadis-gadis lain. Entahlah apa yang hendak mereka perbuat. Bajingan-bajingan itu telah memborgol dan membawa ayah dan kakakmu di kamp dekat Pazaric.”
“Boze nam pomozi! Untunglah mereka tidak berbuat kejam terhadap kita, Mama. Setahuku pasukan Serbia telah memasuki jantung kota Srebrenica dan ini petaka besar. Sebab ke mana lagi kita hendak lari?”

Srebrenica memang berada di wilayah utara Bosnia. Penduduk etnis muslim dan Serbia telah hidup bersama. Musim semi ini tak nampak indah seperti tiap tahunya karena aku saat ini sedang disekap bersama puluhan perempuan muslim. Ruangan berukuran 7 kali 10 meter ini terasa sesak dan dingin karena memang tidak ada penghangatnya. Tuhan!! Kenapa aku berada di sini?
“Kalian semua dengarkan perintahku!” teriak seorang lelaki kekar berkepala botak seraya menyorongkan senjatanya kepada seluruh wanita di dalam ruangan ini.

“Kalian harus menurut. Jika ada yang berusaha melarikan diri, peluru siap menembus kepala-kepala kalian. Untuk sementara kalian kami kurung di tempat ini. Makanan hanya satu kali sehari. Mengerti?!”

“Hahaha, muslim-muslim kotor tak tahu diri. Kalian sudah untung hidup bersama Yugoslavia! Minoritas berlagak sok kuat. Kalau kalian kami bersihkan di muka bumi balkan ini, siapa yang akan menolong, hah?” ujar lelaki berambut pirang disamping si botak.

˝Allah yang akan menolong kami. Allah! Kalian adalah bajingan serakah. Aku tidak takut denganmu!” tiba-tiba Amina berteriak lantang dan menuding ke arah lelaki-lelaki Serbia itu.
“Amina! Jangan, Nak!” teriak ibunya.
”Hei, kamu gadis kecil! Diam dan tutup mulutmu. Kamu belum tahu kawan-kawan kami di seberang sana, mungkin sudah mencincang tubuh ayahmu. Kalau kamu berani menentang kami, tunggu saja kematianmu!

“Komandan Igor! Truk pengangkut makanan telah datang,” kata seorang bawahannya yang baru saja datang.
“Baik, Milan. Walaupun mereka tawanan kita, cecunguk ini masih harus diisi perutnya. Kalau tidak, apa kata dunia internasional nanti? Hahaha,” teriaknya sambil melempar-lemparkan bungkusan roti dengan kajmak serta selai.
Merekapun memberi tidak lebih dari itu. Ya, aku sadar sekarang aku berada di kamp tawanan Srebrenica. Pengap sekali ruangan ini. Ada beberapa bayi pula dan perempuan-perempuan yang tampak payah serta berusia lanjut.

Aku berusaha memasukkan potongan demi potongan roti ke dalam mulutku. Aku masih menatap gadis yang bernama Amina tadi. Dia tampak begitu pemberani dan garang. Dia berusia kira-kira 17 tahun. Tampak Amina sedang menyuapi makanan untuk ibunya. Ke manakah kakaknya? Dia tadi menyebut-nyebut tentang keberadaan kakaknya.

“Amina…” bisikku perlahan.
Ada apa, Kak?”
“Apakah ada cara untuk melarikan diri dari tempat ini?˝” tanyaku.
“Entahlah. Tampaknya sulit karena tempat ini dijaga ketat oleh para serdadu Serbia itu. Apalagi daerah Srebrenica telah digarap oleh mereka. Kakak lelaki dan ayahku entah ke mana perginya. Menurut ibuku, mereka dibawa pergi dengan truk besar dari rumahku.”

Kulihat matahari telah bersembunyi di balik garis horizon. Beberapa perempuan di ruangan ini melakukan ritual peribadatan muslim. Aku hanya bisa memandang mereka. Tampak mereka berdoa dan pasrah kepada Tuhan-nya. Tuhan! Berapa kali Engkau kuingat dalam hidupku?! Entah.
Serdadu-serdadu yang berjaga di depan pintu itu terkantuk-kantuk.

“Amina, kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini. Bagaimana kalau kamu pelan-pelan keluar lewat jendela itu?”
“Ide yang bagus. Tapi kita harus menunggu agar malam lebih larut dan tidak menimbulkan kecurigaan mereka.”

Aku menangguk tanda setuju. Akhirnya diapun segera membisikan ide kami melarikan diri kepada tawanan semua.
Tepat pukul 12 tengah malam, ketika aku dengar lolongan serigala, aku dan Amina serta beberapa perempuan lain mengendap-endap dekat jendela. Dengan sedikit dorongan akhirnya kami mampu meloncati jendela tua itu. Upps!
Semak belukar di dekat rumah tawanan ini memberi kami gerak leluasa untuk tidak terlihat dari serdadu-serdadu itu. Akhirnya kami sampai di dekat sebuah belokan jalan. Namun tiba-tiba terdengar sesuatu.

”Hei, cecunguk! Berhenti! sebuah suara dari belakang.
Aku, Amina dan beberapa perempuan lain yang sempat melarikan diri semakin cepat berlari. Gelap! Tak tampak begitu jelas. Hingga tiba-tiba kurasakan sebuah benda panas telah menembus punggungku. Ahhhhh… darah! Kurasakan tubuhku sakit luar biasa! Tolong!!

˝Tolong! Oh… Tuhan, di manakah aku sekarang? Di sebuah kamar berdinding warna biru. Oh… bukankah ini kamar tidurku? Ya, Tuhan! Kulihat tubuhku masih utuh dan aku masih mampu menghirup udara. Aku masih hidup! Rupanya aku tertidur dan bermimpi sangat seram. Oh! Kulirik buku di dekatku. Tragedi Srebrenica, sejarah kelam area Balkan.
***
25 Mei 2004, Potocari-Srebrenica.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas kehadiran seluruh undangan. Saat ini kami sedang menjalankan hak-hak atas saudara muslim kami yang telah mendahului kita menuju alam kekal. Alhamdulillah misi penggalian dan pengidentifikasian korban Srebrenica telah diselesaikan. Kepada semua pihak yang terkait, saya ucapkan terima kasih.”

Seorang lelaki berumur 50 tahun, memakai penutup kepala berwarna putih dan memakai jubah hitam menyelesaikan sambutannya. Tampak di samping lelaki itu seorang lelaki berambut jarang dan seorang lagi lelaki bertubuh tinggi besar. Lelaki pertama yang berjubah itu bernama Mustafa Ceric dan dua lelaki disampingnya adalah dewan presiden Bosnia Herzegovina. Tepatnya beliau adalah petinggi ulama Bosnia.

Saat ini aku sedang berdiri bersama tim gabungan pencarian korban Srebrenica. Tampak Presiden Bosnia Herzegovina, Sulaiman Tihic, sedang bersalaman dengan utusan-utusan dari kedutaan.
Akhirnya, aku beserta kawan-kawan menyelesaikan misi kami. Bahkan kami telah lulus sebagai sarjana kedokteran. Dari data orang hilang dan korban yang ditemukan masih tidak sesuai. Hal ini diduga karena militer Serbia telah melakukan pemusnahan tubuh-tubuh korban dalam larutan kimia di sebuah pabrik dekat Potocari.

Militer Serbia telah memusnahkan puluhan ribu muslim di Bosnia bagian utara. Saat ini pula Slobodan Milosevic diadili di Den Haag dengan tuduhan penjahat perang. Semoga keadilan di atas bumi ini masih ditegakkan.Dan aku begitu banyak belajar tentang kehidupan dari misi ini. Kehidupan? Adakah kehidupan lagi setelah kematian? Tanyakan saja pada tulang belulang yang saat ini hendak dikebumikan.

Keterangan:
Tram: kereta api listrik
Baka: nenek
Tata: ayah
Serbin: lelaki etnis Serbia
Hrvat: lelaki etnis Kroasia
Boze: Tuhan
Bravo: Hore
Cestitam: Selamat
Bosanska vlada: pemerintah Bosnia
Ja vjerujem: Saya percaya
Bozic: natal
Sestro: Suster, atau sebutan untuk saudara perempuan
Bajram: idul fitri
Muslimanka: perempuan muslim
Srpkinja: perempuan Serbia
Hrvatica: perempuan Kroasia
Dzamija :masjid
Klanjam: Shalat
Marama: kerudung
Cetnici: Militer Serbia
Boze nam pomozi: Tuhan, tolonglah kami
Kajmak: krem susu

3 komentar:

Bang Don, aku lupa...mbuh nggone sopo...lagi asal copast aja..

Posting Komentar

Silahkan Di Tanggapi