Sabtu, 13 Desember 2008

5 HARI ITU _ episode 4




Kamis, 4 Desember 2008

LANGIT di timur belum tampak bercahaya, masih kelam seperti semalam. Dingin tetap istiqomah menggerogoti syaraf-syaraf kulitku menembus tulang. Aku merapatkan selimut dan menata kepala mengusahakan posisi yang nyaman. Aku bermimpi. Tentang ibuku...

Adalah naluriku sebagai seorang anak, meski sudah tergolong usia dewasa, tergerak perasaan dan pikiran ini, melayang jauh kepada sosok yang begitu akrab dengan semua kehidupan masa kecilku. Mungkin bagi orang lain tidak pernah akan menjadi masalah. Tapi bukan bagi diriku. Karena itu, air mataku menetes tak terasa, saat ku bermimpi tentang ibu. Sosok yang amat sangat kurindukan keberadaannya. Sosok yang selalu berada dalam ingatan dan ingin kurasakan sentuhan lembut tangannya pada kulitku.

Sudah hampir empat bulan terakhir ini aku tidak pulang ke Tegal. Walaupun ibu selalu menanyakan kabarku dengan sebuah pertanyaan singkat lewat SMS atau sesekali beliau menelpon, ada rasa ingin kembali kepangkuannya. Aku jadi teringat Yadi, dia bisa ya tidak pulang bahkan sampai 2 tahun. Memang perlu dimaklumi karena letak geografis antara Malang dengan Kepulauan Riau yang begitu jauh. Entah habis berapa banyak ongkos untuk pulang dan pergi. Ada masa-masa dimana aku dan yadi mengobrol, berbagai rasa, suka dan duka tinggal ditanah rantau. Obrolan kami tanpa sadar kembali mengungkit keberadaan peran seorang ibu dalam kehidupan kami. Ada yang sempat membuat aku tertegun, ketika ku dengar sahabatku bercerita tentang kerinduannya pada ibunya di tanah melayu yang sudah lama ditinggalkannya di Kota Apel. Kulihat air mukanya berubah ketika berbicara mengenai ibu.

Dia bercerita tentang betapa mengagumkan ibunya saat beliau membuatkan makanan kesukaannya yang sangat lezat. Sembuatkan sarapan pagi berupa nasi minyak yang gurih. Aku teringat kembali pada sosok ibuku. Ibu, maafkan aku kalau mengecewakanmu. Doamu selalu kuharapkan menyertai langkah kakiku di Kota Budaya ini.

Alarm HPku berbunyi. Mataku masih terpicing. Aku masih menyelam di dalam lautan jiwaku yang gelisah akan kerinduan pada ibuku. Samar-samar kulihat jam dilayar Nokia 3530. pukul 04.00. Aku memang sengaja menyetel alarm sebelum tidur tadi malam. Agar tidak terlambat lagi sholat berjamaah.

“Alhamdulillahiladzi ahyana ba’da ammatana wa ilaihi nusyuur...,Lirih kubasuh wajahku mengagungkan asma Allah yang telah memberiku kesempatan kembali untuk menikmati hari-Nya yang indah dibulan dzulhijjah ini. andai saja aku bisa shoum sunnah hari ini. karena memang seharusnya ini adalah Usbhuk Ruhiy diBulan Dzulhijjah. Mudah-mudahan ustad memaklumi. Hehee.....

Alam berdzikir, jangkrik dengan alunan kerikannya, daun dengan lambaian lembutnya, angin dengan belaian mesranya, air dengan riak gemericiknya, rusa dengan hembusan nafasnya. Gema shubuh sudah selesai dikumandangkan muadzin di semua penjuru Bumi Ciganjur. Aku sudah bersiap pada barisan pertama shof sholat bersama yang lain.

Selesai sholat, kami kembali mengagungkan asma-Nya dalam keheningan hati yang telah tunduk pada-Nya. Aku hanya bertahan sebentar untuk berdzikir. Tidur malamku yang pendek memaksa mataku dipagi ini untuk kembali bermanja dengan bantal dan selimut. Bukan disengaja, namun karena memang mata seperti ditimpa beban berton-ton. Sehingga tak terasa aku telah kembali terlelap dengan tangan memegang mushaf.

Suara derit pintu kamar sebelah membangunkanku. Aku segera tersadar dan beristighfar. Allahu Akbar....Astaghfirullah....

Jam diHP menunjukkan pukul 5.40an.

Ya Robb, kami berpagi hari dan berpagi hari pula kerajaan milik-Mu. Segala puji bagi-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, tiada Ilah melainkan Engkau, dan kepada-Mu tempat kami kembali....

Segera aku bangkit dari kemalasanku. Kulihat Akh Sandy juga terbangun. Ku ambil sabun mandi dan handuk. Dan bergegas menuju kamar mandi yang ternyata sepi. Mungkin teman-teman berada diluar untuk berolah raga atau paling parahnya sama seperti aku. Ketiduran lagi ba’da subuh. Ketika hendak masuk kamar mandi, aku berpapasan dengan Yadi yang baru selesai mandi.

“Baru bangun ?”, aku hanya menjawab dengan seulas senyum yang kupaksakan karena sisa-sisa kantuk masih bergelayut manja di ujung mata. Setelah selesai, aku berganti kaos seragam yang dibagikan panitia tadi malam. Kaos ukuran M. sangat ketat ditubuhku yang sedikit gempal. Benar-benar bodypress. Selesai memakai sepatu, Yadi menunggu di depan kamar untuk mengajak sarapan bareng.

Menu sarapan pagi ini beda lagi. Nggak tahu dari daerah mana. Yang pasti unik, nasi dibungkus dengan papper oil, nasinyapun seperti berbumbu. Berwarna coklat muda. Sepertinya menggunakan santan dan bawang putih. Tapi kok nggak ada rasanya ya. Oh, rupanya masih ada kuah telur kecap yang memberikan rasa pada nasi. Kutuangkan dua sendok sayur kedalam piring. Segera setelah itu menuju tempat favorit kami. Meja bundar.

Disana beberapa ikhwan masih nyantai. Ada yang main pollo air, ada yang main perahu angsa mengelilingi danau, ada yang jalan-jalan melihat rusa. Oh, rupanya mereka masih nyantai. Aku, yadi dan herman duduk sambil melanjutkan diskusi yang belum selesai tadi malam di forum. Dan tak terasa, makanan dipiring telah habis. Herman mengajak kami naik perahu angsa.

“Mumpung masih disini lah, gratis pula !”, katanya dengan logat Medan yang sangat khas. Setelah menghabiskan minum, kami turun ke bawah menuju danau buatan.

“Mau pakai dua-duanya apa cukup satu?”, ujarku pada mereka berdua.

“Satu juga cukup”, kata Yadi sambil menarik tali yang mengikat leher perahu angsa. Aku masuk duluan, rupanya keseimbangan tidak terjaga. Perahu angsa oleng dan menjauh dari dermaga. Aku genjot dan arahkan kemudi perahu. Setelah sampai ditepi danau, Yadi dan Herman langsung naik dengan menjaga perahu tetap seimbang. Yadi memilih menjadi pengemudinya, sementara aku dan herman memilih mengayuh sadel perahu.

Baru sekali putaran di danau, Khansa yang sedang digendong uminya minta naik. Sang umi meminta kami untuk menepi sebentar. Khansa diulurkan dari atas jembatan, lalu aku tangkap dari atas perahu. Khansa anak yang mudah diajak orang lain, jadi tidak terlalu lama untuk menjadi akrab.

Aku jadi teringat anak Mbakku yang besok tanggal 6 Desember genap usia 2 tahun. Namanya Muhammad Asykan Farahat. Mbak Fatma orang yang pertama kali mengenalkanku pada komunitas orang-orang soleh ini. Jadi pengin cerita juga nih tentang Mba Fatma.

Aku teringat waktu masih SD dulu diminta menemani mba ikut pengajian berbentuk lingkaran kecil di Masjid desa setiap sore ketika yang lainnya TPA. Yang menjadi ustadahnya Mba Ida, anak seorang pegawai KUA. Lalu tersiar kabar kalau Mba Ida mbawa anak-anak seusia Mba Fatma dalam ajaran yang nyleneh. Kemudian lama aku tidak di ajak lagi menemani pengajian. Sampai suatu petang selepas Maghrib, Mba Fatma minta aku menemaninya ke rumah Mba Ida. Rupanya kelompok pengajian itu tetap berjalan. Mba Fatma menyuruhku memilih jalan berangkat dan jalan pulang melalui perkebunan yang sepi. Sehingga tidak diketahui oleh orang-orang. Waktu itu Mba termasuk siswi SMP yang sudah mengenakan jilbab. Jarang sekali siswi SMP yang menggunakan jilbab, paling-paling siswi yang dulunya berasal dari Madrasah Ibtidaiyah. Karena bagi orang di desaku, menggunakan jilbab hanyalah formalitas belaka saat itu. Bahkan lebih banyak menggunakan kerudung yang cukup diselempangkan dikepala hanya sekedar menutupi rambut saja.

Sampai suatu ketika Mba Fatma dilarang untuk ikut lagi mengaji oleh ibu, sampai-sampai beliau sempat ngambek juga. Kelompok pengajian itu tetap berjalan seperti biasa tanpa ada halangan lagi, dengan cara diam-diam tentunya. Biasanya ketika aku menunggu Mbakku selesai mengaji, aku menunggu di luar atau bermain dulu dirumah temenku yang memang tidak jauh dari sana. Dan pengajian selesai selepas sholat Isya. Aku saat itu masih kelas 4 SD. Sementara Mba Fatma usia SMP kelas 2. biasanya pengajian juga dilakukan dirumah-rumah anggota pengajian. Pernah aku disuruh membantu Mba Fatma menyiapkan makanan untuk teman-temannya yang berkunjung.

Bahkan ketika Mba Fatma duduk dibangku SMA, beliau juga masih melanjutkan ngajinya. Sering sekali beliau cerita tentang kehidupan mengajinya. Saat aku usia kelas 1 SMP yang berarti Mba Fatma kelas 2 SMA, beliau cerita tentang sebuah partai yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Waktu itu aku tidak begitu paham maksudnya, karena seumur anak SMP kelas 1 aku hanya memikirkan asyiknya ngumpul dengan teman-teman seusiaku yang biasanya berujung diRental Band. Aku kebagian Keyboard atau sesekali megang Drum. Bapak Ibuku tidak memperbolehkanku ikut kegiatan yang menguras fisik, karena kelemahan daya tahan tubuhku yang seringkali membuat penyakit yang dibawa sejak kecil sering kambuh.

Sampai kemudian pemerintahan negeri ini berganti, muncul banyak sekali perubahan di negeri ini. Berita-berita ditelevisi di dominasi oleh berita politik dan kerusuhan. Saat itu aku sempat ngomentari berita yang sedang ditonton Bapak di ruang tengah.

“Itu gara-gara GOLKAR ya, Pak? “, komentarku melihat sekilas berita yang memunculkan tokoh-tokoh GOLKAR yang banyak dipersalahkan. Bapak yang dulu Kader Muda GOLKAR sempat mengelak membela.

“Bukan salah GOLKAR, GOLKAR itu hanya partai”, begitu bela bapak pada Partainya itu. Saat itu aku tidak begitu menanggapi karena memang hanya sekilas saja muncul pertanyaan itu. Memang saat itu hanya ada 3 partai yang resmi di Indonesia. PPP yang mewakili golongan orang-orang hijau, GOLKAR yang mewakili golongan PNS dan orang-orang moderat sedangkan PDI mewakili orang-orang berjiwa nasionalis.

“ Partainya sih nggak salah pak, tapi orang-orang partainya yang salah”, aku ngeloyor pergi kekamar sambil mengambil gitar untuk ku petik senar Bassnya..

“Kamu punya bakat politik juga, Don”, aku tak menggubris saat bapak mengomentari pertanyaanku yang hanya komentar anak usia SMP kelas 1.

Mba Fatma pulang seminggu sekali, karena dia SMA di Kota. Kurang lebih satu setengah jam perjalanan kalau menggunakan angkutan umum. Harus melewati jalanan hutan yang mulai rusak parah, jalan-jalan pegunungan, sawah-sawah yang membentang dan prumahan perkotaan. Desaku memang terletak dibawah kaki gunung Slamet. Disini hanya ada sekolah sampai tingkat SMP, sebenarnya ada juga Aliyah. Tapi bagi orang-orang moderat seperti keluargaku, pantang untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang dinilai “terbelakang”. Karena memang saat itu pengelolaan Aliyah kurang begitu diperhatikan. Sehingga lulusan aliyah sama saja dengan orang umum. Nilai-nilai agama tidak lagi diterapkan ketika sampai dirumah. Hanya sebuah formalitas belaka. Aku justru bangga dengan Mbakku. Dia berjilbab bukan karena formalitas sebuah seragam. Tapi benar-benar dilandaskan pada pemahaman menggunakan jilbab. Menutup aurat demi sebuah kehormatan. Sementara beberapa oknum yang sekolah di Aliyah hanya menggunakan jilbab sebagai syarat sekolah dia disana. Dan sekarangpu juga masih ada seperti demikian.

Sehingga ketika harus melanjutkan sekolah tinggi harus keluar desa. Di Kota Slawi Kabupaten Tegal. Dia disana KOS. Aku pernah diajak kesana, dan rata-rata teman kosnya menggunakan jilbab juga. Ketika pulang kerumah, mba selalu bercerita tentang partai yang baru akan dibentuk dengan berlandaskan nilai-nilai Islam. Aku memang lebih suka mendengarkan daripada berkomentar. Karena memang aku tidak paham apa-apa. Sesekali hanya komentar kecil saja.

“Terus, mba?”. Itulah kalimat singkat mewakili komentarku.

Waktupun berlalu, Mba lulus SMA dan diterima di UNS Kota Solo. Saat itu aku merasa kehilangan, bakal lama nggak ketemu Mba. Bakal lama nggak cerita-cerita. Hanya sesekali aku disuruh menelpon kesana. Ketika Mba sudah setahun di Solo. Aku diterima di SMA Negeri 3 Slawi. Saat itu aku disuruh menelpon Mba. Rupanya Mba sudah menitipkan aku untuk ikut ngaji dengan teman-teman di Slawi. Aku tidak begitu tertarik ikut ngaji. Aku lebih tertarik untuk ikut kegiatan ekskul yang banyak sekali di SMA ini. Ini sebagai pembalasanku karena sejak SD dan SMP aku dilarang keras untuk ikut kegiatan sekolah karena kondisi Fisikku yang rentan sakit. Mumpung disini aku KOS, tidak ada yang melarangku untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah.

Aku mengikuti PMR, PRAMUKA, THEATER, KARAWITAN, CLUB BIOLOGI, OSIS, BAND, MAJALAH DINDING SEKOLAH dan AKSERA (ANAK SENI RUPA). Aku begitu menikmati berkumpul dengan teman-teman ekskul. Tapi tetap saja aku tidak melupakan kewajibanku untuk belajar. Biasanya aku menjalankan kegiatan ekskul sepulang sekolah hingga sore. Kemudian setelah Isya aku belajar kelompok di KOS depan sambil mencari jawaban PR atau Tugas dari sekolah. Dan sering juga mencari bocoran soal untuk ulangan dikelas lain.

Aku lebih dikenal di dunia Theater dan Seni. Tapi juga dikenal baik oleh Guru Biologi karena minatku diBidang beliau. Banyak pertanyaan-pertanyaan kritis tentang biologi yang akhirnya justru memasukkanku di Jurusan Biologi FKIP UNS. Sampai suatu ketika saat aku duduk diperpustakaan sendirian menekuri setiap halaman buku Biologi terapan, seorang kakak tingkat kelas dua yang menggunakan jilbab paling lebar memberiku salam.

“Assalamu’alaikum...De Doni ya?”, aku mendongak pada wajah ayu yang santun terbalut jilbab rapi panjang. Aku mengenalnya sebagai Mba Anita, Pengurus OSIS kelas 2 Bidang 1 (Keagamaan).

“Betul Mba”, jawabku dengan menundukan mata (aku sudah dijelaskan bagaimana harus berGadhul Bashor jika berbicara dengan lawan jenis sama Mba ketika SMP).

“ Gini, De. Saya diminta menyampaikan amanat dari Mba Fatma. Katanya De Doni mau ngaji ya?”, tanya beliau sebagai pembuka perbincangan. Mba Anita juga sambil menundukkan pandangannya. Aku salut sama beliau. Di SMA ini hanya ada beberapa orang yang mirip dengan beliau. Berjilbab rapi dan panjang. Saat itu masih bisa dihitung dengan jari orang-orang yang berjilbab.

“Ya Mba”, jawabku dengan hati-hati.

“ De Doni langsung menghubungi Mas Novan saja. Kenal khan? Atau De Bagus, kelas 1.4. nanti akan dijelaskan banyak”. Begitu jelas beliau, kemudian segera undur diri dari perpustakaan.

Aku belum sempat ketemu Mas Novan, yang menjadi Ketua PMR itu. Banyak temen-temen cewek yang naksir padanya. Tapi langsung paham ketika dijelaskan kalau Mas Novan itu tipe orang yang tidak pacaran. Kalau saja Mba Fatma tidak telpon ke KOS, mungkin aku tidak mau menyempatkan bertemu dengan Mas Novan.

Suatu hari saat aku menempel majalah dinding, kulihat Mas Novan sedang beristirahat setelah latihan Senam SKJ yang akan dilombakan ditingkat kabupaten.

“Mas, aku dihubungi Mba Anita suruh menemui njenengan “, kataku. Aku memang menjadi anggota PMR, tapi tidak begitu dekat dengan ketua PMR yang berjenggot tipis itu.

“Oh, ya. Doni hubungi Bagus saja. Kita ngaji setiap hari kamis sepulang sekolah. Tempatnya di daerah Slawi Wetan. Naik angkot dulu ke terminal, lalu naik angkutan jurusan Slawi POS turun di Gardu Slawi Wetan. Jalan kaki ke Selatan 300 meter sampai ketemu masjid dan MTS. Atau lebih enaknya berangkat ngaji bareng Bagus saja.

Itulah awal mulaku ikut ngaji di SMA. Sejak kelas 1, ikut ngaji yang kata Mba Muthi (akhwat PMR) itu disebut Liqo’. Ahh...istilah apa lagi sih. Sampai aku lulus SMA dengan hasil UAN yang memuaskan.

Aku ikut SPMB dengan sebelumnya aku diculik Mba Fatma ke Solo mengikuti Bimbingan Belajar di Nurul Ilmi. Aku dititipkan di Pondok Pesantren Mahasiswa “INSAN KAMIL”. Orang yang pertama kali aku kenal adalah Mas Agus Dwianto. Sampai-sampai ketika aku dinyatakan lulus SMPB diterima di Jurusan Biologi FKIP UNS, Mas Agus memintaku tetap tinggal diPondok saja. Dan karena kedekatan itulah aku benar-benar seperti adik kandungnya sendiri. Aku beberapa kali di ajak ke rumahnya di Pracimantoro, daerah Wonogiri paling ujung selatan. Sering juga aku waktu kesana menyempatkan ke Laut. Indah sekali.

Di Solo ini, aku kembali dekat dengan Mba Fatma. Sampai-sampai beliau bersedia pindah kos ke daerah sawah karang yang terkenal dengan lingkungan preman Solo. Mba Fatma juga yang mempelopori adanya kos akhwat di daerah sawah karang ini. Dulu, mana ada akhwat yang berani turun ke sawah karang kalau bukan karena terpaksa harus mengambil catatan kuliah, atau tugas. Selebihnya lebih baik meminta yang dibawah untuk naik ke atas. Tapi, kemudian dengan adanya kos akhwat disini, lingkungan pengajian Ibu-ibu mulai berkembang. Dan mulai banyak berdatangan para akhwat untuk juga ngontrak kos didaerah sawah karang.

Sampai pada episode Mba Fatma bercerita tentang datangnya banyak Pinangan dari para Ikhwan. Aku kembali menjadi teman CURHAT. Baginya aku orang paling dekat untuk diajak ngobrol. Biasanya kalau aku ke Kos Mba Fatma, mas Agus mewanti-wanti.

“Jangan malam-malam di Kos akhwat..!!”, aku hanya nyengir kuda. Memang aku sering diminta ke kos Mba sampai maksimal pukul 21.30. Sudah melewati jam malam kos akhwat. Biasanya para akhwat “haram” keluar kos setelah pukul 19.30 malam untuk menjaga diri. Apalagi didaerah sawahkarang ini. Untuk menjaga izzah para aktivis dakwah juga. Sedangkan sekarang, begitu bebasnya para akhwat keluar malam.

Sampai pada sebuah keputusan Mba menikah dengan Mas Izuddin. Dan menghasilkan Asykan. Sebenarnya banyak sekali episode yang terlewati hanya saja akan terlalu panjang untuk diceritakan.

Kembali kecerita semula. Khansa yang kugendong aku ajak berceloteh tentang ikan, air, daun, rusa, angsa, kura-kura dan pepohonan. Jadi pingin segera nimang anak nih.....

Khansa begitu anteng. Tidak rewel. Senengnya punya anak yang mudah diarahkan ya. Ini semua juga tergantung didikan orangtuanya juga. Andai saja semua orang tua melandaksan pendidikan keluarganya dengan pendidikan agama yang kokoh dan saling menasehati untuk tetap berbuat kebaikan, niscaya negeri ini menjadi lebih berkah. Tidak banyak masalah yang semakin rumit pemecahannya.

“ Antum pandai juga bermain dengan anak kecil, kalau aku sulit sekali akrab”, begitu komentar Yadi ketika aku masih asyik dengan khansa.

“ Sudah naluri kebapakkan kali ya. Hehe...antum kapan punya rencana nikah Akh?”, todongku pada para bujang ini.

Acara muter-muter diatas perahu angsa diselingi obrolan tentang jodoh. Akh Herman yang langsung menanggapi.

“ Ane sebenarnya sudah diminta proses akh, tapi masih bingung menentukan kriteria calonnya. Kalau terlalu perfect dikira ane terlalu maksa. Ya, masih belum ane isi itu biodata”, logat Medannya masih mewarnai nada suaranya.

“ Emangnya kenapa, Akh ?”, tanyaku kembali.

“ Boleh nggak sih kalau nodong? Haha...”, Herman nyengir. Yadi yang mengemudikan arah perahu juga tersenyum simpul.

“ Tahu nih, bisa saja suatu saat ketika kita sudah semakin besar, lajnah semakin kesulitan dalam mengurus perjodohan kita sehingga mau nggak mau ada penurunan standarisasi dalam memilih jodoh. Bisa-bisa langsung main todong saja. Tapi tetap dalam koridor jamaah tentunya. Hehe... antum dhewe piye, Yad ?”. Yadi yang sedari tadi hanya sebagai pendengar setia langsung kutodong juga dengan pertanyaan yang sama.

“ Sepertinya nasibku sama seperti antum, Don. Hehe...”, tawanya terkekeh. Tahu saja si Yadi.

Khansa yang sejak tadi anteng dalam pangkuanku hanya bengong saja, mungkin dalam benaknya bertanya,

“Om-omnya lagi ngobrolin apa sih, kok aku dicuekin...”, hehe...miss you khansa. Mudah-mudahan menjadi akhwat sholihah pelanjut perjuangan umat. Amiinn

Panasnya mentari memaksa kami segera menambatkan tali perahu. Karena sebentar lagi materi akan dimulai. Kembali materi dengan tema “PORNOGRAFI”. Benar-benar disini banyak kutemukan fakta-fakta yang mencengangkan terkait generasi bangsa yang kian memprihatinkan.

Setelah perahu tertambat, kami melangkah naik menuju tempat materi. Khansa aku serahkan kembali pada Umi-nya yang sedang asyik berfoto ria. Sesampainya diruangan, rupanya Bu Azimah telah bersiap mengisi. Sebelum materi beliau sampaikan, ada cuplikan film yang menambah kekagetan kami tentang fakta-fakta parahnya generasi muda Indonesia yang kedepan menjadi tanggungjawab kita bersama.

Kemudian Bu Azimah tidak memberikan materi, namun justru memberikan simulasi model penyuluhan bahaya PORNOGRAFI dilingkup sekolah. Kami dibagi menjadi 5 kelompok. Dan setiap kelompok wajib menjawab pertanyaan yang berbeda-beda sesuai kelompok juga wajib membuat yel-yel atau lagu kelompok.

Banyak hal unik terjadi. Kalau di kelompok akhwat belum begitu unik yel-yelnya. Baru ketika kelompok ikhwan maju, mulai meramaikan suasana. Kelompok pertama melakukan yel-yel berupa nyanyian. Kemudian kelompok kedua (kelompokku) melakukan yel-yel dengan semangat ngambil nada nasyidnya shoutul harokah kalau nggak salah dan yel-yel aksi. Dan yang paling tidak masuk akal adalah yel-yel kelompok ketiga.

“Tepuk PORNOGRAFI...!!!”, Serempak peserta mlongo dan langsung tertawa. Belum lagi kelompok yang belum kompak. Kemudian diulang lagi.

“Tepuk PORNOGRAFI...”, seru komandan kelompok.

“Por...No...Gra...Fi....” serempak peserta menjawab perintah komandan. Kemudian bersama meneriakkan PORNOGRAFI.

“ Porno...porno..porno...No...!!!”, kok ada ya tepuk macam gini...??? ini tepuk tolak pornografi apa tepuk dukung pornografi sih...haha....

Acaranya Bu Azimah selesai. Ukhti Anik yang menjadi Moderatornya Bu Azimah sudah sejak tadi kulihat ditelpon oleh panitia yang dilapangan untuk Outbond. Kami hanya mempunyai waktu break untuk menikmati teh hangat atau kopi yang telah tersedia di meja makan dengan snack padat yang cukup untuk mengganjal perut.

Selesai break, kami segera turun ke lapangan untuk bersiap melakukan outbond. Aku sudah menebak kalau outbond disini kita akan bermain Paintball. Perang-perangan. Pasti seru. Namun sebelum itu kami pemanasan dengan berbagai macam permainan yang dipandu oleh Trainer dari TRUSCO itu. Aku lupa nama beliau. Diawal kami melakukan ice breaking dulu. Aku lupa, karena saking banyaknya. Tapi intinya adalah senang-senang.

Kemudian kami dikelompokkan menjadi 5 kelompok sebagai regu perang. Aku, Akh Ikhsan, Akh Anton, Akh Sandy, Akh Roby, Akh Irfan, Akh Nofrizon, Akh Hasbullah, dan Akh Adi Miftah. Kelompok kami kelompok Black (tidak ditambah huruf “Y”).

Para ikhwan main duluan, 2 kali putaran. Tim Black walaupun kalah, namun dengan jiwa patriotismenya tetap berjuang menembaki musuh. Hehe.... satu pelajaran berharga. Ini baru permainan dilahan yang sempit dengan sasaran tembak yang jelas. Sedangkan ketika kita membela negara dengan berjuang melawan musuh, lahan kita begitu luas dengan musuh yang bisa saja menyamar sebagai pihak kawan. So...Bravo buat para pejuang bangsa...!!!

Kemudian peperangan bergangian dengan pihak akhwat. Ada satu akhwat yang bener-bener tidak mau untuk ikut perang. Kak Rita dari medan. Tapi setelah disemangati oleh teman-temannya, akhirnya mau juga ikut terjun ke medan perang. Malah beliau ini orang yang kemudian maju tanpa berlindung dibalik papan papan perlindungan. Ini sih nekat apa berani yah...??? hehe....

Selepas dhuhur, pukul 14.00. Peperanganpun usai meninggalkan bekas-bekas cat air warna kuning di kaos seragam kami. Beberapa peluru masih berserakan dimedan peperangan. Banyak peluru yang terbuang sia-sia karena kurang tepat dalam membidik sasaran. Begitu juga kalau diaplikasikan dilapangan, ketika kita bekerja tanpa perhitungan dan ketelitian ini menjadikan apa yang dihasilkan hanya membuang kesia-siaan.

Setelah selesai sholat, makan siang, kami mempunyai waktu yang panjang untuk beristirahat. Aku lupa kalau sore ini masih ada agenda. Ada pengarahan dari ustad Jakarta. Karena lupa itulah, aku dan Yadi dengan santainya berenang berdua sementara teman-teman telah rapi dan bersiap menuju ruang materi. Aku benar-benar menikmati segarnya air kolam.

“ Sudah 4 hari ya, Don”, Yadi memulai perbincangan. Aku tak paham arah pembicaraannya. Aku justru mengalihkan pada tema yang lain.

“ Antum di KEPRI sana juga suka berenang, Yad? Bukannya daerah antum itu perairan semua”.

“ Disana hampir semuanya bisa berenang. Kalau saja aku tidak diterima di Malang, mungkin sekarang aku jadi orang pelayaran. Hehe...”

“ Hidayah Alloh itu memang tak terduga, Yad”.

Karena melihat teman-teman yang semakin banyak berdatangan dan memandang kami berdua yang asyik dikolam renang dengan heran karena belum bersiap-siap juga.

“ Akh, ada materi sore ini ?”, tanyaku pada Herman yang kebetulan melintasi dekat kolam renang.

“ di Jadwalnya begitu, ada pengarahan dari IQRO Jakarta”

Aku dan Yadi segera neik untuk segera mandi.

“ Mumpung akhwat belum pada keluar, segera saja, Yad. Malu kalau dilihat akhwat kita basah kuyup gini. Hehe...”.

Setelah membersihkan badan dengan shower, aku berganti baju santai. Segera bareng Yadi naik kelantai 2 untuk mengikuti pengarahan dari IQRO Jateng.

Acara selesai ketika adzan magrib hampir menjelang. Beberapa ikwah masih tampak sisa-sisa kelelahan setelah outbond tadi siang. Apalagi aku dan yadi yang tadi dilanjut berenang. Sudah tidak memungkinkan untuk mendengarkan pengarahan yang disampaikan seorang ustad dari IQRO Jakarta.

Kami justru ngobrol sendiri.

“ Besok hari terakhir ya..”, kalimat retoris yang meluncur dari bibir Yadi. Lagi-lagi aku kurang begitu menangkap maksudnya. Sebuah kalimat ambigu yang punya banyak persepsi bagi orang yang menangkapnya.

Setelah acara selesai, kami langsung mencari wudhu untuk melaksanakan Sholat Maghrib berjamaah dijamak Sholat Isya. Kami sholat berjamaah dengan khuyuk karena inilah saatnya untuk beristirahat bersama Sang Pemilik Jiwa.

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan al-fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup
Karena pejalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun juga

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy
(Emha Ainun Najib)

Dzikir singkat terlantun dari dasar hati. Sebait doa meluncur dari bibir-bibir pemilik wajah sendu.

ketika bahasa tak lagi percaya pada kata
apakah yang masih bisa kita ucap?
: cinta

ketika wajahmu tak lagi menampakkan
kening, mata, hidung dan mulut
apakah yang masih bisa kukecup?
: doa (HTR,’90)






3 komentar:

bagusnya ni cerita. kenapa tak dibuat novel saja episode-episodenya... :O

Boleh juga nih dijadikan inspirasi hidup sebuah perjalanan episode yang panjang ya. jadi pengin kenal lebih dekat dengan antum akhi... :)

Posting Komentar

Silahkan Di Tanggapi